Bagi Hasil MIGAS
Formulasi dana bagi hasil di antara daerah yang memiliki sumber daya alam, dinilai tak adil. Ada kesenjangan yang cukup besar dari persentase dana bagi hasil di Papua dan Aceh, dengan daerah penghasil sumber daya alam lainnya di Indonesia seperti Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Bahkan Dana bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi tidak sebanding dengan risiko yang diterima daerah tempat eksploitasi. Meski demikian, daerah umumnya tidak tahu berapa sebenarnya hak mereka. Sejumlah pemerintah daerah penghasil minyak dan gas bumi mendesak adanya transparansi perhitungan dana bagi hasil (DBH) migas, sehingga mencerminkan azas keadilan bagi daerah penghasil.
Gubernur Riau Rusli Zainal dalam seminar Daerah Penghasil Migas: Berkah atau Bencana? mengungkapkan selama ini daerah penghasil migas tidak diberikan kewenangan dan kesempatan mengakses data produksi, lifting, dan cost recovery migas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Selain itu, mekanisme perhitungan DBH migas belum transparan karena formulasi komponen pengurang perhitungan DBH seperti DMO (domestic market obligation), over/under lifting, pungutan lainnya seperti pajak migas belum memiliki nomra dan standar baku sehingga besaarannya selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan, waktu penyaluran DBH ke daerah tidak teratur (terlambat 4-9 bulan), sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan program kegiatan di daerah. Seharusnya perhitungan produksi/lifting migas harus transparan dan daerah penghasil harus diberikan kewenangan dan kesempatan mengakses data produksi/lifting itu.
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan kendati pemda memiliki kewenangan otonomi daerah cukup besar melalui UU No. 32/2004, kenyataannya tidak mampu berbuat banyak dalam hal DBH karena masih dominannya peranan pusat dalam penguasaan dan pengelolaan migas. Menurutnya, diperlukan revisi UU Migas No. 22/2001, khususnya menyangkut proporsi pembagian DBH untuk pusat 60% dan daerah penghasil 40%, pembinaan dan pengawasan sudah seharusnya melibatkan pemda, dan transparansi komponen faktor pengurang DBH. Sebagai contoh, PT Medco yang bereksplorasi di Lapangan Tiaka, tidak memberikan kontribusi yang signifikan kepada daerah karena pemda tidak pernah mengetahui jumlah lifting migas yang pasti setiap bulannya. Selain itu, produksi minyak mentah yang diproses di Plaju atau Singapura tidak transparan. "Informasi yang kami dapatkan selalu dikatakan hasilnya minim diakibatkan karena biaya produksi tinggi, tetapi perusahaan itu tetap beroperasi.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan tidak ada diskriminasi apapun dari pemerintah pusat berkenaan dengan hal Pembagian dana bagi hasil Agus menuturkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) yang dipersoalkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah sesuai dengan undang-undang yang ada. Diketahui, sebanyak 20 kabupaten dan kota di Indonesia mendapatkan transfer dana bagi hasil sumber daya alam dari pemerintah pusat dalam jumlah sangat besar. Bahkan, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan puluhan kabupaten lainnya. "Tapi DBH, DAU (dana alokasi umum), dan dana hasil lain itu sudah disepakati. Jadi, kita merujuk ke sana (tata aturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku dan disepakati)," kata Agus. Ini tak sebanding dengan rata-rata kabupaten paling miskin sumber daya alam, kebanyakan di Jawa, yang cuma memperoleh ratusan juta rupiah per tahun. Contohnya Kabupatan Gunung Kidul, Sleman, dan Kulon Progo di provinsi Yogyakarta yang masing-masing cuma mendapatkan jatah dana bagi hasil sumber alam, Rp144-146 jutaan per tahun
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo seusai Seminar Nasional: Kebijakan Energi Nasional-Langkah Awal Percepatan Pembangunan Nasional Menuju Kemandirian Energi Bangsa, mengungkapkan selama ini belum ada transparansi pembagian DBH migas ke daerah, sehingga menimbulkan berbagai persoalan dan kecemburuan di tingkat daerah. Dana bagi hasil migas untuk pemerintah itu sangat besar, yakni 85% dan kontraktornya 15%, tetapi kenyataan daerah penghasil selalu mengeluhkan karena mendapat bagian yang dinilai sedikit. Harus ada evaluasi dan transparansi penyaluran DBH ini, sehingga jelas duitnya kemana aja. Tinggal KPK aja yang masuk. Selain itu, pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi ke pemerintah daerah seharusnya tidak hanya sampai di tingkat kabupaten, tetapi juga dialokasikan ke tingkat kecamatan.
Berdasarkan Undang-undang No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dana bagi hasil minyak bumi kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% dan pemerintah pusat sebesar 84,5%. Sementara itu, dana bagi hasil gas bumi untuk pemerintah daerah 30,5% dan pemerintah pusat 69,5%. Dana bagi hasil minyak bumi yang diterima pemerintah daerah sebesar 15,5% itu terdiri dari 3% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% kabupaten/Kota penghasil, 6% untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan, dan sisanya sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
Di sisi lain, dari dana bagi hasil gas bumi yang diterima pemda sebesar 30,5%, sebesar 6% dibagikan ke provinsi bersangkutan, 12% untuk kabupaten/kota penghasil, 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dan sisanya sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
Menurut Widjajono, Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu segera direvisi, sehingga penyaluran DBH bisa sampai ke tingkat kecamatan. Kalau kecamatan itu dapat bagian [DBH], tidak akan menimbulkan kecemburuan. Otonomi daerah itu kan jangan hanya nyangkut sampai kabupaten, bila perlu sampai ke kelurahan. Kalau daerah mau dapat lebih, ambillah bagian pemerintah pusat.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jatim Dahlan, di Surabaya, Senin (20/12) mengatakan, tahun lalu Jatim hanya menerima dana bagi hasil (DBH) migas sebesar Rp 34 miliar. Jumlah itu lebih kecil dari realisasi DBH migas 2008 sebesar Rp 64 miliar. Tahun ini diproyeksikan Rp 84 miliar. Bahkan, jika diteliti lagi, Jatim hanya mendapatkan Rp 22 juta dari DBH gas selama tahun 2009. Padahal, Provinsi ini mendapat Rp 2,1 miliar dari sumber yang sama selama tahun 2008. Tahun 2010 DBH gas bumi diproyeksikan Rp 7 miliar.
Staf Advokasi Fitra Jatim, Miftahul Huda, mengatakan, sebagian daerah tidak tahu hak yang sebenarnya. Hal itu antara lain karena pusat dan kontraktor ekploitasi tidak transparan soal biaya produksi. DBH dihitung dari sisa selisih pendapatan dan biaya produksi. Masalahnya, daerah tidak bisa mengakses berapa biaya produksi. DPRD Bojonegoro sering mengeluh sulit mengakses hal itu ke kontraktor blok Cepu. Akibatnya, daerah kesulitan meminta DBH lebih besar termasuk menentukan perhitungan. Penentuan DBH sepenuhnya kewenangan pusat dan dalam kondisi tertutup. Kalau tertutup terus, rawan terjadi pelanggaran. Penentuan DBH selalu berubah-ubah dan tidak mendekati kenyataan. Bojonegoro mengalami perubahan itu tiga kali untuk tahun anggaran 2009. Awalnya ditetapkan DBH senilai Rp 130 miliar. selanjutnya diturunkan menjadi Rp 52 miliar. Terakhir, pusat menetapkan DBH migas untuk Bojonegoro menjadi Rp 82 miliar. Faktanya, transfer dari pusat hanya Rp 37,9 miliar.
Gara-gara hal tersebut, Bupati Bojonegoro Suyoto sampai khawatir gagal membayar sejumlah proyek yang didanai APBD. Dalam APBD, sudah disusun proyeksi pendapatan dari DBH migas dan penggunaanya. Akibat realisasi lebih kecil dari janji pemerintah, sejumlah program tidak mendapat dana. Kecemasan masyarakat selama eksploitasi berlangsung juga belum dihitung. Apalagi, di Jatim sering muncul kasus yang meresahkan dan merugikan warga sekitar lokasi ekploitasi migas. Penduduk cemas karena setiap saat ada ancaman ledakan dari sumur migas. Kalau ada kebocoran, penduduk menghirup udara tidak sehat.
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) diberikan untuk mencari dan mengembangkan cadangan hidrokarbon di area tertentu sebelum berproduksi secara komersial. PSC berlaku untuk beberapa tahun tergantung pada syarat kontrak, tergantung penemuan minyak dan gas dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara kontraktor dan Kementrian ESDM cc. Ditjen Migas. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali persentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area tersebut terkait dengan permukaan lapangan dimana telah ditemukan minyak dan gas.
Periode POD (Plan of Development) pertama, kontraktor mengajukan ke Ditjen Migas dan untuk POD selanjutnya dengan BP MIGAS. Sesuai dengan UU 22 tahun 2001, BP MIGAS bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kontrak. BP Migas secara khusus bertanggung jawab untuk mengelola semua operasi PSC, mendapatkan persetujuan dan izin yang dibutuhkan untuk proyek dan menyetujui program kerja dan anggaran kontraktor. Tanggung jawab dari kontraktor dalam PSC umumnya menyediakan dana atas semua aktivitas serta menyiapkan dan melaksanakan program kerja dan anggaran. Sebagai imbalannya, kontraktor diizinkan untuk mengambil dan mengekspor minyak mentah dan produksi gas yang menjadi haknya.
Dalam setiap PSC, kontraktor dan BP Migas membagi total produksi untuk setiap periode berdasarkan suatu rasio yang disetujui oleh keduanya dibawah persyaratan dari PSC tersebut. Kontraktor umumnya berhak untuk memperoleh kembali dana yang telah dikeluarkan untuk biaya pencarian dan pengembangan, serta biaya operasi, di tiap PSC dari pendapatan yang tersedia yang dihasilkan PSC setelah dikurangkan first tranche petroleum (FTP). Dalam ketentuan FTP, para pihak berhak untuk mengambil dan menerima minyak dan gas dengan persentase tertentu setiap tahun, tergantung pada persyaratan kontrak, dan dari total produksi di tiap formasi atau zona produksi sebelum pengurangan untuk pengembalian biaya operasi dan kredit investasi. FTP setiap tahun umumnya dibagi antara BP Migas dan kontraktor sesuai dengan suatu standar bagi hasil. Jumlah biaya yang dipulihkan (cost recovery) oleh kontraktor dihitung berdasarkan referensi atas harga minyak mentah yang berlaku di Indonesia dan harga gas aktual. Setelah kontraktor memulihkan semua biaya yang dikeluarkan, Pemerintah berhak memperoleh pembagian tertentu dari hasil produksi minyak bumi dan gas alam yang tersisa, selanjutnya kontraktor memperoleh sisanya sebagai bagian ekuitas (laba).
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: BPMIGAS) adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 16 Juli 2002 sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia. Dengan didirikannya lembaga ini melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta PP No 42/2002 tentang BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama yang sebelumnya dikerjakan oleh PERTAMINA selanjutnya ditangani langsung oleh BPMIGAS sebagai wakil pemerintah. Saat ini BP Migas dikepalai oleh Kardaya Warnika.
Dalam menjalankan tugas, BPMIGAS memiliki wewenang :
• membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS
• merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS
• mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKKS
• membina seluruh aset KKKS] yang menjadi milik negara
• melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Susunan Organisasi
Kepala BP Migas : R Priyono (per Mei 2010)
Wakil Kepala BP Migas : Hardiono
Deputi Perencanaan : Haposan Napitupulu
Deputi Pengendalian Operasi : Budi Indianto
Deputi Pengendalian Keuangan : Wibowo S. Wirjawan
Deputi Umum : Rizal Azir
Deputi Bidang Evaluasi dan Pertimbangan Hukum : Lambok H. Hutauruk
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terdiri dari perusahaan luar dan dalam negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri. Daftar ini selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP Migas setiap tahunnya. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi yang disingkat BPH Migas merupakan badan yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian BBM dan usaha pengangkutan Gas Bumi melalui pipa guna menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM di seluruh wilayah NKRI dan mendorong peningkatan pemanfaatan gas bumi dalam negeri. Badan ini dibentuk berdasarkan amanat UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi melalui Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 2002 jo Keputusan Presiden No. 86 Tahun 2002. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah para kontraktor BPMIGAS yang memiliki hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran minyak dan gas bumi di Indonesia.Kerjasama ini adalah kerjasama yang memiliki persetujuan melalui suatu kontrak tertentu.
Internasional
• Amerada Hess (Indonesia-Pangkah) Ltd
• APEX (Bengara II) Ltd
• BG International Limited
• ConocoPhillips
• Energy Equity Epic
• INPEX Corporation
• Kalrez Petroleum Seram Ltd
• Kodeco Energy Co, Ltd
• Korea National Oil Corporation (KNOC)
• KUFPEC (Indonesia) Ltd
• Sinopec International Petroleum
• Indo-Pacific Resources (Java) Ltd
• Titan Resources (Natuna) Indonesia Ltd
• Matrix Oil (Asahan) Pty Ltd
• Star Energy (Kakap) Ltd
• Talisman Asia Ltd
• Zodan N.V.
• Zudavi N.V.
• Permintracer Petroleum Ltd
• Petrochina International
• Petronas Carigali Berhad Ltd
• Petronas Carigali Rims - Joc Ltd
• Petronas Carigali Tanjung Jabung Ltd
• Petroselat Ltd
• Premier Oil Natuna Sea, BV
• Santos Limited
• Lundin B.V
Indonesia
• BP Indonesia, anak perusahaan dari BP
• Chevron Pacific Indonesia, anak perusahaan dari Chevron Corporation
• Chevron Indonesia d/h Unocal Indonesia, anak perusahaan dari Chevron Corporation
• CNOOC Southeast Sumatra Ltd, anak perusahaan dari CNOOC
• ConocoPhillips Indonesia Inc.Ltd, anak perusahaan dari ConocoPhillips
• ENI Indonesia Ltd, anak perusahaan dari Eni
• ExxonMobil Oil Indonesia, Inc, anak perusahaan dari ExxonMobil
• IMR-Petronusa Bumibakti
• Kondur Petroleum S.A.
• Kangean Energy Indonesia Ltd
• Lapindo Brantas Inc
• Medco E&P Indonesia
• Sele Raya Merangin Dua
• Shell Companies in Indonesia, anak perusahaan dari Shell
• Total E&P Indonesie, anak perusahaan dari Total S.A.
• VICO Indonesia, anak perusahaan dari BP
• PASIR Petroleum Resources Limited, anak perusahaan dari Azzurri Energy Group
• PURI Petroleum Resources Limited, anak perusahaan dari Azzurri Energy Group
BUMN dan Badan Operasi Bersama
Pertamina
• Badan Operasi Bersama (BOB) PT. Bumi Siak Pusako - Pertamina Hulu
• JOB Pertamina - Medco Madura Pty Ltd
• JOB Pertamina - Medco Simenggaris Pty Ltd
• JOB Pertamina - Mobil Langsa Inc
• JOB Pertamina - CONOCOPHLLIPS (Sakakemang) Ltd
• JOB Pertamina - Costa International GROUP Ltd
• JOB Pertamina - Golden Spike South Sumatra Ltd
• JOB Pertamina - Irian Jaya Gas & Oil Co. Inc
• JOB Pertamina - Lasmo (Malagot) Ltd
• JOB Pertamina - Medco Tomoti Sulawesi Ltd
• JOB Pertamina - Petrochina Salawati
• JOB Pertamina - Petrochina Tuban
• JOB Pertamina - Talisman
• JOB Pertamina - Y P F Jambi Merang
• JOB Pertamina - Golden Spike Indonesia Ltd
Aneka Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengajak Provinsi Kepulauan Riau meminta dana bagi hasil timah lebih besar. Bagi hasil yang diterima dua provinsi bertetangga di Selat Karimata dan Laut Natuna itu, selama ini dinilai tidak proporsional.
Anggota Komisi I DPRD Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Toni Purnama, Jumat (6/5), mengatakan, saat ini sudah ada keinginan dari Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), untuk mencoba sepakat dengan ajakan itu. Pemkab Karimun sepakat dengan Pemprov Babel untuk menuntut bagi hasil lebih besar. Tujuh kabupaten/kota yang ada di Babel, serta Provinsi Babel sendiri, hanya mendapat Rp 70 miliar per tahun atau hanya 3 persen. Karimun juga mendapat 3 persen dengan nilai rata-rata Rp 7 miliar. Nilai itu tidak adil dan tidak proporsional. Babel mendesak pemerintah pusat menaikkan royalti menjadi 10 persen per tahun. Dengan royalti sebesar itu, Babel diperkirakan bisa mendapat bagi hasil hingga Rp 300 miliar per tahun. Kabupaten Karimun sangat setuju desakan Babel kepada pemerintah pusat. Harus ada bagi hasil lebih baik bagi daerah penghasil. Permintaan itu antara lain didasari nilai ekspor timah yang sangat tinggi. Sepanjang Maret 2011 saja, nilai ekspor timah Babel mencapai Rp 1,8 triliun. Nilai ekspor timah setara 79,3 persen dari total ekspor Provinsi Kepulauan Babel.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Babel Yomin Tofri mengatakan, nilai ekspor timah pada Maret 2011 hampir setara nilai ekspor Januari hingga Maret pada tahun 2010 lalu. Pada tiga bulan pertama 2010, total nilai ekspor timah Babel mencapai Rp 2,1 triliun. Jika dihitung dalam dollar AS, nilai ekspor Maret 2011 meningkat 132,3 persen dibandingkan nilai ekspor timah Januari hingga Maret tahun lalu. Sebagai gambaran, BPS setempat tahun 2009 mencatat produksi bijih timah Babel mencapai 51.596,83 ton. Adapun logam timah 45.687,48 ton. Sebanyak 68 persen timah Babel diekspor ke Singapura. Sisanya ke Belanda, Jepang, Malaysia, dan Taiwan.
Tuntutan 18 provinsi yang memiliki areal perkebunan cukup luas, agar pemerintah pusat mengalokasikan dana bagi hasil perkebunan ke daerah, makin tak jelas nasibnya. Kementerian Koordinator Perekonomian hingga kini tak lagi merespon tuntutan tersebut. Padahal bagi beberapa provinsi yang tak memiliki sumber daya mineral dan gas, bagi hasil perkebunan menjadi salah satu alternatif menggenjot pendapatan daerah.
Kepala Bidang Pengembangan dan Pengendalian Dinas Pendapatan Provinsi Sumut Victor Lumban Raja mengungkapkan, tuntutan 18 provinsi agar pemerintah pusat mengalokasikan dana bagi hasil perkebunan sebenarnya sempat direspon. September tahun lalu, Kementerian Koordinator Perekonomian melalui salah seorang deputinya memanggil kami. Sumut ditetapkan sebagai koordinator karena kami yang sejak awal mengawal tuntutan ini. Saat itu peme rintah pusat menjanjikan akan segera membahas tuntutan ini dengan melibatkan semua provinsi yang memiliki areal perkebunan cukup luas. Akan tetapi, hingga kini Kementerian Koordinator Perekonomian sama sekali tak pernah merespon tuntutan tersebut. Padahal, di saat bersamaan, sebenarnya instrumen untuk menentukan dana bagi hasil perkebunan sudah semakin banyak, di antaranya dari persentase bea keluar eksporcrude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit. Kalau memang instrumennya ditetapkan dari bea keluar CPO kan, pengusaha perkebunan sudah tidak terbebani lagi. Pemerintah tinggal mengalokasikan saja untuk daerah, hasil yang mereka peroleh dari bea keluar ekspor CPO. Saat ini dengan harga CPO yang berkisar 1.280 - 1.290 dollar Amerika Serikat perton, pemerintah menetapkan bea keluar sebesar 20 persen. Instrumen pembagi yang paling jelas memang bea keluar ekspor.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumut Parlindungan Purba, mengatakan bahwa Kebetulan bea keluar untuk ekspor CPO ini kan termasuk besar. Tetapi nanti juga harus dipikirkan instrumen pembagi lainnya untuk komoditi karet dan kakao. DPD RI sebenarnya sudah memparipurnakan tuntutan bagi hasil perkebunan dalam sidang merek a. Dia mengatakan, hingga saat ini memang pemerintah belum menentukan sikap yang jelas soal tuntutan 18 provinsi yang meminta bagi hasil perkebunan. Waktu kami bertemu dengan Menteri Keuangan, beliau bilang pemerintah pusat pada prinsipnya tinggal menung gu perubahan Undang-Undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pihak perkebunan negara (PTPN) sebenarnya tidak keberatan dengan tuntutan daerah ini, asal ada landasan hukumnya. Kami berharap DPR sudah memasukkan rencana perubahan Undang-Undang perimban gan keuangan pusat dan daerah ini dalam prolegnas (program legislasi nasional). Tuntutan bagi hasil perkebunan oleh 18 provinsi ini menjadi upaya daerah mencari sumber pendapatan lain, jika wilayahnya tak memiliki sumber daya mineral dan gas. Sebab, UU hanya mengalokasikan dana bagi hasil bagi usaha pertambangan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Harry Azhar Azis, di Jakarta, Selasa (29/11/2011), mengatakan bahwa karena pemerintah takut dengan daerah yang menuntut secara keras, maka alokasi dana bagi hasil (DBH) daerah tersebut diperbesar. Contohnya, DBH untuk Aceh dan Papua jauh lebih besar karena daerah tersebut berani mengangkat senjata. Tidak fair pola pemberian DBH ini. Aceh dan Papua dapat 70 persen tetapi Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, hanya dapat 30 persen. Pola bagi hasil ini tidak fair. Karena Aceh dan Papua teriak lebih keras, bahkan mengangkat senjata, maka pemerintah pusat takut. Sementara daerah saya, di Natuna Kepulauan Riau kan penghasil sumber daya alam juga, tapi DBH-nya tak sebesar Aceh atau Papua. Sebagai wakil rakyat dari daerah yang kaya sumber daya alam, dia akan kencang berteriak menyerukan perbaikan pola pembagian DBH. Saya tidak bermaksud mengompori supaya daerah lain angkat senjata, tetapi ini ada yang tak fair dalam pembagian DBH. Penyaluran DBH, yang ternyata tak sanggup mengangkat tingkat kemiskinan di wilayah yang kaya sumber daya alam. Riau itu penghasil 70 persen minyak bumi, tetapi masyarakat miskin di Riau juga paling banyak. Harus ada reward and punishment dalam penyaluran DBH.
Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Alokasi DBH Pajak yang telah didistribusikan :
DBH Pajak Tahun 2001
Bagi Hasil Propinsi
Bagi Hasil Kabupaten/Kota
DBH Pajak Tahun 2004
Realisasi DBH Pajak
DBH Pajak Tahun 2005
Realisasi DBH Pajak
DBH Pajak Tahun 2006
Realisasi DBH Pajak
DBH Pajak Tahun 2007
Realisasi DBH Pajak dalam bentuk lampiran PMK
Lampiran PMK No. 05 tahun 2007, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan kepada Seluruh Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2007
PMK No.05 tahun 2007 versi pdf (43 KB)
Lampiran PMK No. 03 tahun 2007, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Daerah Tahun Anggaran 2007
PMK No.141 tahun 2006 versi pdf (50 KB)
Lampiran PMK No. 127 tahun 2006, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2007
PMK No.127 tahun 2006 versi pdf (57 KB)
DBH Pajak Tahun 2008
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/2007 tentang Perkiraan Alokasi Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat Yang Dibagikan Kepada Seluruh Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2008
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/2007 tentang Perkiraan Alokasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat Yang Dibagikan Kepada Seluruh Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2008
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/2007 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Pengahasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2008 [Lampiran KMK ]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/2008 tentang Penetapkan Perkiraan Alokasi Dana Bagi HASIL Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Daerah Tahun 2008 [Lampiran KMK ]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/2008 tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Daerah Tahun Anggaran 2008
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.