KULIAH PUBLIK: Wajah Ekonomi Indonesia Tahun 2012 (bagian-1)

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Wednesday, December 26, 2012

Wajah Ekonomi Indonesia Tahun 2012 (bagian-1)

Ekonomi Indonesia Hanya Dinikmati Kelas Menengah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tergolong tiga besar di Asia ternyata hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat saja, yakni kelas menengah. Agar lebih merata, pemerintah Indonesia harus memanfaatkan aliran investasi untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar demi terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth). Hasil studi "Asian Trends Monitoring" yang diselenggarakan Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore dan didukung The Rockefeller Foundation, menyatakan, dibalik kebangkitan Asia terdapat resiko ketidakmerataan akses dan kesejahteraan. hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan aspek lain dalam masyarakat.

Sebagai gambaran, di tengah meningkatnya produk domestik bruto (GDP) per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7-10 persen di beberapa negara Asia, masih ada sekitar 1 miliar orang yang belum memiliki akses bank. "Entah karena mereka miskin sehingga tidak memerlukan bank, atau karena mereka tidak punya cukup dana untuk menaruh dana di bank," kata Associate Professor di National University of Singapore (NUS), Prof Darryl S. L. Jarvis, spesialisasi analisa resiko ekonomi dan studi politik di Asia, dalam wawancara eksklusif dengan The Jakarta Globe, di Jakarta.

Menurut hasil studinya, sekitar 60-70 persen manfaat ekonomi hanya dirasakan kelas menengah atas yang tinggal di perkotaan dan memiliki tingkat pendidikan tinggi. Mereka yang tinggal di perkotaaan bisa menikmati akses ke fasilitas-fasilitas dasar seperti pelayanan kesehatan, telekomunikasi dan transportasi.

Pertumbuhan ekonomi Asia telah menguntungkan sebagian, tetapi tidak semua masyarakat. Kondisi  ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam dan Malaysia. "Ketika ekonomi bertumbuh sebesar 7-9 persen, namun tidak ada akses air minum bersih yang gratis, sanitasi, serta sistem pelayanan kesehatan, maka alokasi dana pemerintah harus dipertanyakan. Meski Indonesia tergolong negara berpendapatan menengah versi World Bank, namun jika melihat aspek-aspek lain seperti tingkat kematian anak dan tingkat ibu hamil, Indonesia masih tergolong negara dunia ketiga.

Selain itu, meski Indonesia termasuk kelompok negara maju dan berkembang (G-20), namun faktanya, banyak daerah di luar Jakarta yang tidak merasakan perbaikan ekonomi. Gambaran bahwa Jakarta mewakili seluruh negara itu tidak benar. Kondisi ini mencerminkan lemahnya kinerja dan regulasi pemerintah sehingga tidak mampu mewujudkan tingkat kesejahteraan agar lebih merata. Pemerintah juga belum mampu meningkatkan fasilitas-fasilitas di daerah.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chris Kanter, yang juga anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN), tidak setuju dengan pendapat Jarvis. Meski di daerah-daerah tertentu belum menikmati pertumbuhan ekonomi akibat kurangnya infrastruktur, namun hampir semua industri yang berkaitan dengan konsumsi melakukan ekspansi. Artinya tidak mungkin pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di kota. Pertumbuhan kelas menengah Indonesia bisa terlihat dari jumlah penjualan elektronik dan otomotif yang terus meningkat dari tahun ke tahun. "Akan selalu ada pihak yang tidak menikmati. Salah satu penghambat pembangunan infrastruktur adalah mahalnya biaya logistik. Di Indonesia, biaya logistik bisa memakan 14-17 persen dari total biaya produksi. Bandingkan negara lain di Asean yang rata-rata hanya 5 persen. "Akibatnya, harga semen di Papua, misalnya, bisa tiga kali lipat lebih mahal," jelasnya.

Utang Luar Negeri Dipakai untuk Membiayai Perubahan Iklim

Data Bank Dunia menyatakan, dalam tujuh tahun terakhir, sebanyak 50 juta penduduk Indonesia masuk kelas menengah atas. Hingga akhir 2010, pendapatan per kapita Indonesia mencapai US$ 3.000. Sementara PDB Indonesia tahun ini meningkat 17 persen menjadi US$ 840 miliar, dari tahun sebelumnya US$ 720 miliar. Nilai ini menempati urutan 17 dari 195 negara di dunia. Pada 2040, PDB Indonesia diprediksi berada di peringkat 4-5 besar dunia. Pada 2011 saja disebut pemerintah sudah berutang sebesar US$ 600 juta. Rasio utang luar negeri terhadap PDB terus membaik sejak 2004, dan masih dibawah rata-rata rasio utang dari PDB negara-negara berkembang yang mencapai 33 persen. 

Koalisi masyarakat sipil mempertanyakan utang pemerintah untuk pendanaan perubahan iklim. "Pemerintah secara diam-diam telah melanjutkan kebijakan pendanaan perubahan iklim yang bersumber dari utang luar negeri. Sebagaimana disebutkan dalam dokumen Nota Keuangan RAPBN 2012," kata Yuyun Harmono dari Koalisi Anti Utang, melalui rilis. Kebiasaan berutang pada luar negeri ini disayangkan tak hanya terjadi pada sektor lingkungan, namun juga pembiayaan berbagai aktivitas pembangunan di Indonesia. Pemerintah diminta lebih transparan perihal utang luar negeri.

Teguh Surya dari WALHI menyoroti soal Bank Dunia yang menjadi pengelola dana iklim PBB yaitu UNFCC untuk Indonesia. Pengelolaan ini akan berlangsung selama tiga tahun. "Bagaimana mungkin perbaikan lingkungan sekaligus kondisi sosial terus menerus dikelola oleh lembaga-lembaga yang selama ini mengabaikan tanggung jawabnya dalam kelestarian lingkungan, dan terus menerus mengalienasi masyarakat dari lingkungan dan sumber kehidupannya," kata Teguh.

Koalisi akan menyelenggarakan Pekan Aksi Anti Utang, dan menyerukan perlawanan terhadap Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dalam Koalisi ini tergabung antara lain WALHI, KAU, KRuHA, debtWATCH Indonesia, Solidaritas Perempuan, dan Sawit Watch.

Agregasi Utang Indonesia Masih Wajar?


Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rizal Edy Halim, di Depok, Minggu (21/10)mengatakan, utang luar negeri (LN) Indonesia yang mencapai Rp1.975 triliun dan merupakan agregasi utang masa lalu ditambah pinjaman tahun ini masih wajar.  Prospek ekonomi Indonesia yang terus berkilau dan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus meningkat, sehingga jumlah utang masih wajar. Kemampuan dan fundamental ekonomi Indonesia terus meningkat seiring dengan peningkatan postur anggaran. 

Ekonomi Indonesia terus dipacu, percepatan pembangunan dan perluasan pertumbuhan atau yang sering disebut pertumbuhan dan pembangunan berkualitas, adil dan merata tercermin dalam kebijakan fiskal dan alokasi anggaran APBN  dalam 3 tahun terakhir. Pembangunan harus terus digenjot di tengah ruang gerak fiskal terbatas walaupun terus ekspansi. Rasio utang LN terhadap PDB terus membaik sejak 2004, dan masih dibawah rata-rata rasio utang dari PDB negara-negara berkembang yang mencapai 33 persen. Konsensus internasional memberikan batasan "aman" bagi rasio utang terhadap PDB maksimal sebesar 60 persen.

Pada satu sisi, utang merupakan momok bagi negara-negara dengan kedisiplinan fiskal rendah seperti di zona Eropa, di sisi lain utang merupakan indkator kekuatan ekonomi suatu negara (dengan asumsi disiplin fiskal yang tinggi). Profil utang LN masih sangat terkontrol hingga saat ini, bahkan hingga tahun 2050 utang LN masih dalam pengendalian fiskal. Pemerintah harus tetap menjaga ruang gerak fiskal agar tetap dapat menjadi stimulus pertumbuhan yang merupakan salah satu instrumen untuk merespon turunnya permintaan global saat ini. Stimulus untuk menggenjot pertumbuhan melalui alokasi fiskal yang tepat terus ditingkatkan. 

Pada saat krisis seperti ini, Indonesia terus melakukan konsolidasi fiskal untuk memberi ruang gerak kebijakan fiskal mengantisipasi perubahan-perubahan ekstrim. Profil jatuh tempo utang LN hingga 2055 masih sangat terkendali dengan terus tumbuhnya PDB nasional. Utang LN bukan satu-satunya instrumen ekonomi yang dilakukan Indonesia, untuk mengatasi defisit anggaran, neraca pembayaran terus ditingkatkan, kinerja perdagangan dan investasi terus dimaksimalkan. Hasilnya, dapat dilihat dalam semester 1-2012, dimana neraca pembayaran dapat dipulihkan dalam kondisis surplus di tengah tekanan turunnya permintaan global. Kesehatan fiskal Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga semester 1-2012 semakin meningkat. Pengelolaan fiskal di tengah perlambatan global merupakan prestasi tersendirii bagi pemerintah saat ini. Di tengah dunia yang tertekan ketidakpastian global, ekonomi Indonesia sebaliknya terus berkembang dan bertumbuh positif di semester 1-2012.

(Baca Juga Bagian ke-2)


  • Cermati Resiko Konsumsi Domestik Selamatkan RI dari Krisis Global
  • Peluang RI meraup Investasi Manufaktur Asing
Sumber : http://www.beritasatu.com/ekonomi/

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.