Ekonomi
Indonesia Hanya Dinikmati Kelas Menengah
Agregasi Utang Indonesia Masih Wajar?
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tergolong tiga besar di Asia ternyata hanya dinikmati oleh
sebagian masyarakat saja, yakni kelas menengah. Agar lebih merata, pemerintah
Indonesia harus memanfaatkan aliran investasi untuk meningkatkan sumber daya
manusia (SDM) dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar demi terciptanya
pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth). Hasil studi "Asian
Trends Monitoring" yang diselenggarakan Lee Kuan Yew School of Public
Policy di National University of Singapore dan didukung The Rockefeller
Foundation, menyatakan, dibalik kebangkitan Asia terdapat resiko
ketidakmerataan akses dan kesejahteraan. hal ini menyebabkan ketidakseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi dan aspek lain dalam masyarakat.
Sebagai gambaran, di tengah
meningkatnya produk domestik bruto (GDP) per kapita dan pertumbuhan ekonomi
yang mencapai 7-10 persen di beberapa negara Asia, masih ada sekitar 1 miliar
orang yang belum memiliki akses bank. "Entah karena mereka miskin sehingga
tidak memerlukan bank, atau karena mereka tidak punya cukup dana untuk menaruh
dana di bank," kata Associate Professor di National University of
Singapore (NUS), Prof Darryl S. L. Jarvis, spesialisasi analisa resiko ekonomi
dan studi politik di Asia, dalam wawancara eksklusif dengan The Jakarta Globe,
di Jakarta.
Menurut hasil studinya, sekitar
60-70 persen manfaat ekonomi hanya dirasakan kelas menengah atas yang tinggal
di perkotaan dan memiliki tingkat pendidikan tinggi. Mereka yang tinggal di
perkotaaan bisa menikmati akses ke fasilitas-fasilitas dasar seperti pelayanan
kesehatan, telekomunikasi dan transportasi.
Pertumbuhan ekonomi Asia
telah menguntungkan sebagian, tetapi tidak semua masyarakat. Kondisi ini
tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di sejumlah negara Asia Tenggara,
seperti Filipina, Vietnam dan Malaysia. "Ketika ekonomi bertumbuh sebesar
7-9 persen, namun tidak ada akses air minum bersih yang gratis, sanitasi, serta
sistem pelayanan kesehatan, maka alokasi dana pemerintah harus dipertanyakan. Meski
Indonesia tergolong negara berpendapatan menengah versi World Bank, namun jika
melihat aspek-aspek lain seperti tingkat kematian anak dan tingkat ibu hamil,
Indonesia masih tergolong negara dunia ketiga.
Selain itu, meski Indonesia
termasuk kelompok negara maju dan berkembang (G-20), namun faktanya, banyak
daerah di luar Jakarta yang tidak merasakan perbaikan ekonomi. Gambaran bahwa
Jakarta mewakili seluruh negara itu tidak benar. Kondisi ini mencerminkan
lemahnya kinerja dan regulasi pemerintah sehingga tidak mampu mewujudkan
tingkat kesejahteraan agar lebih merata. Pemerintah juga belum mampu
meningkatkan fasilitas-fasilitas di daerah.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia Chris Kanter, yang juga anggota Komite Ekonomi
Nasional (KEN), tidak setuju dengan pendapat Jarvis. Meski di daerah-daerah
tertentu belum menikmati pertumbuhan ekonomi akibat kurangnya infrastruktur,
namun hampir semua industri yang berkaitan dengan konsumsi melakukan ekspansi. Artinya
tidak mungkin pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di kota. Pertumbuhan kelas
menengah Indonesia bisa terlihat dari jumlah penjualan elektronik dan otomotif
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. "Akan selalu ada pihak yang
tidak menikmati. Salah satu penghambat pembangunan infrastruktur adalah
mahalnya biaya logistik. Di Indonesia, biaya logistik bisa memakan 14-17 persen
dari total biaya produksi. Bandingkan negara lain di Asean yang rata-rata hanya
5 persen. "Akibatnya, harga semen di Papua, misalnya, bisa tiga kali lipat
lebih mahal," jelasnya.
Utang
Luar Negeri Dipakai untuk Membiayai Perubahan Iklim
Data Bank Dunia menyatakan,
dalam tujuh tahun terakhir, sebanyak 50 juta penduduk Indonesia masuk kelas
menengah atas. Hingga akhir 2010, pendapatan per kapita Indonesia mencapai US$
3.000. Sementara PDB Indonesia tahun ini meningkat 17 persen menjadi US$
840 miliar, dari tahun sebelumnya US$ 720 miliar. Nilai ini menempati urutan 17
dari 195 negara di dunia. Pada 2040, PDB Indonesia diprediksi berada di
peringkat 4-5 besar dunia. Pada 2011 saja disebut
pemerintah sudah berutang sebesar US$ 600 juta. Rasio utang luar negeri
terhadap PDB terus membaik sejak 2004, dan masih dibawah rata-rata rasio utang
dari PDB negara-negara berkembang yang mencapai 33 persen.
Koalisi masyarakat sipil
mempertanyakan utang pemerintah untuk pendanaan perubahan iklim. "Pemerintah
secara diam-diam telah melanjutkan kebijakan pendanaan perubahan iklim yang
bersumber dari utang luar negeri. Sebagaimana disebutkan dalam dokumen Nota Keuangan
RAPBN 2012," kata Yuyun Harmono dari Koalisi Anti Utang, melalui rilis. Kebiasaan
berutang pada luar negeri ini disayangkan tak hanya terjadi pada sektor
lingkungan, namun juga pembiayaan berbagai aktivitas pembangunan di Indonesia. Pemerintah
diminta lebih transparan perihal utang luar negeri.
Teguh Surya dari WALHI
menyoroti soal Bank Dunia yang menjadi pengelola dana iklim PBB yaitu UNFCC
untuk Indonesia. Pengelolaan ini akan berlangsung selama tiga tahun. "Bagaimana
mungkin perbaikan lingkungan sekaligus kondisi sosial terus menerus dikelola
oleh lembaga-lembaga yang selama ini mengabaikan tanggung jawabnya dalam
kelestarian lingkungan, dan terus menerus mengalienasi masyarakat dari
lingkungan dan sumber kehidupannya," kata Teguh.
Koalisi akan
menyelenggarakan Pekan Aksi Anti Utang, dan menyerukan perlawanan terhadap Bank
Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dalam Koalisi ini tergabung antara lain
WALHI, KAU, KRuHA, debtWATCH Indonesia, Solidaritas Perempuan, dan Sawit Watch.
Agregasi Utang Indonesia Masih Wajar?
Peneliti Ekonomi Universitas
Indonesia (UI), Rizal Edy Halim, di Depok, Minggu (21/10)mengatakan, utang luar
negeri (LN) Indonesia yang mencapai Rp1.975 triliun dan merupakan agregasi
utang masa lalu ditambah pinjaman tahun ini masih wajar. Prospek ekonomi
Indonesia yang terus berkilau dan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) yang
terus meningkat, sehingga jumlah utang masih wajar. Kemampuan dan fundamental
ekonomi Indonesia terus meningkat seiring dengan peningkatan postur anggaran.
Ekonomi Indonesia terus
dipacu, percepatan pembangunan dan perluasan pertumbuhan atau yang sering
disebut pertumbuhan dan pembangunan berkualitas, adil dan merata tercermin
dalam kebijakan fiskal dan alokasi anggaran APBN Â dalam 3 tahun terakhir.
Pembangunan harus terus digenjot di tengah ruang gerak fiskal terbatas walaupun
terus ekspansi. Rasio utang LN terhadap PDB terus membaik sejak 2004, dan masih
dibawah rata-rata rasio utang dari PDB negara-negara berkembang yang mencapai
33 persen. Konsensus internasional memberikan batasan "aman" bagi
rasio utang terhadap PDB maksimal sebesar 60 persen.
Pada satu sisi, utang
merupakan momok bagi negara-negara dengan kedisiplinan fiskal rendah seperti di
zona Eropa, di sisi lain utang merupakan indkator kekuatan ekonomi suatu negara
(dengan asumsi disiplin fiskal yang tinggi). Profil utang LN masih sangat
terkontrol hingga saat ini, bahkan hingga tahun 2050 utang LN masih dalam
pengendalian fiskal. Pemerintah harus tetap menjaga ruang gerak fiskal
agar tetap dapat menjadi stimulus pertumbuhan yang merupakan salah satu
instrumen untuk merespon turunnya permintaan global saat ini. Stimulus untuk
menggenjot pertumbuhan melalui alokasi fiskal yang tepat terus ditingkatkan.
Pada saat krisis seperti
ini, Indonesia terus melakukan konsolidasi fiskal untuk memberi ruang gerak
kebijakan fiskal mengantisipasi perubahan-perubahan ekstrim. Profil jatuh tempo
utang LN hingga 2055 masih sangat terkendali dengan terus tumbuhnya PDB
nasional. Utang LN bukan satu-satunya instrumen ekonomi yang dilakukan
Indonesia, untuk mengatasi defisit anggaran, neraca pembayaran terus
ditingkatkan, kinerja perdagangan dan investasi terus dimaksimalkan. Hasilnya, dapat
dilihat dalam semester 1-2012, dimana neraca pembayaran dapat dipulihkan dalam
kondisis surplus di tengah tekanan turunnya permintaan global. Kesehatan
fiskal Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga semester 1-2012 semakin meningkat.
Pengelolaan fiskal di tengah perlambatan global merupakan prestasi tersendirii
bagi pemerintah saat ini. Di tengah dunia yang tertekan ketidakpastian global,
ekonomi Indonesia sebaliknya terus berkembang dan bertumbuh positif di semester
1-2012.
(Baca Juga Bagian ke-2)
- Cermati Resiko Konsumsi Domestik Selamatkan RI dari Krisis Global
- Peluang RI meraup Investasi Manufaktur Asing
Sumber : http://www.beritasatu.com/ekonomi/
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.