KULIAH PUBLIK: Mencermati Nasib Orbit 123, Parkiran Satelit Strategis Indonesia

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Monday, June 11, 2018

Mencermati Nasib Orbit 123, Parkiran Satelit Strategis Indonesia


Mencermati kepentingan nasional keberadaan satelit ini dinilai sebagai kebutuhan mendesak. KEMKOMINFO selaku administrator telekomunikasi, kebagian tugas menginformasikan penujukan Airbus Defence and Space (ADS) ke International Telecommunication Union (ITU) dan sudah dilakukan. Selanjutnya KEMKOMINFO telah menunjuk KEMHAN sebagai operator satelit ini.

Dalam Proyeksi dan Kegiatan KEMHAN Tahun 2016, disebutkan bahwa komponen paket satelit militer Indonesia terdiri dari satu unit satelit geostationer (GSO) dan tiga unit satelit non geostationer (NGSO). Rencananya, satelit komunikasi militer ini akan beroperasi di ketinggian 36.000 Km, beroperasi di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-. Karena sifatnya geostationer yang standby di atas langit nusantara, fungsi utama satelit ini sebagai penunjang peran komunikasi. Satelit ini siap melayani kebutuhan akses selama 24 jam dalam kurun waktu 15 tahun. Satelit geostationer ini dipersipkan untuk mengisi slot orbit East Asian Geo 123 BT. Pola operasinya mengikuti orbit di Bumi. Dalam 24 jam, satelit berputar 14 kali di seluruh Indonesia (melingkar dekat katulistiwa). Bila sesuai jadwal, ADS akan merampungkan proyek ini pada akhir tahun 2018. Selanjutnya kebutuhan roket peluncur baru disiapkan. Pada 2019, satelit ini harus sudah mengorbit.

Awal Desember 2015, Presiden Jokowi memerintahkan untuk mengambil alih slot tersebut, supaya tidak diisi negara lain. Indonesia masih punya waktu, karena masa pengelolaan slot orbit yang diberikan ITU tersebut habis pada 2017. Satelit pengganti pun dipersiapkan. Satelit militer dari (ADS) Menjadi pilihan. ADS terpilih setelah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI melakukan tender yang diikuti oleh Orbital Sciences Corp dari Amerika Serikat, Loral Space Systems, dan produser satelit dari Rusia. Nilai proyek satelit ADS ini lebih dari 500 juta dolar AS. Harga itu belum termasuk biaya peluncuran dan asuransi yang totalnya bisa mencapai sekitar US $300 juta dolar AS. Total jenderal, proyek bisa mencapai 1 miliar dolar AS, atau sekitar Rp. 13 triliun.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di Jakarta, Senin (14/5/2018) mengatakan, berdasarkan ketentuan International Communication Union Pasal 11.49, dinyatakan jika suatu negara tidak dapat mengisi kekosongan orbit dalam waktu tiga tahun, hak negara pemilik yakni hak terhadap slot orbit akan gugur secara otomatis dan akan digunakan negara lain. Mengingat proses pembuatan satelit baru memerlukan waktu lebih dari tiga tahun, padahal slot tersebut harus segera terisi. Untuk mempertahankan slot orbit tersebut tak lain karena memiliki kemampuan untuk menjangkau daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, komunitas maritim, vessel monitoring system, komunikasi untuk monitoring bencana seperti search and rescue serta komunikasi pertahanan dan keamanan. Keberadaan satelit Indonesia di Slot Orbit 123 derajat BT menjadi sangat penting dan vital bagi pertahanan negara Indonesia mengingat Ietaknya berada tepat di tengah-tengah wilayah yurisdiksi Indonesia atau kira-kira berada di atas Pulau Sulawesi. Posisi satelit milik Asia Cellular Satellite yang dikelola oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) itu sangat strategis, berada di atas garis khatulistiwa. Selain berguna bagi sistem pertahanan dan keamanan, slot orbit satelit Garuda-1 bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih luas, misalnya telekomunikasi.

Sebelum tenggat waktu habis, dan sementara menunggu satelit baru diluncurkan, KEMHAN mengadakan kontrak sewa satelit floater dengan AVANTI untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT. Upaya itu harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan slot orbit dan Spektrum Frekuensi L-Band agar Indonesia tidak kehilangan hak atas pengelolaan. KEMENHAN melibatkan penyedia solusi data dan komunikasi data satelit, AVANTI Communications Group (ACG), untuk mengatasi hal itu. ACG lalu memindahkan satelit Advanced Relay and Technology Mission atau Artemis miliknya, sebagai satelit 'floater sementara ke dalam slot orbit 123 BT. Artemis resmi menggantikan Garuda-1. Langkah itu pada dasarnya diambil berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas yang dilaksanakan 4 Desember 2015 yang telah memerintahkan agar Slot Orbit 123 derajat BT tersebut diselamatkan untuk kemudian dikelola oleh Indonesia.

Perjanjian sewa satelit tersebut, secara paralel dibarengi dengan pemasangan antena stabilised parabolic Ku-band dengan kubah radar, dan sistem komunikasi satelit (SATCOM) di empat kapal perang landing platform dock, Diponegoro Class (SIGMA) dan Bung Tomo Class. KEMENHAN menuturkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016-2017 telah dianggarkan sekitar Rp1,3 triliun untuk uang muka pembelian satelit tersebut. Pihak AVANTI menempatkan Satelit Artemis pada Slot Orbit 123 derajat BT terhitung mulai 12 November 2016 sampai dengan 1 November 2020.

Kendatipun demikian, MENHAN mengungkapkan pihaknya enggan melakukan sewa terhadap satelit tersebut dan cenderung menginginkan pembelian secara langsung. Namun keterbatasan anggaran maka pemerintah memutuskan untuk melakukan kontrak sewa. Tapi setelah 2020 dibeli langsung full misalnya Rp 8 triliun, tapi kalau sewa dihitung-hitung 17 tahun mahal.

Dikutip dari Spacenews, Minggu 10 Juni 2018, KEMENHAN meminjam Satelit Artemis kepada Avanti pada November 2016 untuk mencegah hilangnya hak spektrum L-band pada slor orbit 123 derajat timur. Pada 2015, slot tersebut ditempati oleh satelit Indonesia, Garuda-1 yang sudah mengorbit selama 15 tahun dan sudah tidak mengorbit lagi. Berdasarkan ketentuan International Communication Union Pasal 11.49, apabila suatu negara tidak dapat mengisi kekosongan orbit tersebut dalam waktu tiga tahun, maka hak negara pemilik yakni hak terhadap slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain. Sehingga, terhitung mulai 12 November 2016, Avanti Communications Limited (AVANTI) menempatkan Satelit Artemis pada Slot Orbit 123 derajat BT guna mencegah hilangnya hak spektrum L-band pada slot orbit 123 derajat timur.

Namun, pada Agustus 2017 AVANTI malah melayangkan gugatan kepada pemerintah Indonesia lewat London International Court of Arbitration, yang menyebutkan Indonesia melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa kontrak Artemis. AVANTI menutut Indonesia membayar ganti rugi senilai 16,80 juta dolar AS. Jumlah ini senilai kekurangan pembayaran sewa kontrak yang disepakati yaitu 30 juta dolar AS, atau sekitar Rp. 405 miliar. Pemerintah baru membayar sebesar 13,20 juta dolar AS.

Indonesia sejatinya sudah siap membayar US$30 juta ke AVANTI, untuk biaya relokasi dan sewa satelit. Namun belakangan Indonesia berhenti setelah membayar ke AVANTI sebesar US$13,2 juta. Berbulan-bulan AVANTI menunggu sisa pembayaran dari pemerintah Indonesia. Lantaran tak ada kejelasan, pada Agustus 2017, AVANTI menggugat Indonesia ke arbitrase. Pada November 2017, AVANTI kemudian mematikan satelit Artemis.

Dalam situs resminya dinyatakan, pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase memutuskan KEMENHAN harus membayar AVANTI US$ 20,075 juta dengan batas waktu 31 Juli 2018. Proses arbitrasi dimulai pada 9 Agustus 2017 dibawah London Court of International Arbitration Rules 2014 melawan KEMENHAN terkait pembayaran untuk sewa satelit ARTEMIS miliknya berhasil dimenangkan operator satelit itu. Indonesia kena denda US$20 juta atau Rp. 277 miliar, akibat lalai membayar sewa satelit. Otoritas Indonesia yang lalai membayar sewa satelit itu adalah Kementerian Pertahanan.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan saat ini pemerintah dalam tahap menyelesaikan gugatan tersebut, secara nonyudisial. Batalnya pembelian satelit ADS dan gagal bayar sewa AVANTI, sesungguhnya tidak melulu persoalan uang. Ada perencanaan strategis yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Ada pula unsur wibawa pemerintah yang tercoreng akibat gugatan tersebut. Indonesia sebenarnya sudah siap membayar US$30 juta ke AVANTI, untuk biaya relokasi dan sewa satelit. Namun belakangan Indonesia berhenti setelah membayar ke Avanti sebesar US$ 13,2 juta.

Berbagai media menyebut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah melakukan kajian pada tahun 2017. Hasilnya, penggunaan satelit tersebut dinilai tak memadai sehingga berujung pada masalah administrasi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, KEMENHAN terkesan mengajukan rencana pembelian satelit militer itu secara mendadak. Penjelasan dan kelengkapan yang seharusnya disiapkan untuk melakukan proses pengadaan barang dan jasa belum ada. Kementerian Keuangan tak bisa mencairkan anggaran untuk pembiayaan tersebut.

Komisi I DPR. Ihwal mengatakan satelit itu ternyata hanya sepintas dibahas di DPR. Perwakilan rakyat hanya tahu ada kendala dalam pengadaan satelit militer tersebut. Namun, apakah proyek tersebut tetap dilanjutkan atau dihentikan, tidak ada yang tahu.

Kala kasus ini mulai menyeruak ke publik, Komisi I DPR menilai pemerintah wajib mengisi slot tersebut karena tepat berada di atas Indonesia. Jika tidak segera diisi, Indonesia bisa saja mengalami kerugian secara bisnis dan bahkan pencurian data oleh negara lain. Bahkan, kala itu Komisi I akan membentuk panitia kerja dengan kementerian terkait, dalam rangka pemanfaatan orbit satelit di atas Indonesia. Dalam catatan, Indonesia akan meluncurkan satelit komunikasi militer buatan konsorsium Eropa Airbus Defence and Space pada 2019. Airbus ditunjuk Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menggarap satelit militer itu setelah memenangi tender yang juga diikuti oleh Orbital Sciences Corporation asal Amerika Serikat, Loral Space & Communications asal AS, serta satu perusahaan satelit asal Rusia. Anggaran yang diajukan untuk proyek satelit ini senilai US$ 849,3 juta. Anggaran itu telah disetujui oleh Komisi Pertahanan DPR, dengan pembiayaan berskema tahun jamak selama lima tahun. Jika telah diluncurkan pada 2019, satelit militer itu akan ditempatkan pada koordinat 123 Bujur Timur.

Anggota Komisi I DPR RI Roy Suryo, seperti dikutip dari laman DPR.go.id (12/4/2018) menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi gugatan yang diajukan Avanti Communications. Indonesia kabarnya bisa merugi hingga ratusan miliar rupiah atas tuntutan tersebut. Tuntutan yang dilakukan oleh perusahaan yang berbasis di London ini terkait pemanfaatan orbit satelit yang terbentang pada kordinat 123 derajat bujur timur (BT). Indonesia dianggap tidak memenuhi pembayaran peminjaman satelit sesuai perjanjian yang telah disepakati. Harus ada kerja sama dari seluruh pihak agar masalah ini cepat terselesaikan. Komisi I akan membentuk panitia kerja dengan kementerian terkait, dalam rangka pemanfaatan orbit satelit di atas Indonesia. Kementerian Pertahanan dikabarkan harus melayani gugatan ini, supaya kerugian tidak bertambah karena biaya akan makin membengkak, belum lagi ada tuntutan tambahan dari perusahaan Hungaria.

Orbit itu yang tadinya mau digunakan KEMENHAN kemudian ternyata ada surat dari KEMENKOPOLHUKAM bahwa KEMENHAN tak mampu lakukan itu. Dengan adanya tuntutan internasional tersebut, Indonesia berpotensi mengalami kerugian mencapai Rp. 600 miliar. Tak mengetahui pasti kenapa sampai Kementerian Pertahanan tidak membayar uang sewa tersebut. Pemerintah harus didorong untuk menyelesaikan arbitrase tersebut termasuk mengejar pembuatan satelit sampai batas November 2020. Marwah NKRI, harus dorong selesaikan. Arbitrase harus diselesaikan supaya tak mahal, slot satelit itu belum ada yang pakai, kosong diparkiri AVANTI tapi belum bayar. Slotnya sudah milik Indonesia, batasnya November 2020. Akan menjadi kerugian jika wilayah-wilayah yang harusnya milik Indonesia tapi dimiliki oleh pihak lain. KEMENHAN dinyatakan tidak mampu untuk mengelolanya yang sudah diberi izin sejak 2016. KOMINFO sebagai regulator tugasnya adalah mendukung siapa saja yang mau jadi operator untuk koordinasi administrasi negara lain.


SUMBER :

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.