Mencermati
kepentingan nasional keberadaan satelit ini dinilai sebagai kebutuhan mendesak.
KEMKOMINFO selaku administrator telekomunikasi, kebagian tugas menginformasikan
penujukan Airbus Defence and Space (ADS) ke International Telecommunication
Union (ITU) dan sudah dilakukan. Selanjutnya KEMKOMINFO telah menunjuk KEMHAN
sebagai operator satelit ini.
Dalam
Proyeksi dan Kegiatan KEMHAN Tahun 2016, disebutkan bahwa komponen paket
satelit militer Indonesia terdiri dari satu unit satelit geostationer (GSO) dan
tiga unit satelit non geostationer (NGSO). Rencananya, satelit komunikasi
militer ini akan beroperasi di ketinggian 36.000 Km, beroperasi di spektrum
frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-. Karena sifatnya geostationer yang
standby di atas langit nusantara, fungsi utama satelit ini sebagai penunjang
peran komunikasi. Satelit ini siap melayani kebutuhan akses selama 24 jam dalam
kurun waktu 15 tahun. Satelit geostationer ini dipersipkan untuk mengisi slot
orbit East Asian Geo 123 BT. Pola operasinya mengikuti orbit di Bumi. Dalam 24
jam, satelit berputar 14 kali di seluruh Indonesia (melingkar dekat
katulistiwa). Bila sesuai jadwal, ADS akan merampungkan proyek ini pada akhir
tahun 2018. Selanjutnya kebutuhan roket peluncur baru disiapkan. Pada 2019,
satelit ini harus sudah mengorbit.
Awal
Desember 2015, Presiden Jokowi memerintahkan untuk mengambil alih slot
tersebut, supaya tidak diisi negara lain. Indonesia masih punya waktu, karena
masa pengelolaan slot orbit yang diberikan ITU tersebut habis pada 2017.
Satelit pengganti pun dipersiapkan. Satelit militer dari (ADS) Menjadi pilihan.
ADS terpilih setelah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI melakukan tender yang
diikuti oleh Orbital Sciences Corp dari Amerika Serikat, Loral Space Systems,
dan produser satelit dari Rusia. Nilai proyek satelit ADS ini lebih dari 500
juta dolar AS. Harga itu belum termasuk biaya peluncuran dan asuransi yang
totalnya bisa mencapai sekitar US $300 juta dolar AS. Total jenderal, proyek
bisa mencapai 1 miliar dolar AS, atau sekitar Rp. 13 triliun.
Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu di Jakarta, Senin (14/5/2018) mengatakan,
berdasarkan ketentuan International Communication Union Pasal 11.49, dinyatakan
jika suatu negara tidak dapat mengisi kekosongan orbit dalam waktu tiga tahun,
hak negara pemilik yakni hak terhadap slot orbit akan gugur secara otomatis dan
akan digunakan negara lain. Mengingat proses pembuatan satelit baru memerlukan
waktu lebih dari tiga tahun, padahal slot tersebut harus segera terisi. Untuk
mempertahankan slot orbit tersebut tak lain karena memiliki kemampuan untuk
menjangkau daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil di Indonesia yang merupakan
negara kepulauan, komunitas maritim, vessel monitoring system, komunikasi untuk
monitoring bencana seperti search and rescue serta komunikasi pertahanan dan
keamanan. Keberadaan satelit Indonesia di Slot Orbit 123 derajat BT menjadi
sangat penting dan vital bagi pertahanan negara Indonesia mengingat Ietaknya
berada tepat di tengah-tengah wilayah yurisdiksi Indonesia atau kira-kira
berada di atas Pulau Sulawesi. Posisi satelit milik Asia Cellular Satellite
yang dikelola oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) itu sangat strategis,
berada di atas garis khatulistiwa. Selain berguna bagi sistem pertahanan dan
keamanan, slot orbit satelit Garuda-1 bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain
yang lebih luas, misalnya telekomunikasi.
Sebelum
tenggat waktu habis, dan sementara menunggu satelit baru diluncurkan, KEMHAN
mengadakan kontrak sewa satelit floater dengan AVANTI untuk mengisi Slot Orbit
123 derajat BT. Upaya itu harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan slot orbit
dan Spektrum Frekuensi L-Band agar Indonesia tidak kehilangan hak atas pengelolaan.
KEMENHAN melibatkan penyedia solusi data dan komunikasi data satelit, AVANTI
Communications Group (ACG), untuk mengatasi hal itu. ACG lalu memindahkan
satelit Advanced Relay and Technology Mission atau Artemis miliknya, sebagai
satelit 'floater sementara ke dalam slot orbit 123 BT. Artemis resmi
menggantikan Garuda-1. Langkah itu pada dasarnya diambil berdasarkan arahan
Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas yang dilaksanakan 4 Desember 2015 yang
telah memerintahkan agar Slot Orbit 123 derajat BT tersebut diselamatkan untuk
kemudian dikelola oleh Indonesia.
Perjanjian
sewa satelit tersebut, secara paralel dibarengi dengan pemasangan antena
stabilised parabolic Ku-band dengan kubah radar, dan sistem komunikasi satelit
(SATCOM) di empat kapal perang landing platform dock, Diponegoro Class (SIGMA)
dan Bung Tomo Class. KEMENHAN menuturkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan 2016-2017 telah dianggarkan sekitar Rp1,3 triliun
untuk uang muka pembelian satelit tersebut. Pihak AVANTI menempatkan Satelit
Artemis pada Slot Orbit 123 derajat BT terhitung mulai 12 November 2016 sampai
dengan 1 November 2020.
Kendatipun
demikian, MENHAN mengungkapkan pihaknya enggan melakukan sewa terhadap satelit
tersebut dan cenderung menginginkan pembelian secara langsung. Namun
keterbatasan anggaran maka pemerintah memutuskan untuk melakukan kontrak sewa. Tapi
setelah 2020 dibeli langsung full misalnya Rp 8 triliun, tapi kalau sewa
dihitung-hitung 17 tahun mahal.
Dikutip
dari Spacenews, Minggu 10 Juni 2018, KEMENHAN meminjam Satelit Artemis kepada
Avanti pada November 2016 untuk mencegah hilangnya hak spektrum L-band pada
slor orbit 123 derajat timur. Pada 2015, slot tersebut ditempati oleh satelit Indonesia,
Garuda-1 yang sudah mengorbit selama 15 tahun dan sudah tidak mengorbit lagi. Berdasarkan
ketentuan International Communication Union Pasal 11.49, apabila suatu negara
tidak dapat mengisi kekosongan orbit tersebut dalam waktu tiga tahun, maka hak
negara pemilik yakni hak terhadap slot orbit akan gugur secara otomatis dan
dapat digunakan oleh negara lain. Sehingga, terhitung mulai 12 November 2016, Avanti
Communications Limited (AVANTI) menempatkan Satelit Artemis pada Slot Orbit 123
derajat BT guna mencegah hilangnya hak spektrum L-band pada slot orbit 123
derajat timur.
Namun,
pada Agustus 2017 AVANTI malah melayangkan gugatan kepada pemerintah Indonesia
lewat London International Court of Arbitration, yang menyebutkan Indonesia
melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa kontrak Artemis. AVANTI menutut
Indonesia membayar ganti rugi senilai 16,80 juta dolar AS. Jumlah ini senilai kekurangan
pembayaran sewa kontrak yang disepakati yaitu 30 juta dolar AS, atau sekitar
Rp. 405 miliar. Pemerintah baru membayar sebesar 13,20 juta dolar AS.
Indonesia
sejatinya sudah siap membayar US$30 juta ke AVANTI, untuk biaya relokasi dan
sewa satelit. Namun belakangan Indonesia berhenti setelah membayar ke AVANTI
sebesar US$13,2 juta. Berbulan-bulan AVANTI menunggu sisa pembayaran dari
pemerintah Indonesia. Lantaran tak ada kejelasan, pada Agustus 2017, AVANTI
menggugat Indonesia ke arbitrase. Pada November 2017, AVANTI kemudian mematikan
satelit Artemis.
Dalam
situs resminya dinyatakan, pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase memutuskan KEMENHAN
harus membayar AVANTI US$ 20,075 juta dengan batas waktu 31 Juli 2018. Proses
arbitrasi dimulai pada 9 Agustus 2017 dibawah London Court of International
Arbitration Rules 2014 melawan KEMENHAN terkait pembayaran untuk sewa satelit
ARTEMIS miliknya berhasil dimenangkan operator satelit itu. Indonesia kena
denda US$20 juta atau Rp. 277 miliar, akibat lalai membayar sewa satelit. Otoritas
Indonesia yang lalai membayar sewa satelit itu adalah Kementerian Pertahanan.
Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan saat ini pemerintah dalam tahap
menyelesaikan gugatan tersebut, secara nonyudisial. Batalnya pembelian satelit
ADS dan gagal bayar sewa AVANTI, sesungguhnya tidak melulu persoalan uang. Ada
perencanaan strategis yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Ada pula unsur
wibawa pemerintah yang tercoreng akibat gugatan tersebut. Indonesia sebenarnya
sudah siap membayar US$30 juta ke AVANTI, untuk biaya relokasi dan sewa
satelit. Namun belakangan Indonesia berhenti setelah membayar ke Avanti sebesar
US$ 13,2 juta.
Berbagai
media menyebut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah melakukan
kajian pada tahun 2017. Hasilnya, penggunaan satelit tersebut dinilai tak
memadai sehingga berujung pada masalah administrasi.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, KEMENHAN terkesan mengajukan rencana
pembelian satelit militer itu secara mendadak. Penjelasan dan kelengkapan yang
seharusnya disiapkan untuk melakukan proses pengadaan barang dan jasa belum
ada. Kementerian Keuangan tak bisa mencairkan anggaran untuk pembiayaan
tersebut.
Komisi
I DPR. Ihwal mengatakan satelit itu ternyata hanya sepintas dibahas di DPR.
Perwakilan rakyat hanya tahu ada kendala dalam pengadaan satelit militer
tersebut. Namun, apakah proyek tersebut tetap dilanjutkan atau dihentikan,
tidak ada yang tahu.
Kala
kasus ini mulai menyeruak ke publik, Komisi I DPR menilai pemerintah wajib
mengisi slot tersebut karena tepat berada di atas Indonesia. Jika tidak segera
diisi, Indonesia bisa saja mengalami kerugian secara bisnis dan bahkan
pencurian data oleh negara lain. Bahkan, kala itu Komisi I akan membentuk
panitia kerja dengan kementerian terkait, dalam rangka pemanfaatan orbit
satelit di atas Indonesia. Dalam catatan, Indonesia akan meluncurkan satelit
komunikasi militer buatan konsorsium Eropa Airbus Defence and Space pada 2019.
Airbus ditunjuk Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menggarap satelit
militer itu setelah memenangi tender yang juga diikuti oleh Orbital Sciences
Corporation asal Amerika Serikat, Loral Space & Communications asal AS,
serta satu perusahaan satelit asal Rusia. Anggaran yang diajukan untuk proyek
satelit ini senilai US$ 849,3 juta. Anggaran itu telah disetujui oleh Komisi
Pertahanan DPR, dengan pembiayaan berskema tahun jamak selama lima tahun. Jika
telah diluncurkan pada 2019, satelit militer itu akan ditempatkan pada
koordinat 123 Bujur Timur.
Anggota
Komisi I DPR RI Roy Suryo, seperti dikutip dari laman DPR.go.id (12/4/2018) menjelaskan
bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi gugatan yang diajukan Avanti
Communications. Indonesia kabarnya bisa merugi hingga ratusan miliar rupiah
atas tuntutan tersebut. Tuntutan yang dilakukan oleh perusahaan yang berbasis
di London ini terkait pemanfaatan orbit satelit yang terbentang pada kordinat
123 derajat bujur timur (BT). Indonesia dianggap tidak memenuhi pembayaran
peminjaman satelit sesuai perjanjian yang telah disepakati. Harus ada kerja
sama dari seluruh pihak agar masalah ini cepat terselesaikan. Komisi I akan
membentuk panitia kerja dengan kementerian terkait, dalam rangka pemanfaatan
orbit satelit di atas Indonesia. Kementerian Pertahanan dikabarkan harus
melayani gugatan ini, supaya kerugian tidak bertambah karena biaya akan makin
membengkak, belum lagi ada tuntutan tambahan dari perusahaan Hungaria.
Orbit
itu yang tadinya mau digunakan KEMENHAN kemudian ternyata ada surat dari KEMENKOPOLHUKAM
bahwa KEMENHAN tak mampu lakukan itu. Dengan adanya tuntutan internasional
tersebut, Indonesia berpotensi mengalami kerugian mencapai Rp. 600 miliar. Tak
mengetahui pasti kenapa sampai Kementerian Pertahanan tidak membayar uang sewa
tersebut. Pemerintah harus didorong untuk menyelesaikan arbitrase tersebut
termasuk mengejar pembuatan satelit sampai batas November 2020. Marwah NKRI, harus
dorong selesaikan. Arbitrase harus diselesaikan supaya tak mahal, slot satelit
itu belum ada yang pakai, kosong diparkiri AVANTI tapi belum bayar. Slotnya
sudah milik Indonesia, batasnya November 2020. Akan menjadi kerugian jika
wilayah-wilayah yang harusnya milik Indonesia tapi dimiliki oleh pihak lain. KEMENHAN
dinyatakan tidak mampu untuk mengelolanya yang sudah diberi izin sejak 2016. KOMINFO
sebagai regulator tugasnya adalah mendukung siapa saja yang mau jadi operator
untuk koordinasi administrasi negara lain.
SUMBER
:
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.