Masakan
tanpa bawang akan kurang nikmat karena setiap jenis masakan bila dibumbui atau
dibubuhi bawang terasa berbeda. Ari Dianto memang jeli melihat peluang usaha, usaha
rumahan bawang goring. Sejak tahun 1996, dengan modal kecil sebagai modal awal
sekitar Rp 100 ribu untuk membeli 10 kilogram bawang merah dari Brebes, Jawa
Tengah, minyak goreng, dan plastik pembungkus, Ari kini mampu meraih omzet
puluhan juta rupiah per bulan. Bawang merah cocok untuk campuran bumbu
gorengan, bawang putih pun kalau diiris tipit-tipis, digoreng, lalu ditaburkan
di atas masakan akan ngepas!
Ari
dan istrinya Sri Mulyanti mengaku sempat kesulitan berbisnis bawang goreng.
Namun berkat ketekunan dan keseriusan, mereka kini menjadi pengusaha bawang
goreng yang sukses di Bogor, Jawa Barat. Ari yang hanya lulusan sekolah
menengah atas itu, memasarkan bawang gorengnya mencakup wilayah Jabotabek.
Sepanjang Januari-Februari mereka bisa memasarkan dua sampai tiga kwintal per
hari.
Selain
bersama sang istri dalam berbisnis, Ari dibantu 10 karyawan yang berasal dari
lingkungan tempat tinggalnya. Ari biasa memasarkan bawang goreng seharga Rp 35
ribu per kg. Guna meningkatkan jumlah konsumen, Ari melakukan pendekatan
langsung ke sejumlah pedagang makanan yang membutuhkan bawang gorengseperti
penjual bakso serta pengusaha katering.
Mengupas
bawang susah-susah gampang. Bagi yang tak terbiasa, air mata pasti akan
berlinang. Alasan kepraktisan inilah yang memunculkan banyak produk bawang
goreng dalam kemasan. Hadi Suwarno, satu dari sekian banyak pengusaha yang
sudah merasakan renyah dan wanginya bisnis ini. Hadi mulai menggeluti bisnis
bawang goreng kemasan merek Garuda Jaya sejak 1996.
Awalnya,
Hadi ingin mengaplikasikan ilmu selama di sekolah menengah dan perguruan
tinggi. Bapak lima anak ini lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di
Toraja dan alumni Jurusan Agribisnis Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Panca Bhakti,
Palu.
Kelebihan
bawang goreng racikan Hadi terletak pada warnanya yang kuning cerah, lebih
renyah dan beraroma khas, serta lebih tahan lama dibandingkan kebanyakan bawang
goreng merek lain. Ternyata rahasia kenikmatan bawang goreng cap Garuda Jaya milik
Hadi ini terletak pada bahan bakunya yang merupakan bawang varietas Batu yang
hanya tumbuh subur di Palu, Sulawesi Tengah. Bentuk bawang goreng ini cenderung
bulat dan paling bagus dipanen saat umur 65 sampai 70 hari.
Untuk
menjaga ketersediaan bahan, Hadi menjalin kemitraan dengan 100 petani bawang di
lembah-lembah di Palu. Antara lain di daerah Bunterano, Sidera, Soloe, Wombo,
dan Olobajo. Dalam sehari, Hadi butuh 300 kilogram (kg) bawang merah. Setelah
diolah, hasil-nya 100 kg bawang goreng.
Dengan
bantuan 25 karyawan, Hadi memasarkan produknya sampai ke luar Palu, misalnya ke
Manado dan Makassar. Pernah juga ia mengirim ke Jakarta pada 2003. Tapi
tak saya teruskan karena sistem pembayarannya enggak bagus. Pada
tahun 2002, Sebetulnya, peritel besar Hero Supermarket memintanya
memasok bawang goreng ke gerai-gerai Hero di wilayah Jakarta sebanyak delapan
ton sebulan, dengan bayaran Rp 7 juta. Tapi pembayaran baru akan dilakukan
setelah pengiriman ketiga. Hadi pun langsung menolak permintaan itu karena system
pembayarannya kurang menguntungkan. "Peraturan dagang selalu lebih berpihak
pada pedagang besar. Bukan
hanya berkutat di Sulawesi, bawang goreng Hadi sesekali, pembeli dari luar
negeri datang langsung ke Palu. Mereka memborong bawang goreng produknya, mulai
Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Contohnya pembeli Singapura yang kerap belanja
bawang goreng untuk oleh-oleh ke negerinya. Memang,
harga bawang goreng jenis batu ini lebih mahal, yakni Rp 140.000 sampai Rp 150.000
per kg. Namun, Hadi membuat beberapa kemasan bawang goreng, yakni kemasan mika
dengan isi 100 gram, 200 gram, dan 400 gram bahkan dalam kemasan toples plastik
dengan isi 250 gram dan 500 gram. Dengan
omzet mencapai Rp 400 juta sebulan, Hadi bisa mendulang laba antara 20% - 30%.
Kedepan,
Hadi yang kelahiran 1964 ini berharap, bawang goreng bisa menjadi komoditas
lokal dan makanan khas Indonesia yang mendunia. "Tapi seyogianya hal itu
dikembangkan dengan bantuan pemerintah, sehingga kita bisa berpikir global
dengan bertindak lokal," tuturnya, penuh harap.
Hampir
semua orang mengenal dan bisa memproduksi bawang goreng. Di sisi lain,
kadangkala seseorang terlalu muluk berangan-angan tentang bisnis yang akan
dibangun, sehingga menyepelekan peluang bisnis yang dianggap ecek-ecek. Bawang goring
memang hanya pelengkap makanan yang boleh ada boleh tidak di meja makan. Bahkan
dapat dibuat oleh hampir semua orang yang hobi masak memasak. Karena itu, banyak
yang beranggapan bahwa bisnis bawang goreng adalah usaha picisan yang laku pun
belum tentu, alih-alih akan berkembang. Tetapi mengapa Ermawati mampu menjual
2,5 ton bawang goreng di Singapura. Inilah kiatnya. Dalam berbisnis, seseorang
selalu akan mundur teratur bila dihadapkan pada modal, sehingga peluang di
depan mata pun lewat begitu saja. Padahal dalam banyak kasus, ketika akan mulai
membangun bisnis, justru peluang inilah inti permasalahannya.
Pada
sekitar tahun 1996–1997 Ermawati mencoba mencari peluang usaha di Singapura.
Sedikit demi sedikit tapi pasti, kapasitas produksinya meningkat dari 1 kg
hingga akhirnya sekarang mencapai 2,5 ton per minggu! Bahkan, kini di Batam telah
dibuka "cabangnya" yang juga pelan-pelan menunjukkan kemajuan.
Kenapa
bisa begitu? "Masyarakat Singapura sangat menyukai bawang goreng. Mereka
menyantapnya sebagai teman makan nasi, mie, dan sebagainya. Tapi, mereka tidak
bisa membuat seenak yang dijual di pasar, terutama seperti yang kami buat, yang
lebih pas di lidah mereka daripada bawang goreng buatan mereka sendiri. Untuk
itu, para ibu rumah tangga di sana sampai rela berburu bawang goreng yang lezat
ke berbagai pasar. Sebab, sekarang mereka sudah mampu membedakan rasa bawang
goreng yang enak dan yang tidak. Peluang (baca: permintaan,red.) inilah yang
kami tangkap.
Ermawati
menggunakan bawang merah dari Jawa dan Thailand. Karena, kedua jenis bawang
merah ini, setelah digoreng akan menghasilkan bawang goreng yang lebih gurih
rasanya dan lebih bagus penampilannya. Di samping itu, ia juga mempunyai cara
khas dalam menggorengnya sebagai hasil dari percobaan demi percobaan. Bumbu bawang goreng kami hanya garam, sedangkan yang bikinan Malaysia
(pesaing kuat Indonesia dalam bisnis bawang goreng di Singapura,red.) terlalu
banyak campurannya.
Ermawati
bukan satu-satunya orang Batam yang berbisnis bawang goreng dan memasarkannya
ke Singapura. "Tapi, 2–3 bulan kemudian mereka berhenti memasok alias
tidak berproduksi lagi," katanya. Kemungkinannya, mereka memasok kepada
banyak supplier, sehingga pada akhirnya tidak mampu memenuhi permintaan.
Sebaliknya, menyadari bahwa usahanya ini berkapasitas home industry, dalam
menembus pasar Ermawati mempercayakan pemasaran produknya pada satu tauke
(baca: supplier, red.) saja. Sistem pembayaran masih banyak masih menggunakan
sistem bayar belakangan. "Kami menggunakan sistem cash dan jual putus.
Sebab, perputaran produksinya sangat cepat. Apalagi, setelah muncul banyak
pesaing" imbuhnya.
Bawang
goreng buatan Ermawati dijual dengan seharga 1 dolar Singapura 1 sen atau
sekitar Rp6.000,-/ons. Setiap minggu, dipasok ke tauke sebanyak 50 kotak dan
setiap kotak berisi 130 bungkus plastik dalam ukuran 1 ons. Bawang goreng yang
mampu bertahan 1–2 bulan jika disimpan ini, biasanya tandas diserap pasar tak
sampai satu minggu. Untuk meningkatkan omset, Ermawati juga terus berproduksi
untuk pasokan pembelian eceran. Sekadar informasi, bisnis ini dibangun dengan
modal Rp200 ribu dan kini meraup omset sekitar Rp40 juta/bulan.
"Dibandingkan
dengan Singapura, Indonesia jauh lebih luas. Bila bawang goreng kami hanya
berkutat di Singapura, maka ia akan mentok. Berbeda, jika kami juga mampu
menguasai pasar bawang goreng di Indonesia," ucap Ermin, sang menantu,
yang dipercaya menangani bisnis bawang goreng ibu mertuanya untuk kawasan Batam
dan sekitarnya.
Bawang
goreng yang dipasarkan di Batam, dikemas dalam bungkus plastik berukuran 1 kg
dengan harga Rp50 ribu. Untuk merebut pasar, ia juga menjual dalam ukuran satu
ons dengan harga Rp4.000,- atau Rp1.000,- lebih murah daripada harga pasar yang
berlaku di Batam. Selain itu, meski berada dalam satu payung, tapi manajemen
kedua bisnis ini dipisahkan. Demikan pula dalam pemasarannya. Orang Indonesia pada
umumnya pandai membuat bawang goreng dan biasanya membuat bawang goreng
sendiri. Jadi, bawang goreng tidak terlalu menarik perhatian mereka. Untuk
menembus bisnis bawang goreng di sini, saya harus menawarkannya ke sana kemari.
Sekarang, sedikit demi sedikit orang-orang mulai menyukai dan mencari bawang
goreng kami. Dengan
menanamkan modal Rp300 ribu untuk bisnis ini dan meraup omset rata-rata Rp10
juta/bulan, dia juga tidak mau gegabah. Sambil terus mencari pasar, seperti ke
Tanjung Pinang dan Karimun, sementara Ernawati hanya memproduksi 1 ton bawang
goreng per minggu, untuk kawasan Batam dan sekitarnya.
Banyak
orang beranggapan bahwa bila berbisnis haruslah yang serba wah baik bidang
usahanya, modal, pengelolaan, maupun pemasarannya. Tetapi, bisnis bawang goreng
ternyata justru membutuhkan kesederhanaan.
Minat?
Silahkan
mencoba.
Sumber:
www.suaramedia.com
Liputan6.com
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.