Kontra Persepsi
Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali dibuka melemah pada hari Selasa
(5/12/2013), sekaligus memasuki hari ketiga indeks mengalami penurunan. Memasuki
menit ke-4 setelah pembukaan, IHSG turun 8,04 poin atau -0,19 persen menjadi
4.233,25. Hanya ada 41 saham yang dibuka menguat, 48 saham turun dan 69 saham
tidak bergerak. Dari 10 indeks sektoral, hanya ada tiga indeks sektoral yang
menguat, yaitu agribisnis (0,23 persen), pertambangan (0,19 persen) dan
konsumer (0,30 persen). Selebihnya, indeks sektoral melemah tipis. Di sisi
lain, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali melemah, yang pagi ini
ditransaksikan di pasar spot berada di level Rp 12.011.
Pemerintah berdalih anjloknya nilai tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan ini karena kondisi ekonomi global. Meskipun ekonomi Indonesia memperlihatkan titik terang, Indonesia masih tetap harus waspada. Jangan terjebak di comfort zone. Keadaan perekonomian Indonesia sedang dihadapkan pada suatu masa krisis ekonomi. Hal tersebut tercermin dari melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Sampai
dengan Oktober 2013, Menteri Perekonomian Chatib Basri mengklaim, perekonomian Indonesia masih stabil, meski masih
dipengaruhi oleh pelemahan ekonomi global dan regional. Ungkapan ini
disampaikannya selepas rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 18/10/2013). Pendapat
itu didasarkan pada mulai ada tanda-tanda stabilisasi sektor keuangan sebagai
respons dari kebijakan pemerintah, baik dari sisi inflasi, nilai tukar, kondisi
pasar modal, dan indikator makro lainnya. Namun, katanya pemerintah perlu
mewaspadai risiko terhadap gejolak yang ada, khususnya pengendalian neraca
transaksi berjalan (current account).
Hal
senada disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo di tempat
yang sama. Pada Oktober 2013, kondisi perekonomian dan pasar uang dalam kondisi
stabil. Katanya, kondisi eksternal saat ini telah mengalami perubahan. Di
negara maju, ekonomi mereka sudah mulai ada perbaikan. Namun, di negara
berkembang perekonomiannya cenderung mengalami penurunan. Imbasnya, ada dampak
aliran dana asing yang masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini
tentu saja akan berimbas ke nilai tukar rupiah dan indikator perekonomian
lainnya. Pemerintah akan fokus mengurangi defisit transaksi neraca berjalan
tersebut agar tidak membebani keuangan negara. Diharapkan defisit transaksi
berjalan ini di tahun 2014 bisa kurang dari 3 persen dan di tahun 2015 bisa di
bawah 2 persen. Telah terjadi deflasi pada September 2013, namun, secara
tahunan diperkirakan masih di level 9-9,8 persen. Kurs masih stabil namun
depresiasi secara tahunan di sekitar 15-16 persen (ytd).
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka APEC CEO Summit "Reshaping Global
Priorities The View from Modern Indonesia" di Bali International
Convention Center, Minggu (6/10/2013) mengatakan, Indonesia masih mampu
melakukan pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah ketidakpastian kondisi
perekonomian global. Kondisi itu bisa menjadi keuntungan bagi Indonesia
dibanding negara lain. Berdasarkan prediksi lembaga Dana Moneter Internasional
(IMF), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 ini diprediksi mencapai 6,3
persen dan 6,6 persen di 2014, Presiden menganggap pencapaian pertumbuhan
ekonomi Indonesia lebih dari dua kali dari pertumbuhan rata-rata ekonomi
dunia.
Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara saat CIMB Niaga Economic
Outlook di Ritz Carlton Pacific Place Jakarta, Kamis (10/10/2013) mengatakan Indonesia
terpaksa membuat kebijakan yang berbeda di tahun ini untuk mengantisipasi
kondisi global yang sedang melemah. Selama lima bulan terakhir BI memilih untuk
menaikkan suku bunga acuan BI (BI rate) sebesar 125 bps menjadi 7,25 persen. BI
harus rela cadangan devisa merosot di bawah 100 miliar dollar AS agar kondisi
rupiah tetap stabil dan sesuai kondisi fundamentalnya.
Pil pahit yang diterima
Indonesia sejak akhir Juni 2013 adalah kebijakan menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Dengan kenaikan harga BBM tersebut, maka inflasi
melonjak hingga di atas 8 persen. Lantas kondisi rupiah juga sempat melonjak
hingga di level Rp 12.000 per dollar AS. Serta defisit anggaran dan defisit
neraca perdagangan juga melonjak. Namun, kondisi itu memang disengaja oleh
pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian dalam negeri agar lebih sehat
dibanding sebelumnya. Dengan kondisi kenaikan inflasi tersebut, maka akan
merubah kondisi defisit neraca perdagangan dan sekaligus mengubah fundamental
ekonomi Indonesia. Imbasnya lagi rupiah melemah. Itu bisa mengurangi impor yang
tidak perlu. Kalau ditahan di Rp 9.500 per dollar AS, cadangan devisa kita akan
turun. Sebagai kompensasinya, maka BI memilih untuk menaikkan suku bunga acuan
agar dana asing kembali ke dalam negeri. Dengan kondisi ini diharapkan di tahun
depan bisa menangkap peluang-peluang ekonomi global.
Direktur
Grup Kebijakan Moneter BI, Juda Agung, Rabu (23/10) mengatakan indikator
ekonomi memang membaik, sejak ditunda tapering off Bank Sentral AS. Hal
tersebut terlihat dari pasar valuta asing yang stabil dan arus modal masuk ke
surat utang negara (SUN) yang meningkat. Kesepakatan plafon utang dan
pencabutan penutupan pemerintah di AS juga memberikan sentimen positif. Namun, hal
tersebut hanya bersifat temporer. Indonesia masih memiliki resiko yang besar di
2014. Salah satunya disebabkan oleh tapering off AS yang kemarin ditunda akan
dilakukan pada Desember atau Januari. Penghentian pembelian obligasi oleh the
Fed juga diperkirakan terjadi di kuartal III-2014.
Didampingi
oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah dan Direktur
Departemen Statistik Domestik Gantiah Wuryandani, Juda memperkirakan the Fed
fund akan naik jika terdapat tanda-tanda inflasi di AS. Ketika the Fed fund
naik, pasar akan bergejolak. Arus modal dari negara berkembang akan kembali ke
AS dan negara maju lainnya. Dengan membaiknya negara maju, peluang investasi di
negara tersebut akan terbuka lebar.
Tansaksi
berjalan memiliki kecenderungan membaik pada 2014. Dengan masih melemahnya trenekonomi
global (terutama Cina), tentu saja mempunyai implikasi pada ekonomi domestik. Tahun
2013 defisit transaksi berjalan diprediksikan mencapai 3,4 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB). Sementara untuk 2014, defisit transaksi berjalan akan
turun ke angka 2,7 persen dari PDB. Defisit diperkirakan semakin membaik pada
2015, yakni di angka 1,9-2 persen dari PDB. Untuk mencapai angka tersebut, perlu
fokus pada kebijakan moneter karena ini menjadi fundamental dari nilai tukar.
Transaksi
berjalan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor cyclical dan faktor
struktural. Untuk faktor struktural, BI harus bekerja sama dengan pemerintah,
misalnya dengan mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor. Dulu,
kalau PDB tumbuh 1 persen, impor akan tumbuh menjadi lebih tinggi. Kita
kecanduan impor. Sebaliknya, jika kondisi perekonomian global membaik, ekspor
Indonesia belum tentu membaik karena saat ini ekspor Indonesia sangat
bergantung pada sumber daya alam. Dulu ekspor manufaktur masih diandalkan.
Berkurangnya ekspor produk manufaktur salah satunya disebabkan oleh upah
pekerja yang meningkat.
Angka
tersebut jauh di bawah inflasi pada 2013 Inflasi yang tinggi pada 2013 yang
diperkirakan mencapai 9-9,8 persen, utamanya disebabkan oleh kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) pada Juli 2013. Inflasi tahunan pada 2014 akan kembali
pada kisaran target BI, yakni 4,5 persen +- 1 persen.
Pertumbuhan
ekonomi 2013 diprediksikan mencapai 5,5-5,9 persen. Pertumbuhan ekonomi pada
2014 diprediksikan berada di angka 5,8-6,2 persen, yang akan disumbang oleh
Pemilihan Umum (Pemilu) sekitar 0,19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi 2014.
Dewan
Pakar Megawati Institute Sri Adianingsih menghimbau kepada pemerintah untuk
cepat mengakui jikalau memang keadaan perekonomian di Indonesia sudah masuk
kedalam krisis. Ekonomi kita berada pada masa kritical, kalau tidak diatasi,
hati-hati bisa jatuh langsung krisis. mereka harus mengakui masalah dalam
perekonomian Indonesia, tapi kalau tidak mau mengakui bahwa ini masa kritical
situation maka tidak bisa mencari solusi untuk mengobatinya.Saat ini, masalah
serius yang terjadi adalah Cadangan Devisa (Cadev) dan utang negara yang 55
persen dari Cadev, serta yang akan jatuh tempo. Selain itu, salah satu
pendukung cadev yakni neraca perdagangan pun sudah mulai mengalami defisit. Memang
benar ini ada juga faktor luar dan bukan hanya Indonesia yang melemah. Kendati
demikian, pemerintah harus mampu menjaga stabilitas pasar keuangan dan makro
ekonomi.
Anggota
DPR dari Fraksi Arif Budimanta mengatakan, seharusnya dampak negatif kondisi
global terhadap perekonomian bisa dicegah apabila kondisi perekonomian
Indonesia dalam keadaan baik. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini memang tengah
sakit, namun Pemerintah tidak mau mengakui kalau kondisi perekonomian kita
sedang dalam masalah serius. Kondisi ekonomi Indonesia memang tidak pada
fundamentalnya. Utang luar negeri Indonesia yang tinggi dan akan jatuh tempo
mencapai 55,7 persen dari cadangan devisa. Defisit neraca pembayaran semakin
melebar, dan inflasi juga tinggi. Keadaan tersebut menjadi penyebab
ketidakpercayaan investor dan pelaku pasar terhadap ekonomi Indonesia, sehingga
menyebabkan IHSG turun lebih dari 15 persen, dan nilai tukar melemah. Megawati
Institute menginginkan pemerintah mengakui ada masalah struktural yang serius
dalam perekonomian Indonesia sehingga dapat mencari solusi yang tepat. Selain
itu, APBN-Perubahan 2013 sudah tidak tepat lagi untuk kondisi ekonomi saat ini
sehingga sudah seharusnya dilakukan perubahan.
Menyimak
Tanda-tanda Krisi Ekonomi
Chief
Executive Officer (CEO) JBIC, Hiroshi Watanabe dalam Konferensi Pers Financial
Policy Dialogue Framework antara Indonesia dan JBIC di kantor Kementerian
Keuangan, Jakarta, Kamis (12/9/2013), mengungkapkan setidaknya terdapat tiga
kriteria yang menandakan sebuah negara sudah memasuki masa krisis ekonomi.
Tanda
pertama adalah kondisi devisa yang semakin memburuk. Tanda pertama ini
setidaknya sudah mulai terlihat di India yang mengalami devisa terburuk dalam
sejarah negaranya.
Kriteria
kedua Dari laporan International Monetary Fund (IMF), sebuah negara dikatakan
krisis jika cadangan devisa di bawah 3 bulan untuk barang impor. Sebuah negara
memperlihatkan tanda krisi jika banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Hal
ini dapat langsung terlihat dari laporan laba/rugi keuangan perusahaan.
Tanda
ketiga, adalah persiapan atau penyediaan valuta asing (valas).
Sebelumnya diberitakan, pada acara
berbuka puasa bersama di Kementerian Perindustrian Sabtu (3/8/13), Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa Indonesia harus menerima kenyataan
bahwa Indonesia menghadapi krisis ekonomi. Itu ditandai dengan perlambatan
pertumbuhan ekonomi, pemelemahan rupiah, dan membengkaknya defisit.
Ekonom
Standard Chartered, Fauzi Ichsan di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (22/8/2013) menilai,
sudah mulai ada tanda-tanda terjadinya krisis ekonomi di Indonesia seperti yang
terjadi pada 2008. Reaksi cepat dari Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan dan
juga Bank Indonesia akan memberikan dampak besar untuk menghindari gejala
krisis kecil yang sudah mulai terlihat berubah menjadi krisis yang sebenarnya. Selain
cepat, pemerintah juga harus berhati-hati dan berpedoman pada terciptanya
keseimbangan finansial. Bila salah langkah, yang terjadi bisa saja gejolak lain
dimana tekanan likuiditas akan melanda dunia perbankan. Misalnya kalau suku
bunga dinaikkan akan menimbulkan masalah likuiditas dan akan memukul bank-bank
kecil dan menengah. Bank besar mungkin tidak akan bermasalah. Keseimbangan ini
yang harus dijaga. Dalam kondisi seperti sekarang, apapun solusi yang akan
diambil, tidak akan manis.
Pada
saat itu (22/8/2013), kondisi nilai tukar mata uang RI sudah terdepresiasi
dengan kurs tengah mencapai Rp10.795 dan diperdagangkan di pasar spot sebesar
Rp10.875. Rupiah ditutup di level Rp10.945 per USD. Dari pasar modal, Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) juga betah berkubang di zona merah, IHSG ditutup
melemah 1,11 persen atau 47,04 poin ke posisi 4.171,41. Defisit transaksi berjalan
atau current account Indonesia juga terus melebar menjadi 4,4 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar USD9,8 miliar pada triwulan II 2013.
Jonathan
Citrin, penasehat investasi dari Citrin Group mengatakan bahwa secara historis indikasi
ekonomi Amerika sedang krisis bisa terlihat dari dari harga emas, harga minyak
mentah. Dampaknya dapat langsung terasa di harga minyak mentah AS. Harga minyak
akan mendapat pukulan keras yang mencerminkan ekonomi yang mengalami
perlambatan. Bersamaan dengan itu, komoditas emas akan mendapat dorongan
menjadi safe haven dari situasi yang penuh ketidakpastian tersebut. Dengan
kecenderungan emas dan minyak mentah menguat, maka investor di pasar hampir
tidak perduli terhadap risiko pelayanan pemerintah yang berkurang, bahkan
potensi gagal bayar utang AS. Baik emas maupun minyak mengabaikan sebagian
besar ketakukan dan perdebatan anggaran dan batas utang AS.
Pada
Kamis (26/9/2013) harga emas dan harga minyak mentah AS mengakhiri fase negatif
sejak awal bulan. Pada bulan September, harga emas telah turun 5 persen dan
harga minyak mentah telah kehilangan 4 persen. Penurunan harga tersebut dampak
dari spekulasi pengurangan stimulus moneter the Fed.
Pada
perdagangan Jumat (27/9/2013) akhir pekan ini, harga emas naik 1,1% ke US$
1.339,20 per troy ons. Harga minyak mentah AS turun 0,1% ke US$ 102,87 per
barel.Untuk harga logam yang lain seperti perak menguat 0,3% ke US$ 21,8 per
ons, harga tembaga naik 0,65 ke US$ 3,32 per pon dan harga platinum naik 0,3%
ke US$ 1.419,20 per ons.
Sebaiknya,
pemerintah dan investor tidak perlu menguras emosinya dalam perdebatan tanda-tanda
krisis, tetapi sudah seharusnya mereka lebih bereaksi lebih cepat dan focus pada
kebijakan yang lebih arif.
SUMBER :
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.