KULIAH PUBLIK: Rupiah melemah, pertanda krisis ekonomi-kah?

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Thursday, December 05, 2013

Rupiah melemah, pertanda krisis ekonomi-kah?

Kontra Persepsi

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali dibuka melemah pada hari Selasa (5/12/2013), sekaligus memasuki hari ketiga indeks mengalami penurunan. Memasuki menit ke-4 setelah pembukaan, IHSG turun 8,04 poin atau -0,19 persen menjadi 4.233,25. Hanya ada 41 saham yang dibuka menguat, 48 saham turun dan 69 saham tidak bergerak. Dari 10 indeks sektoral, hanya ada tiga indeks sektoral yang menguat, yaitu agribisnis (0,23 persen), pertambangan (0,19 persen) dan konsumer (0,30 persen). Selebihnya, indeks sektoral melemah tipis. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali melemah, yang pagi ini ditransaksikan di pasar spot berada di level Rp 12.011.

Pemerintah berdalih anjloknya nilai tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan ini karena kondisi ekonomi global. Meskipun ekonomi Indonesia memperlihatkan titik terang, Indonesia masih tetap harus waspada. Jangan terjebak di comfort zone. Keadaan perekonomian Indonesia sedang dihadapkan pada suatu masa krisis ekonomi. Hal tersebut tercermin dari melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS).

Sampai dengan Oktober 2013, Menteri Perekonomian Chatib Basri mengklaim,  perekonomian Indonesia masih stabil, meski masih dipengaruhi oleh pelemahan ekonomi global dan regional. Ungkapan ini disampaikannya selepas rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 18/10/2013). Pendapat itu didasarkan pada mulai ada tanda-tanda stabilisasi sektor keuangan sebagai respons dari kebijakan pemerintah, baik dari sisi inflasi, nilai tukar, kondisi pasar modal, dan indikator makro lainnya. Namun, katanya pemerintah perlu mewaspadai risiko terhadap gejolak yang ada, khususnya pengendalian neraca transaksi berjalan (current account).

Hal senada disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo di tempat yang sama. Pada Oktober 2013, kondisi perekonomian dan pasar uang dalam kondisi stabil. Katanya, kondisi eksternal saat ini telah mengalami perubahan. Di negara maju, ekonomi mereka sudah mulai ada perbaikan. Namun, di negara berkembang perekonomiannya cenderung mengalami penurunan. Imbasnya, ada dampak aliran dana asing yang masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini tentu saja akan berimbas ke nilai tukar rupiah dan indikator perekonomian lainnya. Pemerintah akan fokus mengurangi defisit transaksi neraca berjalan tersebut agar tidak membebani keuangan negara. Diharapkan defisit transaksi berjalan ini di tahun 2014 bisa kurang dari 3 persen dan di tahun 2015 bisa di bawah 2 persen. Telah terjadi deflasi pada September 2013, namun, secara tahunan diperkirakan masih di level 9-9,8 persen. Kurs masih stabil namun depresiasi secara tahunan di sekitar 15-16 persen (ytd).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka APEC CEO Summit "Reshaping Global Priorities The View from Modern Indonesia" di Bali International Convention Center, Minggu (6/10/2013) mengatakan, Indonesia masih mampu melakukan pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian global. Kondisi itu bisa menjadi keuntungan bagi Indonesia dibanding negara lain. Berdasarkan prediksi lembaga Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 ini diprediksi mencapai 6,3 persen dan 6,6 persen di 2014, Presiden menganggap pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari dua kali dari pertumbuhan rata-rata ekonomi dunia.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara saat CIMB Niaga Economic Outlook di Ritz Carlton Pacific Place Jakarta, Kamis (10/10/2013) mengatakan Indonesia terpaksa membuat kebijakan yang berbeda di tahun ini untuk mengantisipasi kondisi global yang sedang melemah. Selama lima bulan terakhir BI memilih untuk menaikkan suku bunga acuan BI (BI rate) sebesar 125 bps menjadi 7,25 persen. BI harus rela cadangan devisa merosot di bawah 100 miliar dollar AS agar kondisi rupiah tetap stabil dan sesuai kondisi fundamentalnya. 

Pil pahit yang diterima Indonesia sejak akhir Juni 2013 adalah kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dengan kenaikan harga BBM tersebut, maka inflasi melonjak hingga di atas 8 persen. Lantas kondisi rupiah juga sempat melonjak hingga di level Rp 12.000 per dollar AS. Serta defisit anggaran dan defisit neraca perdagangan juga melonjak. Namun, kondisi itu memang disengaja oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian dalam negeri agar lebih sehat dibanding sebelumnya. Dengan kondisi kenaikan inflasi tersebut, maka akan merubah kondisi defisit neraca perdagangan dan sekaligus mengubah fundamental ekonomi Indonesia. Imbasnya lagi rupiah melemah. Itu bisa mengurangi impor yang tidak perlu. Kalau ditahan di Rp 9.500 per dollar AS, cadangan devisa kita akan turun. Sebagai kompensasinya, maka BI memilih untuk menaikkan suku bunga acuan agar dana asing kembali ke dalam negeri. Dengan kondisi ini diharapkan di tahun depan bisa menangkap peluang-peluang ekonomi global.

Direktur Grup Kebijakan Moneter BI, Juda Agung, Rabu (23/10) mengatakan indikator ekonomi memang membaik, sejak ditunda tapering off Bank Sentral AS. Hal tersebut terlihat dari pasar valuta asing yang stabil dan arus modal masuk ke surat utang negara (SUN) yang meningkat. Kesepakatan plafon utang dan pencabutan penutupan pemerintah di AS juga memberikan sentimen positif. Namun, hal tersebut hanya bersifat temporer. Indonesia masih memiliki resiko yang besar di 2014. Salah satunya disebabkan oleh tapering off AS yang kemarin ditunda akan dilakukan pada Desember atau Januari. Penghentian pembelian obligasi oleh the Fed juga diperkirakan terjadi di kuartal III-2014.

Didampingi oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah dan Direktur Departemen Statistik Domestik Gantiah Wuryandani, Juda memperkirakan the Fed fund akan naik jika terdapat tanda-tanda inflasi di AS. Ketika the Fed fund naik, pasar akan bergejolak. Arus modal dari negara berkembang akan kembali ke AS dan negara maju lainnya. Dengan membaiknya negara maju, peluang investasi di negara tersebut akan terbuka lebar.
Tansaksi berjalan memiliki kecenderungan membaik pada 2014. Dengan masih melemahnya trenekonomi global (terutama Cina), tentu saja mempunyai implikasi pada ekonomi domestik. Tahun 2013 defisit transaksi berjalan diprediksikan mencapai 3,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara untuk 2014, defisit transaksi berjalan akan turun ke angka 2,7 persen dari PDB. Defisit diperkirakan semakin membaik pada 2015, yakni di angka 1,9-2 persen dari PDB. Untuk mencapai angka tersebut, perlu fokus pada kebijakan moneter karena ini menjadi fundamental dari nilai tukar.
Transaksi berjalan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor cyclical dan faktor struktural. Untuk faktor struktural, BI harus bekerja sama dengan pemerintah, misalnya dengan mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor. Dulu, kalau PDB tumbuh 1 persen, impor akan tumbuh menjadi lebih tinggi. Kita kecanduan impor. Sebaliknya, jika kondisi perekonomian global membaik, ekspor Indonesia belum tentu membaik karena saat ini ekspor Indonesia sangat bergantung pada sumber daya alam. Dulu ekspor manufaktur masih diandalkan. Berkurangnya ekspor produk manufaktur salah satunya disebabkan oleh upah pekerja yang meningkat.

Angka tersebut jauh di bawah inflasi pada 2013 Inflasi yang tinggi pada 2013 yang diperkirakan mencapai 9-9,8 persen, utamanya disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juli 2013. Inflasi tahunan pada 2014 akan kembali pada kisaran target BI, yakni 4,5 persen +- 1 persen.
Pertumbuhan ekonomi 2013 diprediksikan mencapai 5,5-5,9 persen. Pertumbuhan ekonomi pada 2014 diprediksikan berada di angka 5,8-6,2 persen, yang akan disumbang oleh Pemilihan Umum (Pemilu) sekitar 0,19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi 2014.

Dewan Pakar Megawati Institute Sri Adianingsih menghimbau kepada pemerintah untuk cepat mengakui jikalau memang keadaan perekonomian di Indonesia sudah masuk kedalam krisis. Ekonomi kita berada pada masa kritical, kalau tidak diatasi, hati-hati bisa jatuh langsung krisis. mereka harus mengakui masalah dalam perekonomian Indonesia, tapi kalau tidak mau mengakui bahwa ini masa kritical situation maka tidak bisa mencari solusi untuk mengobatinya.Saat ini, masalah serius yang terjadi adalah Cadangan Devisa (Cadev) dan utang negara yang 55 persen dari Cadev, serta yang akan jatuh tempo. Selain itu, salah satu pendukung cadev yakni neraca perdagangan pun sudah mulai mengalami defisit. Memang benar ini ada juga faktor luar dan bukan hanya Indonesia yang melemah. Kendati demikian, pemerintah harus mampu menjaga stabilitas pasar keuangan dan makro ekonomi.

Anggota DPR dari Fraksi Arif Budimanta mengatakan, seharusnya dampak negatif kondisi global terhadap perekonomian bisa dicegah apabila kondisi perekonomian Indonesia dalam keadaan baik. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini memang tengah sakit, namun Pemerintah tidak mau mengakui kalau kondisi perekonomian kita sedang dalam masalah serius. Kondisi ekonomi Indonesia memang tidak pada fundamentalnya. Utang luar negeri Indonesia yang tinggi dan akan jatuh tempo mencapai 55,7 persen dari cadangan devisa. Defisit neraca pembayaran semakin melebar, dan inflasi juga tinggi. Keadaan tersebut menjadi penyebab ketidakpercayaan investor dan pelaku pasar terhadap ekonomi Indonesia, sehingga menyebabkan IHSG turun lebih dari 15 persen, dan nilai tukar melemah. Megawati Institute menginginkan pemerintah mengakui ada masalah struktural yang serius dalam perekonomian Indonesia sehingga dapat mencari solusi yang tepat. Selain itu, APBN-Perubahan 2013 sudah tidak tepat lagi untuk kondisi ekonomi saat ini sehingga sudah seharusnya dilakukan perubahan.


Menyimak Tanda-tanda Krisi Ekonomi

Chief Executive Officer (CEO) JBIC, Hiroshi Watanabe dalam Konferensi Pers Financial Policy Dialogue Framework antara Indonesia dan JBIC di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/9/2013), mengungkapkan setidaknya terdapat tiga kriteria yang menandakan sebuah negara sudah memasuki masa krisis ekonomi.

Tanda pertama adalah kondisi devisa yang semakin memburuk. Tanda pertama ini setidaknya sudah mulai terlihat di India yang mengalami devisa terburuk dalam sejarah negaranya.

Kriteria kedua Dari laporan International Monetary Fund (IMF), sebuah negara dikatakan krisis jika cadangan devisa di bawah 3 bulan untuk barang impor. Sebuah negara memperlihatkan tanda krisi jika banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Hal ini dapat langsung terlihat dari laporan laba/rugi keuangan perusahaan.
Tanda ketiga, adalah persiapan atau penyediaan valuta asing (valas).

Sebelumnya diberitakan, pada acara berbuka puasa bersama di Kementerian Perindustrian Sabtu (3/8/13), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa Indonesia harus menerima kenyataan bahwa Indonesia menghadapi krisis ekonomi. Itu ditandai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, pemelemahan rupiah, dan membengkaknya defisit.

Ekonom Standard Chartered, Fauzi Ichsan di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (22/8/2013) menilai, sudah mulai ada tanda-tanda terjadinya krisis ekonomi di Indonesia seperti yang terjadi pada 2008. Reaksi cepat dari Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan dan juga Bank Indonesia akan memberikan dampak besar untuk menghindari gejala krisis kecil yang sudah mulai terlihat berubah menjadi krisis yang sebenarnya. Selain cepat, pemerintah juga harus berhati-hati dan berpedoman pada terciptanya keseimbangan finansial. Bila salah langkah, yang terjadi bisa saja gejolak lain dimana tekanan likuiditas akan melanda dunia perbankan. Misalnya kalau suku bunga dinaikkan akan menimbulkan masalah likuiditas dan akan memukul bank-bank kecil dan menengah. Bank besar mungkin tidak akan bermasalah. Keseimbangan ini yang harus dijaga. Dalam kondisi seperti sekarang, apapun solusi yang akan diambil, tidak akan manis.
Pada saat itu (22/8/2013), kondisi nilai tukar mata uang RI sudah terdepresiasi dengan kurs tengah mencapai Rp10.795 dan diperdagangkan di pasar spot sebesar Rp10.875. Rupiah ditutup di level Rp10.945 per USD. Dari pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga betah berkubang di zona merah, IHSG ditutup melemah 1,11 persen atau 47,04 poin ke posisi 4.171,41. Defisit transaksi berjalan atau current account Indonesia juga terus melebar menjadi 4,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar USD9,8 miliar pada triwulan II 2013.

Jonathan Citrin, penasehat investasi dari Citrin Group mengatakan bahwa secara historis indikasi ekonomi Amerika sedang krisis bisa terlihat dari dari harga emas, harga minyak mentah. Dampaknya dapat langsung terasa di harga minyak mentah AS. Harga minyak akan mendapat pukulan keras yang mencerminkan ekonomi yang mengalami perlambatan. Bersamaan dengan itu, komoditas emas akan mendapat dorongan menjadi safe haven dari situasi yang penuh ketidakpastian tersebut. Dengan kecenderungan emas dan minyak mentah menguat, maka investor di pasar hampir tidak perduli terhadap risiko pelayanan pemerintah yang berkurang, bahkan potensi gagal bayar utang AS. Baik emas maupun minyak mengabaikan sebagian besar ketakukan dan perdebatan anggaran dan batas utang AS.

Pada Kamis (26/9/2013) harga emas dan harga minyak mentah AS mengakhiri fase negatif sejak awal bulan. Pada bulan September, harga emas telah turun 5 persen dan harga minyak mentah telah kehilangan 4 persen. Penurunan harga tersebut dampak dari spekulasi pengurangan stimulus moneter the Fed.
Pada perdagangan Jumat (27/9/2013) akhir pekan ini, harga emas naik 1,1% ke US$ 1.339,20 per troy ons. Harga minyak mentah AS turun 0,1% ke US$ 102,87 per barel.Untuk harga logam yang lain seperti perak menguat 0,3% ke US$ 21,8 per ons, harga tembaga naik 0,65 ke US$ 3,32 per pon dan harga platinum naik 0,3% ke US$ 1.419,20 per ons.

Sebaiknya, pemerintah dan investor tidak perlu menguras emosinya dalam perdebatan tanda-tanda krisis, tetapi sudah seharusnya mereka lebih bereaksi lebih cepat dan focus pada kebijakan yang lebih arif.

SUMBER :


Enhanced by Zemanta

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.