Pro Rakyat vs Pro Kontra.
KEBIJAKAN
pro-rakyat lagi-lagi terbukti masih menjadi sekadar isapan jempol belaka.
Narasi “klasik” menyoal kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam hal ini—secara
kasuistis—kembali “menyapa” publik. “Modus”-nya nyaris bisa ditebak. Ditambah
dengan analisa dan kalkulasi tertentu, banyak dalih yang dilemparkan ke ruang
publik (public sphere), dari mulai alasan menutupi beban subsidi sampai ke
perbaikan pelayanan listrik untuk publik. Walhasil kebijakan “Pro-rakyat” yang tidak
populis tersebut terus menerus dieksekusi, dengan demikian wajar bila dikurungi
tanda tanya besar—mengingat siapa (who) yang jelas-jelas terbebani dari
kebijakan ini tentu adalah rakyat itu sendiri.
Persoalan
yang timbul kemudian adalah bahwa kebijakan (policy) niscaya diikuti dengan
puspa-ragam implikasi. Secara lebih artikulatif, kebijakan kenaikan TDL jelas
berdampak sistemik. Tidak hanya terhenti di locus “kepentingan” PT PLN
(Persero) semata, banyak permasalahan lain yang nyatanya mengemuka
pascapengaplikasian kebijakan yang dimulai dari 1 Juli tahun ini. Dari zona
perbankan katakanlah, kebijakan kenaikan TDL berpotensi mempengaruhi suku
bunga. Kemudian, tanpa bisa diabaikan begitu saja, implikasi lain yang turut
hadir menyusul eksekusi kebijakan ini adalah turbulensi di ranah industri yang
nota bene menjadi (salah satu) urat nadi bergulirnya roda perekonomian
Indonesia. Banyak pengusaha yang mengeluhkan kenaikan TDL. Terlebih, ada preseden
inkonsistensi kebijakan. Kisaran kenaikan TDL yang pada awalnya diperkirakan
berada di point 18 (delapan belas) persen nyatanya melonjak melebihi besaran
kenaikan yang telah dikaji sebelumnya (Antara news, 18/07).
Perekonomian
Indonesia, dengan demikian, tidak berlebihan bila disebut masih jauh dari
kualifikasi sustainable (berkelanjutan). “Kekisruhan” yang terjadi di sektor
moneter dan riil akibat kebijakan yang tidak populis ini tidak mustahil
menggelinding liar dan akhirnya menciptakan gelembung-gelembung (bubble)
ekonomi yang tentu saja merugikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Di
wilayah yang paling kentara, harga-harga produk dipastikan akan naik mengingat
rasionalisasi biaya produksi yang terpaksa ditempuh oleh para produsen. Masih
dalam koridor yang sama, langkah rasionalisasi pun otomatis menyapu kehidupan
buruh. Tingkat pengangguran dalam hal ini potensial membengkak, mengingat salah
satu opsi paling rasional yang bisa diambil oleh para pemodal untuk memangkas
mahalnya biaya produksi adalah melakukan “penyesuaian” terhadap realitas
tersebut dengan cara memotong besaran biaya langsung—yang salah satunya adalah
ongkos buruh.
Kemudian,
sektor ekonomi mikro Indonesia tidak menutup kemungkinan akan melesu. Padahal,
diakui atau tidak, peran pelaku ekonomi ini relatif berpengaruh besar terhadap
perekonomian Indonesia. Desakan kenaikan ongkos produksi dan lagi kenaikan suku
bunga akan berdampak besar terhadap survivalitas pelaku ekonomi di sektor
mikro. Berbeda dengan para pemodal “kakap” (high-capital), para pelaku ekonomi
yang memiliki karakteristik permodalan kecil dan menengah ini akan lebih
merasakan bagaimana multiply-effect dari kebijakan kenaikan TDL. Kenaikan
ongkos produksi pada konteks ini boleh jadi tak ter-cover. Kesulitan mendapatkan
pasokan modal—secara “stereotipikal”—bisa dikatakan merupakan faktor “mendasar”
yang dapat menyulitkan pelaku ekonomi sektor mikro dalam menjawab tantangan
“kekisruhan” ekonomi yang didorong oleh eksekusi kebijakan kenaikan TDL (lagi).
Melihat
semesta fenomena ini, maka (sekali lagi) siapa yang menjadi “korban” (victim)
dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah jelas adalah rakyat. Bila dasar
pertimbangan pengambilan kebijakan itu adalah beban subsidi dan kepentingan
sektoral PT. PLN (Persero), maka implikasi dari kebijakan tersebut –secara
praksis- nyatanya lebih mahal dari segala kalkulasi “resmi” pemerintah!
Rencana
kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun 2014 ini dinilai tidak rasional.
Selain masih buruknya pelayanan PLN, kebijakan tersebut juga bakal mengganggu
perekonomian, terutama usaha kecil dan menengah.
Studi
Dampak Penghapusan Subsidi Listrik Terhadap Kinerja Sektor Riil, yang
dilakukan oleh Agunan P. Samosir pada Industri Tekstil/Garment (Studi Kasus)
merekomendasikan bahwa pasokan listrik dimasa yang akan datang akan mengalami
krisis. Pemerintah perlu memikirkan jalan terbaik untuk membantu pendanaan
dalam investasi baru dan jalur-jalur transmisi untuk memenuhi kebutuhan
listrik. Dengan mengundang investor swasta merupakan salah satu cara yang baik
untuk investasi, akan tetapi iklim usaha yang kondusif, jaminan keamanan
berusaha dan regulasi yang konsisten merupakan faktor kunci keberhasilan
mengundang investor.
Kebijakan
penghapusan subsidi listrik jelas akan membebani masyarakat, baik rumah tangga
maupun sektor produksi. Namun, dengan pertimbangan semakin beratnya beban
anggaran pemerintah, lebih-lebih setelah krisis hebat melanda perekonomian
Indonesia, kurang efektifnya subsidi listriknya menjangkau sasaran, maka perlu
dicari jalan tengah berkaitan dengan persoalan dilematis subsidi listrik. Jalan
tengah yang bisa ditempuh adalah penurunan secara bertahap subsidi listrik
dengan perlakuan yang berbeda menurut kelompok penggunanya. Pengurangan subsidi
pada awal dikenakan terbesar pada kelompok tarif pengguna yang relatif sedikit
dikonsumsi oleh masyarakat dan produsen, misalnya kelompok rumah tangga dan
kelompok sosial dengan beban di bawah 450 VA.
Berkaitan
dengan dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro dan
perdagangan internasional, terutama menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya
tingkat kesempatan kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar
internasional, maka sebagai kompensasinya pemerintah perlu menempuh kebijakan
lain terutama di sektor riil dengan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif
dan efisien. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi perlu lebih ditajamkan
hingga menyentuh pada persoalan mendesak. Disamping itu, percepatan
restrukturisasi sektor perbankan mutlak dilakukan guna mendukung bergeraknya
sektor riil. Dengan
demikian, dampak negatif kenaikan TDL pada perekonomian dapat direduksi dengan
jalan penciptaan iklim usaha yang lebih favourable. Perlunya
PLN melakukan sosialisasi sebelum kenaikan TDL diberlakukan kepada seluruh
sektor, khususnya kepada sektor industri tekstil yang paling banyak menggunakan
tenaga listrik dan tenaga kerja. Sosialisasi tersebut sangat penting untuk
menghadapi masalah-masalah yang terjadi seperti yang telah dikemukakan di atas.
Kebijakan
pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) cukup memukul dunia usaha
Indonesia yang saat ini sedang berusaha bangkit dari keterpurukannya akibat
krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selama kurun waktu 2000 – 2001 TDL sudah
mengalami kenaikan dua kali. Kenaikan TDL ini melengkapi penderitaan pengusaha,
menyusul kenaikan harga BBM (solar) dan kenaikan UMR. Industri tekstil yang
selama ini menjadi primadona didalam pasar ekspor juga mengalami pukulan yang
cukup telak. Apalagi saat ini pasaran tekstil internasional sedang mengalami
kelesuan akibat melemahnya perekonomian dunia dan melimpahnya produk tekstil di
pasar internasional, terutama dari Korsel dan Cina. Untuk mengantisipasi dan
menyesuaikan kondisi ini, maka pengusaha tekstil harus lebih efektif menggarap
pasar baru dan efisien dalam berproduksi. Kenaikan ini juga menjadi masalah
yang cukup rumit bagi pengusaha tekstil karena berkaitan dengan perhitungan
cost dan harga jual dengan buyer. Selama ini kontrak pesanan dilakukan tiga
bulan sebelum produksi sehingga perhitungan harga jualnya masih menggunakan
perhitungan sebelum kenaikan TDL. Hal ini akhirnya mengakibatkan turunnya
marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha tekstil karena tidak mungkin lagi
menaikkan harga jualnya terhadap buyer.
Berdasarkan
hasil survai yang dilakukan terhadap beberapa perusahaan tekstil/garment
(eksportir dan lokal) di wilayah DKI Jakarta, diperoleh informasi mengenai
tindakan penyesuaian yang dilakukan setelah terjadi kenaikan TDL terutama
kenaikan TDL pada 30 Maret 2000. Tindakan penyesuaian tersebut, antara lain :
1.
Rasionalisasi karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan
bagian produksi (buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal
upah buruh. Penghematan ini akan mengurangi biaya produksi (biaya tenaga kerja)
sehingga akan mengurangi pos pengeluaran dan bisa dialihkan untuk menambah pos
biaya listrik. Pengurangan karyawan ini dilakukan melalui seleksi karyawan yang
dirasakan kurang produktif tetapi tidak menghambat produksi yang harus
dihasilkan untuk memenuhi pesanan.
2.
Optimalisasi jam kerja; hal ini berkaitan dengan overtime (jam lembur)
karyawan. Selama ini untuk memenuhi jumlah pesanan dari buyer, maka perusahaan
menerapkan jam lembur bagi tenaga bagian produksi/buruh dengan konsekuensi
penambahan upah lembur. Untuk menghemat pengeluaran uang lembur dan memenuhi
pesanan dari buyer maka perusahaan melakukan kebijakan yang cukup ketat dengan
meniadakan jam lembur dan tidak memperbolehkan buruh bekerja lamban. Hal ini
berkaitan dengan upaya mengoptimalkan tenaga buruh sehingga supervisor harus
bekerja ekstra ketat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja buruh
tersebut.
3.
Penurunan marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan
keuntungan perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi dinaikkan sedangkan
biaya produksi untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan juga
berkurang karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata persentase
kenaikan sebesar 10% - 15%. Perusahaan tidak melakukan rasionalisasi karyawan
tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan tetapi hal ini tidak akan
mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA akan berpikir bahwa investasi
di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk
mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini
terjadi maka iklim investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha akan
semakin mengalami kemunduran.
4.
Meningkatkan harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan
oleh perusahaan lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar
negeri. Dengan melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka
perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan
ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan
daya beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen
meningkat akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga
kebutuhannya, misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan
kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Selama
ini kenaikan TDL lebih cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada
pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh karena mereka tidak
bisa melakukan antisipasi sebelumnya. Untuk mengantisipasinya maka sebaiknya
pemerintah terlebih dahulu melakukan sosialisasi kenaikan TDL tersebut dengan
mengadakan seminar/diskusi dengan dunia usaha sehingga perusahaan bisa
melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya. Diskusi atau pengkajian
yang lebih mendalam juga sebaiknya dilakukan sebelum pemerintah menetapkan
kenaikan TDL untuk memperoleh gambaran yang lebih kongkrit tentang kondisi
dunia usaha, sehingga dapat mendukung kebijakan yang akan diterapkan. Kenaikan
TDL yang relatif sering akan berdampak buruk bagi kinerja perusahaan karena
berkaitan dengan harga pokok produksi. Beberapa pengusaha menyatakan akan lebih
baik apabila kenaikan TDL dilakukan setahun sekali atau bahkan tiga tahun
sekali, untuk memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan adjustment
dan perhitungan ulang biaya produksi.
Mekanisme
subsidi yang digunakan saat ini telah mengarah kepada kelompok pengguna yang
membutuhkan (targeted subsidy) yaitu kelompok rumah tangga, sosial, bisnis dan
industri beban 450 VA dengan beban pemakaian dibawah 30 kWh. Secara makro,
dampak kenaikan TDL sebagai konsekuensi dari penurunan rata-rata subsidi
listrik mempunyai arah yang negatif. Hal ini ditunjukkan dari menurunnya
pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan
meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor
produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production).
Direktur
Utama PT PLN, Nur Pamudji mengharapkan penyesuaian tarif listrik secara
otomatis dapat berlaku pada semua golongan pelanggan. Penerapan penyesuaian
tarif secara otomatis akan membuat keuangan PLN menjadi sehat. "Kami
pernah lakukan pada 1994-1997 hingga sebelum krisis moneter. Saat itu,
`adjustment tariff` berlaku di semua golongan, sehingga PLN menjadi sehat dalam
arti cukup membiayai investasi. Kami ingin kembali ke sana, agar investasi
tidak dari utang seperti sekarang," kata Nur Pamudji, di Jakarta, kemarin.
Pada
kurun waktu 1994-1997, PLN bahkan menjadi BUMN yang mampu meraih laba terbesar.
Pemerintah berencana menerapkan tarif otomatis yang diawali pada empat golongan
pelanggan mulai 2014. Keempat golongan tersebut yakni rumah tangga besar (R3)
dengan daya 6.600 VA ke atas, bisnis menengah (B2) dengan daya 6.600-200.000
VA, bisnis besar (B3) dengan daya di atas 200 kVA dan kantor pemerintah sedang
(P1) dengan daya 6.600-200.000 VA.
Direktur
Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan pemerintah
melalui Kementerian ESDM, mengusulkan kenaikan TDL pada 2014, tetapi untuk
golongan tertentu saja. “tidak semuanya," kata Jarman. Kenaikan tarif
listrik ini, dikhususkan untuk golongan kaya, seperti mal (pusat perbelanjaan)
dan rumah-rumah orang kaya, mal, dan pelanggan rumah tangga dengan daya besar,
yang jelas yang konsumtif. Kalau industri tidak diwacanakan naik karena
industri memberikan multiplier effect yang besar, kata Jarman. UNTUK membagi
beban yang ditimbulkan akibat pengurangan subsidi pelanggan kecil 450 VA hingga
900 VA tidak mengalami kenaikan, maka pelanggan besar dan semua kelompok bisnis
dan industri mengalami kenaikan rata-rata 6-20 persen.
Kenaikan
TDL, Turunkan Daya Beli Masyarakat
Kenaikan
TDL bukan isu baru karena telah diputuskan sejak tahun lalu, saat pemerintah
menyusun RAPBN 2010. Memang, sebagian kalangan berpendapat formula kenaikan
tersebut tidak akan berdampak besar bagi ekonomi, karena rata-rata kenaikannya relatif
rendah. Sebelum keputusan kenaikan TDL diambil, pemerintah telah berkali-kali
meyakinkan publik bahwa dampak kenaikan TDL bagi ekonomi akan minimal.
Badan
Pusat Statistik juga menyatakan dampak terhadap inflasi sangat minimal. Bila
TDL naik 15 persen hanya akan memberikan dampak langsung kepada kenaikan
inflasi sebesar 0,36 persen. Intinya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Apalagi formula kenaikan TDL telah membebaskan pelanggan masyarakat bawah dari
kenaikan sehingga lebih adil bagi masyarakat.
Director
ECONIT Advisory Group Dr Hendri Saparini, mengatakan bahwa siapapun yang lebih
dibebani atas kenaikan TDL tetap akan berpengaruh terhadap ekonomi nasional,
karena akan menekan daya beli dan daya saing. Kalau bicara keadilan tentu kenaikan
TDL tidak adil. Rumah tangga masyarakat bawah yang pada umumnya menggunakan
daya listrik 450 VA memang tidak akan menghadapi kenaikan biaya listrik.
Namun,
kenaikan TDL yang terjadi di seluruh kelompok pelanggan lainnya, pasti akan
memberikan dampak langsung maupun tidak langsung. Kenaikan TDL akan memberikan
efek domino, sehingga industri dipastikan akan menaikkan harga produk baik barang
maupun jasa.
Industri
makanan sebagai salah satu industri yang boros energi dipastikan akan segera
menaikkan harga. Padahal, kenaikan harga bahan makanan maupun makanan akan
memberikan dampak sangat signifikan bagi kelompok bawah dibanding kelompok
menengah atas. Alasannya, karena lebih dari separo dari pengeluaran kelompok
masyarakat adalah untuk makanan. Tekanan kenaikan harga makanan akan semakin
besar bila akhirnya Pertamina, yang sudah lama mengajukan kenaikan harga kepada
pemerintah, juga ikut menaikkan harga elpiji.
Dengan
porsi biaya energi pada industri makanan mencapai 10 persen, maka sulit untuk
mengatakan industri makanan tidak akan menaikkan harga. Meskipun ada time lag,
industri lainpun akan terdorong untuk menaikkan harga.
Biaya
produksi yang meningkat di berbagai industri tentu akan semakin menekan daya
saing sektor industri dan menekan tingkat pertumbuhan industri yang terus
melambat. Apalagi Indonesia tengah menghadapi gempuran produk-produk murah dari
China. Tambahan biaya akibat kenaikan TDL akan berdampak sangat signifikan.
Bahkan,
pemerintah gagal untuk renegosiasi 228 pos tarif dalam kerjasama ASEAN China
Free Trade Area (ACFTA). Dampak kegagalan ini sangat besar bagi industri
tekstil, alas kaki, mainan anak, dan elektronik. Karena lebih dari tigaperempat
pos tarif yang gagal direnegosiasi ada pada sektor ini.
Dampak
kenaikan TDL tentu akan semakin menekan industri-industri tersebut karena
kelompok ini, termasuk kelompok industri yang boros listrik. Akhirnya, kondisi
ini akan berdampak besar bagi masyarakat bawah karena sebagian besar usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM) bergerak di sektor-sektor ini. Jadi, sulit
untuk mengatakan bahwa hal ini tidak berdampak pada masyarakat bawah. Jadi,
dampak kenaikan TDL tidak hanya dapat sekedar dilihat dari kenaikan inflasi.
Untuk
itu, pertimbangan pemerintah untuk menaikkan TDL juga harus dikaji secara
mendalam karena akan menekan daya beli masyarakat sekaligus daya saing
industri.
Ragam
komentar
"Ini
(kenaikan TDL, red) kebijakan yang tidak rasional dan bahkan tidak manusiawi.
Lihat pelayanan PLN, apa sudah baik?" kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Lampung, melalui telepon, tadi malam (6-9).
Dalam
satu tulisannya, anna ailsa alethea tahun 2010 yang lalu menyimpulkan bahwa
kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dengan dalih apapun, tetap saja tidak
memihak rakyat terutama golongan menengah ke bawah. Dampak kenaikan tersebut
secara langsung akan menggerus pendapatan masyarakat kecil dan juga akan memicu
inflasi di Indonesia walaupun tidak begitu besar. Inflasi akan terjadi akibat
dari kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang substitusi
yang disebabkan kenaikan TDL. Pemerintah hendaknya mempertimbangkan dampak
tidak langsung dari “kebijakan” menaikkan TDL, bukan hanya memperhitungkan
dampak langsungnya. Karena justru dampak tidak langsung inilah yang cukup menyengsarakan rakyat kecil
dan itu akan berlangsung lebih lama.
Kenaikan
TDL ini perlu dipertimbangkan secara matang, pemerintah juga harus
mempertimbangkan dampak dari kenaikan TDL. Selain masih buruknya pelayanan PLN,
akibatnya, sudah pasti, masyarakat kecil yang akan terbebani, kata Subadrayani.
Menurutnya, jika TDL naik secara otomatis akan terjadi peningkatan harga barang
dan jasa disektor-sektor usaha kecil. PLN harus introspeksi dan membenahi karut
marutnya pelayanan kepada pelanggan. "Benahi dulu secara internal untuk
memperbaiki pelayanan kepada pelanggan. Jangan dikit-dikit mau TDL naik
terus," kata Subadrayani.
Hal
senada disampaikan Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Lampung Bidang
UKM dan Koperasi, Yuria Putra Tubarad. Ia menilai, rencana kenaikan TDL bakal
semakin memperburuk kondisi perekonomian. "Jika TDL naik ini kiamat
namanya. PLN ini sudah tidak konsisten, listrik terus byarpet, tapi maunya TDL
naik terus. Ini bisa semakin memperburuk ekonomi rakyat. Dampak dari kenaikan
TDL akan berpengaruh terhadap seluruh industri kecil, terutama industri rumah
tangga. Terlebih, pada awal tahun ini, TDL telah naik sebesar 15%. Fungsi BUMN
itu untuk membela kepentingan rakyat, jangan sudah seperti perusahaan swasta.
Kami dari Kadin berharap jangan dululah ada kenaikan. Perbaiki dulu pelayanan
kepada masyarakat," kata Yuria.
"Tidak
rasional”. Itulah mungkin kata-kata yang ada di kepala masyarakat Kalsel
khususnya dan Pulau Kalimantan pada umumnya. Di tengah byar pet yang
kebangetan, eh... malah dinaikin tarifnya. Bayangkan Kalsel salah satu (di
Pulau Kalimantan) lumbungnya energi. Namun bya rpet dalam satu hari 2-5 jam
dengan alasan macam-macam dan biasanya terjadi beberapa kali dalam satu minggu.
Yang jadi pertanyaan adalah dikemanakan energi yang ada di pulau ini? Apakah
Kalimantan hanya sebatas sapi perah saja?" Zainul, Banjarmasin.
"Mengapa
rakyat yang selalu jadi sasaran dari birahi penguasa? TDL naik jelas
menyesengsarakan rakyat jelata ... Coba Anda duduk dan merenung tentang
kehidupan kami di pedesaan yang pendapatan rata-rata maksimal Rp 450.000/bulan,
jangan lah terus menerus Anda menginjak kami dalam lobang kecil dan berlumpur
ini. Chiar, Bireuen.
"Listrik
di Indonesia bisa tidak naik kalau pembangkit sudah memakai batu bara, gas dan
air. Dan itu berlimpah di Indonesia. Saya sekarang di Qatar. Di Qatar listrik
Rp200/kwh, sementara di rumah saya di Indonesia Rp900/kwh." Idrus, Doha,
Qatar.
"Meski
kenaikan tarif hanya diberlakukan pada pelanggan tertentu, tetap itu akan
berdampak langsung bagi masyarakat. Sejumlah industri yang menggunakan listrik
sebagai tenaga penggerak tentu ini akan berpengaruh besar pada kualitas dan
kuantitas barang yang dihasilkan. Tarif dasar listrik (TDL) naik, secara tak
langsung harga barang pun akan ikut naik. Rakyat kecil pun akan menjadi sasaran
dari kebijakan yang asal-asalan. Jika memang biaya produksi listrik mahal, itu kesalahan
pemerintah yang telat memanfaat teknologi nuklir. Warga ketakutan akan bahaya
nuklir itu pun akibat kurang sosialisasi. Pemerintah harusnya berguru kepada
Iran dan Jepang soal pemanfaatan nuklir sebagai penghasil tenaga listrik."
Sugiharto Purnama, Bandung.
"Subsidi
bukan sama rasa, sama rata. Yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih seharusnya
tidak menikmati subsidi. Pelanggan rumah tangga dengan daya 450 watt, dan 900
watt bahkan lebih hemat pemakaian listriknya. Hasil penghematan subsidi listrik
dimanfaatkan pada bidang lain seperti meningkatkan sumber daya manusia melalui
pendidikan, kesehatan, pelatihan kewirausahaan atau pembangkit listrik didaerah
terpencil." Wahjoe, Nganjuk.
"Harapan
pemerintah memang penting (apalagi kalau langsung terealisasi), tapi lebih
penting lagi harapan rakyat (sejahtera, sentosa dan lain-lain walaupun masih
jauh)." Erwandi Lubis, pematangsiantar, Sumatera Utara.
"Sudah
seharusnya subsidi itu jadi tanggung jawab pemerintah untuk membuat rakyat
sejahtera, tujuan hidup bernegara adalah hidup sejahtera, dengan tarif listrik
yang naik bisa menjamin kesejahteraan rakyat? Menurut saya ini semua hanya demi
kepentingan pemerintah semata, bukan atas kepentingan rakyat. Sekali lagi saya
menegaskan sangat tidak setuju dengan kebijakan ini." Permana, Tangerang.
"Kenaikan
tarif dasar listrik tentu akan berpengaruh terhadap kenaikan harga-harga. Hal
ini yang akan memberatkan masyarakat semua kalangan, terutama sekali rakyat
kecil. Harga sembilan bahan pokok akan naik dan tentu diikuti bahan-bahan
sekunder. Apalagi nantinya (dunia pendidikan) menerapkan kurikulum 2013 yang
berbasis IT, yang memerlukan listrik tidak sedikit dan juga kalau tidak
diimbangi dengan layanan prima maka daya listrik akan drop/ mati, ini akan
mengganggu proses KBM." Lastri Utomo, Yogyakarta.
"Ironis,
rakyat makin susah, TDL tak perlu naik jika pemerintah, DPR dan lembaga lain
lebih hemat anggaran, triliunan rupiah diboroskan jalan-jalan ke luar negeri
yang tidak urgent untuk kepentingan rakyat. PLN lakukan efisiensi, pakai panas
bumi/LNG/panas matahari untuk energi pembangkit listrik PLN, jangan
"instan" tergantung BBM. Kado tahun baru SBY yang 'menyengsarakan
rakyat". AG Paulus, Purwokerto.
Badan
Pusat Statistik (BPS) mengaku masih mengkaji dampak kenaikan tersebut terhadap
tren inflasi di Indonesia. Padahal, pemerintah telah menetapkan tanggal 1 Mei
2014, Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk industri akan naik.
"Kita
harus lihat porsinya sebagai cost di dalam usaha terhadap TDL itu kan tidak
besar, karena yang besar itu di manufaktur itu masih ke biaya upah gaji dan
bahan baku penolong. Setidaknya terdapat dua dampak yang akan terjadi setelah TDL tersebut dinaikkan. Dampak tidak langsungnya terhadap rumah tangga kalangan menengah ke atas, sedangkan dampak yang langsung terhadap pelaku usaha. Dampak secara total tergantung komoditinya, ada komoditi yang masih memproses produksi dengan tidak menggunakan listrik. Barang-barang pertanian dan perkebunan tapi bagaimana pemerintah dan pelaku usaha bisnis itu punya hitung-hitungan terhadap kenaikan TDL itu," terang Kepala
BPS, Suryamin di Gedung BPS, Jakarta, Jumat (2/5/2014).
Mirissssss
…… aparat pemerintah tak bisa kerja berdasarkan kemampuan dan kebutuhan rakyat.
Ntah untuk siapa pemerintah ini dipilih dan ditetapkan rakyat ……. Ntahlahhhh
SUMBER
:
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.