KULIAH PUBLIK: Dampak Riil Kenaikan TDL Bagi Masyarakat. Tanggungjawab siapa?

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Monday, May 05, 2014

Dampak Riil Kenaikan TDL Bagi Masyarakat. Tanggungjawab siapa?


Pro Rakyat vs Pro Kontra.

KEBIJAKAN pro-rakyat lagi-lagi terbukti masih menjadi sekadar isapan jempol belaka. Narasi “klasik” menyoal kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam hal ini—secara kasuistis—kembali “menyapa” publik. “Modus”-nya nyaris bisa ditebak. Ditambah dengan analisa dan kalkulasi tertentu, banyak dalih yang dilemparkan ke ruang publik (public sphere), dari mulai alasan menutupi beban subsidi sampai ke perbaikan pelayanan listrik untuk publik. Walhasil kebijakan “Pro-rakyat” yang tidak populis tersebut terus menerus dieksekusi, dengan demikian wajar bila dikurungi tanda tanya besar—mengingat siapa (who) yang jelas-jelas terbebani dari kebijakan ini tentu adalah rakyat itu sendiri.

Persoalan yang timbul kemudian adalah bahwa kebijakan (policy) niscaya diikuti dengan puspa-ragam implikasi. Secara lebih artikulatif, kebijakan kenaikan TDL jelas berdampak sistemik. Tidak hanya terhenti di locus “kepentingan” PT PLN (Persero) semata, banyak permasalahan lain yang nyatanya mengemuka pascapengaplikasian kebijakan yang dimulai dari 1 Juli tahun ini. Dari zona perbankan katakanlah, kebijakan kenaikan TDL berpotensi mempengaruhi suku bunga. Kemudian, tanpa bisa diabaikan begitu saja, implikasi lain yang turut hadir menyusul eksekusi kebijakan ini adalah turbulensi di ranah industri yang nota bene menjadi (salah satu) urat nadi bergulirnya roda perekonomian Indonesia. Banyak pengusaha yang mengeluhkan kenaikan TDL. Terlebih, ada preseden inkonsistensi kebijakan. Kisaran kenaikan TDL yang pada awalnya diperkirakan berada di point 18 (delapan belas) persen nyatanya melonjak melebihi besaran kenaikan yang telah dikaji sebelumnya (Antara news, 18/07).

Perekonomian Indonesia, dengan demikian, tidak berlebihan bila disebut masih jauh dari kualifikasi sustainable (berkelanjutan). “Kekisruhan” yang terjadi di sektor moneter dan riil akibat kebijakan yang tidak populis ini tidak mustahil menggelinding liar dan akhirnya menciptakan gelembung-gelembung (bubble) ekonomi yang tentu saja merugikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Di wilayah yang paling kentara, harga-harga produk dipastikan akan naik mengingat rasionalisasi biaya produksi yang terpaksa ditempuh oleh para produsen. Masih dalam koridor yang sama, langkah rasionalisasi pun otomatis menyapu kehidupan buruh. Tingkat pengangguran dalam hal ini potensial membengkak, mengingat salah satu opsi paling rasional yang bisa diambil oleh para pemodal untuk memangkas mahalnya biaya produksi adalah melakukan “penyesuaian” terhadap realitas tersebut dengan cara memotong besaran biaya langsung—yang salah satunya adalah ongkos buruh.

Kemudian, sektor ekonomi mikro Indonesia tidak menutup kemungkinan akan melesu. Padahal, diakui atau tidak, peran pelaku ekonomi ini relatif berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Desakan kenaikan ongkos produksi dan lagi kenaikan suku bunga akan berdampak besar terhadap survivalitas pelaku ekonomi di sektor mikro. Berbeda dengan para pemodal “kakap” (high-capital), para pelaku ekonomi yang memiliki karakteristik permodalan kecil dan menengah ini akan lebih merasakan bagaimana multiply-effect dari kebijakan kenaikan TDL. Kenaikan ongkos produksi pada konteks ini boleh jadi tak ter-cover. Kesulitan mendapatkan pasokan modal—secara “stereotipikal”—bisa dikatakan merupakan faktor “mendasar” yang dapat menyulitkan pelaku ekonomi sektor mikro dalam menjawab tantangan “kekisruhan” ekonomi yang didorong oleh eksekusi kebijakan kenaikan TDL (lagi).

Melihat semesta fenomena ini, maka (sekali lagi) siapa yang menjadi “korban” (victim) dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah jelas adalah rakyat. Bila dasar pertimbangan pengambilan kebijakan itu adalah beban subsidi dan kepentingan sektoral PT. PLN (Persero), maka implikasi dari kebijakan tersebut –secara praksis- nyatanya lebih mahal dari segala kalkulasi “resmi” pemerintah!

Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun 2014 ini dinilai tidak rasional. Selain masih buruknya pelayanan PLN, kebijakan tersebut juga bakal mengganggu perekonomian, terutama usaha kecil dan menengah.

Studi Dampak Penghapusan Subsidi Listrik Terhadap Kinerja Sektor Riil, yang dilakukan oleh Agunan P. Samosir pada Industri Tekstil/Garment (Studi Kasus) merekomendasikan bahwa pasokan listrik dimasa yang akan datang akan mengalami krisis. Pemerintah perlu memikirkan jalan terbaik untuk membantu pendanaan dalam investasi baru dan jalur-jalur transmisi untuk memenuhi kebutuhan listrik. Dengan mengundang investor swasta merupakan salah satu cara yang baik untuk investasi, akan tetapi iklim usaha yang kondusif, jaminan keamanan berusaha dan regulasi yang konsisten merupakan faktor kunci keberhasilan mengundang investor.

Kebijakan penghapusan subsidi listrik jelas akan membebani masyarakat, baik rumah tangga maupun sektor produksi. Namun, dengan pertimbangan semakin beratnya beban anggaran pemerintah, lebih-lebih setelah krisis hebat melanda perekonomian Indonesia, kurang efektifnya subsidi listriknya menjangkau sasaran, maka perlu dicari jalan tengah berkaitan dengan persoalan dilematis subsidi listrik. Jalan tengah yang bisa ditempuh adalah penurunan secara bertahap subsidi listrik dengan perlakuan yang berbeda menurut kelompok penggunanya. Pengurangan subsidi pada awal dikenakan terbesar pada kelompok tarif pengguna yang relatif sedikit dikonsumsi oleh masyarakat dan produsen, misalnya kelompok rumah tangga dan kelompok sosial dengan beban di bawah 450 VA.

Berkaitan dengan dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro dan perdagangan internasional, terutama menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional, maka sebagai kompensasinya pemerintah perlu menempuh kebijakan lain terutama di sektor riil dengan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan efisien. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi perlu lebih ditajamkan hingga menyentuh pada persoalan mendesak. Disamping itu, percepatan restrukturisasi sektor perbankan mutlak dilakukan guna mendukung bergeraknya sektor riil. Dengan demikian, dampak negatif kenaikan TDL pada perekonomian dapat direduksi dengan jalan penciptaan iklim usaha yang lebih favourable. Perlunya PLN melakukan sosialisasi sebelum kenaikan TDL diberlakukan kepada seluruh sektor, khususnya kepada sektor industri tekstil yang paling banyak menggunakan tenaga listrik dan tenaga kerja. Sosialisasi tersebut sangat penting untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi seperti yang telah dikemukakan di atas.

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) cukup memukul dunia usaha Indonesia yang saat ini sedang berusaha bangkit dari keterpurukannya akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selama kurun waktu 2000 – 2001 TDL sudah mengalami kenaikan dua kali. Kenaikan TDL ini melengkapi penderitaan pengusaha, menyusul kenaikan harga BBM (solar) dan kenaikan UMR. Industri tekstil yang selama ini menjadi primadona didalam pasar ekspor juga mengalami pukulan yang cukup telak. Apalagi saat ini pasaran tekstil internasional sedang mengalami kelesuan akibat melemahnya perekonomian dunia dan melimpahnya produk tekstil di pasar internasional, terutama dari Korsel dan Cina. Untuk mengantisipasi dan menyesuaikan kondisi ini, maka pengusaha tekstil harus lebih efektif menggarap pasar baru dan efisien dalam berproduksi. Kenaikan ini juga menjadi masalah yang cukup rumit bagi pengusaha tekstil karena berkaitan dengan perhitungan cost dan harga jual dengan buyer. Selama ini kontrak pesanan dilakukan tiga bulan sebelum produksi sehingga perhitungan harga jualnya masih menggunakan perhitungan sebelum kenaikan TDL. Hal ini akhirnya mengakibatkan turunnya marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha tekstil karena tidak mungkin lagi menaikkan harga jualnya terhadap buyer. 

Berdasarkan hasil survai yang dilakukan terhadap beberapa perusahaan tekstil/garment (eksportir dan lokal) di wilayah DKI Jakarta, diperoleh informasi mengenai tindakan penyesuaian yang dilakukan setelah terjadi kenaikan TDL terutama kenaikan TDL pada 30 Maret 2000. Tindakan penyesuaian tersebut, antara lain :

1. Rasionalisasi karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan bagian produksi (buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah buruh. Penghematan ini akan mengurangi biaya produksi (biaya tenaga kerja) sehingga akan mengurangi pos pengeluaran dan bisa dialihkan untuk menambah pos biaya listrik. Pengurangan karyawan ini dilakukan melalui seleksi karyawan yang dirasakan kurang produktif tetapi tidak menghambat produksi yang harus dihasilkan untuk memenuhi pesanan.

2. Optimalisasi jam kerja; hal ini berkaitan dengan overtime (jam lembur) karyawan. Selama ini untuk memenuhi jumlah pesanan dari buyer, maka perusahaan menerapkan jam lembur bagi tenaga bagian produksi/buruh dengan konsekuensi penambahan upah lembur. Untuk menghemat pengeluaran uang lembur dan memenuhi pesanan dari buyer maka perusahaan melakukan kebijakan yang cukup ketat dengan meniadakan jam lembur dan tidak memperbolehkan buruh bekerja lamban. Hal ini berkaitan dengan upaya mengoptimalkan tenaga buruh sehingga supervisor harus bekerja ekstra ketat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja buruh tersebut.

3. Penurunan marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan keuntungan perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi dinaikkan sedangkan biaya produksi untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan juga berkurang karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata persentase kenaikan sebesar 10% - 15%. Perusahaan tidak melakukan rasionalisasi karyawan tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan tetapi hal ini tidak akan mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA akan berpikir bahwa investasi di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini terjadi maka iklim investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha akan semakin mengalami kemunduran.

4. Meningkatkan harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar negeri. Dengan melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan daya beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen meningkat akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhannya, misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.

Selama ini kenaikan TDL lebih cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh karena mereka tidak bisa melakukan antisipasi sebelumnya. Untuk mengantisipasinya maka sebaiknya pemerintah terlebih dahulu melakukan sosialisasi kenaikan TDL tersebut dengan mengadakan seminar/diskusi dengan dunia usaha sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya. Diskusi atau pengkajian yang lebih mendalam juga sebaiknya dilakukan sebelum pemerintah menetapkan kenaikan TDL untuk memperoleh gambaran yang lebih kongkrit tentang kondisi dunia usaha, sehingga dapat mendukung kebijakan yang akan diterapkan. Kenaikan TDL yang relatif sering akan berdampak buruk bagi kinerja perusahaan karena berkaitan dengan harga pokok produksi. Beberapa pengusaha menyatakan akan lebih baik apabila kenaikan TDL dilakukan setahun sekali atau bahkan tiga tahun sekali, untuk memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan adjustment dan perhitungan ulang biaya produksi.

Mekanisme subsidi yang digunakan saat ini telah mengarah kepada kelompok pengguna yang membutuhkan (targeted subsidy) yaitu kelompok rumah tangga, sosial, bisnis dan industri beban 450 VA dengan beban pemakaian dibawah 30 kWh. Secara makro, dampak kenaikan TDL sebagai konsekuensi dari penurunan rata-rata subsidi listrik mempunyai arah yang negatif. Hal ini ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production).

Direktur Utama PT PLN, Nur Pamudji mengharapkan penyesuaian tarif listrik secara otomatis dapat berlaku pada semua golongan pelanggan. Penerapan penyesuaian tarif secara otomatis akan membuat keuangan PLN menjadi sehat. "Kami pernah lakukan pada 1994-1997 hingga sebelum krisis moneter. Saat itu, `adjustment tariff` berlaku di semua golongan, sehingga PLN menjadi sehat dalam arti cukup membiayai investasi. Kami ingin kembali ke sana, agar investasi tidak dari utang seperti sekarang," kata Nur Pamudji, di Jakarta, kemarin.

Pada kurun waktu 1994-1997, PLN bahkan menjadi BUMN yang mampu meraih laba terbesar. Pemerintah berencana menerapkan tarif otomatis yang diawali pada empat golongan pelanggan mulai 2014. Keempat golongan tersebut yakni rumah tangga besar (R3) dengan daya 6.600 VA ke atas, bisnis menengah (B2) dengan daya 6.600-200.000 VA, bisnis besar (B3) dengan daya di atas 200 kVA dan kantor pemerintah sedang (P1) dengan daya 6.600-200.000 VA.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan pemerintah melalui Kementerian ESDM, mengusulkan kenaikan TDL pada 2014, tetapi untuk golongan tertentu saja. “tidak semuanya," kata Jarman. Kenaikan tarif listrik ini, dikhususkan untuk golongan kaya, seperti mal (pusat perbelanjaan) dan rumah-rumah orang kaya, mal, dan pelanggan rumah tangga dengan daya besar, yang jelas yang konsumtif. Kalau industri tidak diwacanakan naik karena industri memberikan multiplier effect yang besar, kata Jarman. UNTUK membagi beban yang ditimbulkan akibat pengurangan subsidi pelanggan kecil 450 VA hingga 900 VA tidak mengalami kenaikan, maka pelanggan besar dan semua kelompok bisnis dan industri mengalami kenaikan rata-rata 6-20 persen.

Kenaikan TDL, Turunkan Daya Beli Masyarakat

Kenaikan TDL bukan isu baru karena telah diputuskan sejak tahun lalu, saat pemerintah menyusun RAPBN 2010. Memang, sebagian kalangan berpendapat formula kenaikan tersebut tidak akan berdampak besar bagi ekonomi, karena rata-rata kenaikannya relatif rendah. Sebelum keputusan kenaikan TDL diambil, pemerintah telah berkali-kali meyakinkan publik bahwa dampak kenaikan TDL bagi ekonomi akan minimal.

Badan Pusat Statistik juga menyatakan dampak terhadap inflasi sangat minimal. Bila TDL naik 15 persen hanya akan memberikan dampak langsung kepada kenaikan inflasi sebesar 0,36 persen. Intinya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Apalagi formula kenaikan TDL telah membebaskan pelanggan masyarakat bawah dari kenaikan sehingga lebih adil bagi masyarakat.

Director ECONIT Advisory Group Dr Hendri Saparini, mengatakan bahwa siapapun yang lebih dibebani atas kenaikan TDL tetap akan berpengaruh terhadap ekonomi nasional, karena akan menekan daya beli dan daya saing. Kalau bicara keadilan tentu kenaikan TDL tidak adil. Rumah tangga masyarakat bawah yang pada umumnya menggunakan daya listrik 450 VA memang tidak akan menghadapi kenaikan biaya listrik.
Namun, kenaikan TDL yang terjadi di seluruh kelompok pelanggan lainnya, pasti akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung. Kenaikan TDL akan memberikan efek domino, sehingga industri dipastikan akan menaikkan harga produk baik barang maupun jasa.
Industri makanan sebagai salah satu industri yang boros energi dipastikan akan segera menaikkan harga. Padahal, kenaikan harga bahan makanan maupun makanan akan memberikan dampak sangat signifikan bagi kelompok bawah dibanding kelompok menengah atas. Alasannya, karena lebih dari separo dari pengeluaran kelompok masyarakat adalah untuk makanan. Tekanan kenaikan harga makanan akan semakin besar bila akhirnya Pertamina, yang sudah lama mengajukan kenaikan harga kepada pemerintah, juga ikut menaikkan harga elpiji.
Dengan porsi biaya energi pada industri makanan mencapai 10 persen, maka sulit untuk mengatakan industri makanan tidak akan menaikkan harga. Meskipun ada time lag, industri lainpun akan terdorong untuk menaikkan harga.
Biaya produksi yang meningkat di berbagai industri tentu akan semakin menekan daya saing sektor industri dan menekan tingkat pertumbuhan industri yang terus melambat. Apalagi Indonesia tengah menghadapi gempuran produk-produk murah dari China. Tambahan biaya akibat kenaikan TDL akan berdampak sangat signifikan.
Bahkan, pemerintah gagal untuk renegosiasi 228 pos tarif dalam kerjasama ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Dampak kegagalan ini sangat besar bagi industri tekstil, alas kaki, mainan anak, dan elektronik. Karena lebih dari tigaperempat pos tarif yang gagal direnegosiasi ada pada sektor ini.

Dampak kenaikan TDL tentu akan semakin menekan industri-industri tersebut karena kelompok ini, termasuk kelompok industri yang boros listrik. Akhirnya, kondisi ini akan berdampak besar bagi masyarakat bawah karena sebagian besar usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bergerak di sektor-sektor ini. Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa hal ini tidak berdampak pada masyarakat bawah. Jadi, dampak kenaikan TDL tidak hanya dapat sekedar dilihat dari kenaikan inflasi.
Untuk itu, pertimbangan pemerintah untuk menaikkan TDL juga harus dikaji secara mendalam karena akan menekan daya beli masyarakat sekaligus daya saing industri.

Ragam komentar

"Ini (kenaikan TDL, red) kebijakan yang tidak rasional dan bahkan tidak manusiawi. Lihat pelayanan PLN, apa sudah baik?" kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lampung, melalui telepon, tadi malam (6-9).

Dalam satu tulisannya, anna ailsa alethea tahun 2010 yang lalu menyimpulkan bahwa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dengan dalih apapun, tetap saja tidak memihak rakyat terutama golongan menengah ke bawah. Dampak kenaikan tersebut secara langsung akan menggerus pendapatan masyarakat kecil dan juga akan memicu inflasi di Indonesia walaupun tidak begitu besar. Inflasi akan terjadi akibat dari kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang substitusi yang disebabkan kenaikan TDL. Pemerintah hendaknya mempertimbangkan dampak tidak langsung dari “kebijakan” menaikkan TDL, bukan hanya memperhitungkan dampak langsungnya. Karena justru dampak tidak langsung  inilah yang cukup menyengsarakan rakyat kecil dan itu akan berlangsung lebih lama.

Kenaikan TDL ini perlu dipertimbangkan secara matang, pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak dari kenaikan TDL. Selain masih buruknya pelayanan PLN, akibatnya, sudah pasti, masyarakat kecil yang akan terbebani, kata Subadrayani. Menurutnya, jika TDL naik secara otomatis akan terjadi peningkatan harga barang dan jasa disektor-sektor usaha kecil. PLN harus introspeksi dan membenahi karut marutnya pelayanan kepada pelanggan. "Benahi dulu secara internal untuk memperbaiki pelayanan kepada pelanggan. Jangan dikit-dikit mau TDL naik terus," kata Subadrayani.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Lampung Bidang UKM dan Koperasi, Yuria Putra Tubarad. Ia menilai, rencana kenaikan TDL bakal semakin memperburuk kondisi perekonomian. "Jika TDL naik ini kiamat namanya. PLN ini sudah tidak konsisten, listrik terus byarpet, tapi maunya TDL naik terus. Ini bisa semakin memperburuk ekonomi rakyat. Dampak dari kenaikan TDL akan berpengaruh terhadap seluruh industri kecil, terutama industri rumah tangga. Terlebih, pada awal tahun ini, TDL telah naik sebesar 15%. Fungsi BUMN itu untuk membela kepentingan rakyat, jangan sudah seperti perusahaan swasta. Kami dari Kadin berharap jangan dululah ada kenaikan. Perbaiki dulu pelayanan kepada masyarakat," kata Yuria.

"Tidak rasional”. Itulah mungkin kata-kata yang ada di kepala masyarakat Kalsel khususnya dan Pulau Kalimantan pada umumnya. Di tengah byar pet yang kebangetan, eh... malah dinaikin tarifnya. Bayangkan Kalsel salah satu (di Pulau Kalimantan) lumbungnya energi. Namun bya rpet dalam satu hari 2-5 jam dengan alasan macam-macam dan biasanya terjadi beberapa kali dalam satu minggu. Yang jadi pertanyaan adalah dikemanakan energi yang ada di pulau ini? Apakah Kalimantan hanya sebatas sapi perah saja?" Zainul, Banjarmasin.

"Mengapa rakyat yang selalu jadi sasaran dari birahi penguasa? TDL naik jelas menyesengsarakan rakyat jelata ... Coba Anda duduk dan merenung tentang kehidupan kami di pedesaan yang pendapatan rata-rata maksimal Rp 450.000/bulan, jangan lah terus menerus Anda menginjak kami dalam lobang kecil dan berlumpur ini. Chiar, Bireuen.

"Listrik di Indonesia bisa tidak naik kalau pembangkit sudah memakai batu bara, gas dan air. Dan itu berlimpah di Indonesia. Saya sekarang di Qatar. Di Qatar listrik Rp200/kwh, sementara di rumah saya di Indonesia Rp900/kwh." Idrus, Doha, Qatar.

"Meski kenaikan tarif hanya diberlakukan pada pelanggan tertentu, tetap itu akan berdampak langsung bagi masyarakat. Sejumlah industri yang menggunakan listrik sebagai tenaga penggerak tentu ini akan berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas barang yang dihasilkan. Tarif dasar listrik (TDL) naik, secara tak langsung harga barang pun akan ikut naik. Rakyat kecil pun akan menjadi sasaran dari kebijakan yang asal-asalan. Jika memang biaya produksi listrik mahal, itu kesalahan pemerintah yang telat memanfaat teknologi nuklir. Warga ketakutan akan bahaya nuklir itu pun akibat kurang sosialisasi. Pemerintah harusnya berguru kepada Iran dan Jepang soal pemanfaatan nuklir sebagai penghasil tenaga listrik." Sugiharto Purnama, Bandung.

"Subsidi bukan sama rasa, sama rata. Yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih seharusnya tidak menikmati subsidi. Pelanggan rumah tangga dengan daya 450 watt, dan 900 watt bahkan lebih hemat pemakaian listriknya. Hasil penghematan subsidi listrik dimanfaatkan pada bidang lain seperti meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, pelatihan kewirausahaan atau pembangkit listrik didaerah terpencil." Wahjoe, Nganjuk.

"Harapan pemerintah memang penting (apalagi kalau langsung terealisasi), tapi lebih penting lagi harapan rakyat (sejahtera, sentosa dan lain-lain walaupun masih jauh)." Erwandi Lubis, pematangsiantar, Sumatera Utara.

"Sudah seharusnya subsidi itu jadi tanggung jawab pemerintah untuk membuat rakyat sejahtera, tujuan hidup bernegara adalah hidup sejahtera, dengan tarif listrik yang naik bisa menjamin kesejahteraan rakyat? Menurut saya ini semua hanya demi kepentingan pemerintah semata, bukan atas kepentingan rakyat. Sekali lagi saya menegaskan sangat tidak setuju dengan kebijakan ini." Permana, Tangerang.

"Kenaikan tarif dasar listrik tentu akan berpengaruh terhadap kenaikan harga-harga. Hal ini yang akan memberatkan masyarakat semua kalangan, terutama sekali rakyat kecil. Harga sembilan bahan pokok akan naik dan tentu diikuti bahan-bahan sekunder. Apalagi nantinya (dunia pendidikan) menerapkan kurikulum 2013 yang berbasis IT, yang memerlukan listrik tidak sedikit dan juga kalau tidak diimbangi dengan layanan prima maka daya listrik akan drop/ mati, ini akan mengganggu proses KBM." Lastri Utomo, Yogyakarta.
"Ironis, rakyat makin susah, TDL tak perlu naik jika pemerintah, DPR dan lembaga lain lebih hemat anggaran, triliunan rupiah diboroskan jalan-jalan ke luar negeri yang tidak urgent untuk kepentingan rakyat. PLN lakukan efisiensi, pakai panas bumi/LNG/panas matahari untuk energi pembangkit listrik PLN, jangan "instan" tergantung BBM. Kado tahun baru SBY yang 'menyengsarakan rakyat". AG Paulus, Purwokerto.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku masih mengkaji dampak kenaikan tersebut terhadap tren inflasi di Indonesia. Padahal, pemerintah telah menetapkan tanggal 1 Mei 2014, Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk industri akan naik.

"Kita harus lihat porsinya sebagai cost di dalam usaha terhadap TDL itu kan tidak besar, karena yang besar itu di manufaktur itu masih ke biaya upah gaji dan bahan baku penolong. Setidaknya terdapat dua dampak yang akan terjadi setelah TDL tersebut dinaikkan. Dampak tidak langsungnya terhadap rumah tangga kalangan menengah ke atas, sedangkan dampak yang langsung terhadap pelaku usaha. Dampak secara total tergantung komoditinya, ada komoditi yang masih memproses produksi dengan tidak menggunakan listrik. Barang-barang pertanian dan perkebunan tapi bagaimana pemerintah dan pelaku usaha bisnis itu punya hitung-hitungan terhadap kenaikan TDL itu," terang Kepala BPS, Suryamin di Gedung BPS, Jakarta, Jumat (2/5/2014).

Mirissssss …… aparat pemerintah tak bisa kerja berdasarkan kemampuan dan kebutuhan rakyat. Ntah untuk siapa pemerintah ini dipilih dan ditetapkan rakyat ……. Ntahlahhhh



SUMBER :



No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.