Meski Indonesia bukan negara sejahtera (welfare
state), jenis dan kuantitas subsidi yang dialokasikan pemerintah bagi
masyarakat tak bisa dibilang kecil. Nilai subsidi 2012 mencapai Rp 346,4
triliun atau 34,33 persen dari belanja pemerintah pusat. Tak kurang dari 61,17
persen dari total subsidi dialokasikan untuk BBM (Rp 211,9 triliun) dan 27,30
persen untuk listrik (Rp 94,6 triliun). Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit
program, dan lain-lain hanya Rp 39,9 triliun atau 11,53 persen dari total
subsidi.
Idealnya, Subsidi disalurkan langsung dan hanya
diberikan kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Sebagaimana
diketahui (dari BPS), Tingkat kemiskinan per September 2012 mencapai 11,66
persen atau sekitar 28,6 juta orang dengan tingkat garis kemiskinan Rp
280.000/orang/bulan, dengan total subsidi Rp 346,4 triliun. Padahal, jika
dilakukan penyaluran subsidi langsung kepada 28,6 juta rakyat miskin,
masing-masing sebesar Rp 400.000/orang/bulan, total biaya subsidi yang
diperlukan hanya Rp 137,28 triliun per tahun. Cara ini hanya sekitar 39,63
persen dari total subsidi BBM tahun 2012!! Lalu, mengapa jumlah orang miskin
masih 28,4 juta, sementara total subsidi tahun 2013 meningkat jadi Rp 358,2
triliun di APBN Perubahan?
Ketika subsidi dikenakan pada harga barang, dan
barang bisa diakses bebas, maka semakin tinggi seseorang mengonsumsi barang
itu, semakin tinggi subsidi yang dinikmatinya. Penggunaan BBM bersubsidi
bersifat konsumsi yang terkompensasi (compensated consumption). Berapa pun
konsumsi BBM bersubsidi, tak peduli oleh siapa dan untuk keperluan apa,
pemerintah pasti menyubsidinya. Semakin banyak mengonsumsi BBM bersubsidi,
semakin besar subsidi yang Anda nikmati. Dengan demikian, apakah rasional bagi
seseorang untuk menurunkan konsumsi BBM bersubsidi? Data Kementerian ESDM
menunjukkan, proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53
persen) dibandingkan pemilik motor (47 persen); 2) masyarakat di Jawa dan Bali
(59 persen); dan 3) angkutan darat (89 persen). Tercatat 25 persen rumah tangga
berpenghasilan tertinggi menikmati 77 persen subsidi BBM dibandingkan 25 persen
rumah tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15 persen subsidi BBM
(Kementerian Keuangan, 2012).
Permasalahan kian kompleks ketika alokasi subsidi
BBM selalu membengkak setiap tahun. Beberapa faktor yang meningkatkan subsidi
BBM: 1) peningkatan aktivitas ekonomi akibat pertumbuhan ekonomi; 2) kenaikan
harga minyak dunia; 3) penguatan nilai tukar mata uang asing; 4) pengalihan
konsumsi dari Pertamax ke Premium; 5) peningkatan aktivitas pasar gelap untuk
keperluan industri; dan 6) penyelundupan BBM bersubsidi ke negara lain/pihak
asing. Dari keenam faktor, lima faktor terakhir adalah faktor eksogen yang tak
dapat dipengaruhi pemerintah sama sekali. Konsekuensinya, perekonomian
Indonesia semakin rentan, sulit dikendalikan pemerintah, tetapi semakin
dikendalikan oleh pasar internasional, pola konsumsi BBM bersubsidi, perilaku
pelaku di pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi. Peningkatan beban subsidi
BBM terhadap keuangan negara setiap tahun dapat digambarkan sebagai ”bom waktu
yang terus tumbuh dan siap meledak kapan saja”.
Harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mahal!
Kalimat itu bukan tanpa dasar. Belum lama ini, tepatnya pada Sabtu (22/6),
Bloomberg melansir harga rata-rata BBM di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Data Bloomberg menunjukkan, harga rata-rata BBM di Indonesia pada kuartal
II-2013 ternyata lebih mahal dibandingkan di Amerika Serikat (AS). Dalam
periode tersebut, harga rata-rata BBM di Indonesia berkisar Rp 9.853 per liter,
sementara di AS hanya Rp 9.055 per liter.
Berbeda dengan sebagian besar negara di dunia,
terdapat anomali penyaluran subsidi di Indonesia. Alih-alih subsidi disalurkan
ke rakyat miskin, fakta menunjukkan subsidi BBM justru dinikmati masyarakat
berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan penyelundup BBM
bersubsidi. Bahkan, koruptor pun, yang notabene berpendapatan menengah ke atas,
”disubsidi” para pembayar pajak yang budiman
Hasil estimasi peneliti P2EB FEB UGM menunjukkan,
berdasarkan putusan MA 2001-2012, biaya eksplisit korupsi Rp 168,19 triliun,
sementara nilai hukuman finansial hanya Rp 15,09 triliun (harga konstan 2012).
Dengan demikian, selisih kedua nilai ini, Rp 153,1 triliun, harus ditanggung
masyarakat. Dengan kata lain, di negeri ini koruptor disubsidi masyarakat.
Lengkap sudah penderitaan rakyat, terutama yang berpenghasilan rendah, karena
subsidi yang jadi hak mereka justru dinikmati si kaya.
Setiap upaya realokasi subsidi agar lebih tepat
tersalur kepada si miskin selalu dihalangi dengan dalih melindungi si miskin.
Setiap upaya mempertahankan subsidi BBM akan menciptakan defisit APBN dan
tekanan pada neraca pembayaran. Hal ini harus ditutup melalui pajak, utang
dalam negeri, dan utang luar negeri. Pajak tidak hanya terbatas pajak
pendapatan, tapi juga pajak pertambahan nilai yang dibayar setiap individu yang
membeli barang dan jasa yang dihasilkan sektor formal. Utang dalam dan luar
negeri sebagian besar akan ditanggung anak-cucu. Akankah kita jadi orangtua
yang justru disubsidi anak-cucu dan mewariskan semua beban kepada mereka?
Belum lama ini, tepatnya pada Sabtu (22/6/2014),
Bloomberg melansir harga rata-rata BBM di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Harga
bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mahal! Kalimat itu bukan tanpa dasar. Data
Bloomberg menunjukkan, harga rata-rata BBM di Indonesia pada kuartal II-2013
ternyata lebih mahal dibandingkan di Amerika Serikat (AS). Dalam periode
tersebut, harga rata-rata BBM di Indonesia berkisar Rp 9.853 per liter,
sementara di AS hanya Rp 9.055 per liter. Jika Anda ingin tahu lebih jelasnya,
berikut perbandingan harga-harga BBM di beberapa negara kawasan Amerika, Eropa,
Asia dan Timur Tengah, berikut ini data per Februari 2013 yang dilansir dari
Bloomberg: (keterangan 1 galon = 3,8 liter). Dengan kisaran harga tersebut,
Indonesia menduduki peringkat 49 di dunia untuk harga BBM tertinggi, terpaut
sedikit dengan AS yang ada di posisi 51.
Negara
|
Harga per liter
|
Negara
|
Harga per liter
|
|
Venezuela
|
US$ 0,06 per liter atau Rp 600
|
Arab Saudi
|
US$ 0,13 per liter atau Rp 1.284
|
|
Uni Emirat Arab
|
US$ 1,77 per galon atau Rp 4.606
|
Iran
|
US$ 2,15 per galon atau Rp 5.636
|
|
Mesir
|
US$ 0,29 per liter atau Rp 8.561
|
Brunei Darussalam
|
US$ 0,42 per liter atau Rp 4.153
|
|
India
|
US$ 5 per galon atau Rp 13.011
|
Malaysia
|
US$ 2,36 per galon atau Rp 6.141
|
|
Filipina
|
US$ 4,87 per galon atau Rp 12.673
|
Singapura
|
US$ 6,29 per galon atau Rp 16.368
|
|
Thailand
|
US$ 4,42 per galon atau Rp 11.502
|
Brazil
|
US$ 5,40 per galon atau Rp 14.052
|
|
Amerika
|
US$ 3,29 per galon atau Rp 8.561
|
Inggris
|
US$ 8,06 per galon atau Rp 20.975
|
|
Prancis
|
US$ 8,38 per galon atau Rp 21.807
|
Turki
|
US$ 9,89 per galon atau Rp 25.737
|
Selama ini, masyarakat berpandangan BBM adalah
anugerah yang berlimpah sehingga tidak ada alasan harga BBM mahal. Masyarakat pun
bertanya; kenapa pemerintah bungkam soal ongkos produksi BBM? Mahalnya sebuah
produk, termasuk BBM, berawal dari ongkos produksi. PT Pertamina (Persero)
selaku badan usaha milik negara (BUMN) yang ditunjuk pemerintah untuk
memproduksi BBM, baik yang nonsubsidi maupun bersubsidi, pun tak buka suara. Mantan
menteri Koordinator Perekonomian era Aburrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli,
pernah berkomentar, ada ‘permainan’ dalam perdagangan minyak bumi di negeri
ini. Adanya ‘mafia’ itu menyebabkan ongkos produksi ataupun ongkos pengiriman
lebih tinggi sekitar 20%. Secara logika, katanya, Indonesia sebagai pemilik
minyak mentah seharusnya menikmati harga yang lebih murah. Namun, kenyataannya
justru membeli dengan harga lebih mahal dengan alasan ongkos produksi tinggi.
“Banyak permainan dalam perdagangan minyak dan ada yang mendapatkan komisi
setiap kali impor,” katanya.
Pemerintah
berdalih, premium dan solar tak bisa susut harganya saat ini. Maklum, di pasar
internasional dua jenis BBM itu saat ini harganya mendekati Rp 5.000 per liter.
Sayang, baik pemerintah maupun PT Pertamina, hingga kini diam seribu bahasa
bila diminta menyebutkan berapa sebetulnya ongkos produksi untuk satu liter BBM
baik premium, solar, maupun minyak tanah. Logikanya, sumber daya alam yang
dikuasai negara (sesuai dengan UUD 1945) digunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Itu berarti, minyak mentah yang disedot dari perut bumi
Indonesia seharusnya bisa lebih murah daripada harga di pasar internasional.
Tapi, mengapa pemerintah tidak mau membuka “kartu” berapa sebetulnya ongkos
produksi satu barel minyak mentah? Berapa duit yang harus dikucurkan negara
untuk mengolah satu barel minyak mentah itu menjadi premium, solar, dan minyak
tanah?
SEJUMLAH anggota DPR pun berkukuh bahwa harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya premium masih mahal. Pemerintah bukannya memberi subsidi, tapi malah mengeruk untung dari penjualan premium. Karena itu, sedikitnya 20 wakil rakyat dari lintas fraksi di Senayan, pekan lalu mengajukan hak bertanya (interpelasi) soal BBM. Segelintir anggota Komisi VII DPR, seperti Alvin Lie dan Tjatur Sapto Eddy, sampai sekarang masih yakin bahwa harga premium bisa lebih murah, sedikitnya bisa turun dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 3.900 per liter. Di sisi lain, pemerintah yakin betul bahwa premium dan solar plus minyak tanah masih disubsidi. Artinya, Pemerintah tampaknya tidak akan membuka ‘rumus’ untuk menghitung berapa sebetulnya ongkos produksi satu liter BBM. Yang terekam dalam benak pemerintah adalah bagaimana agar harga BBM saat ini menguntungkan negara. Dan, ini fakta di lapangan. Baru-baru ini pemerintah mengklaim telah meraup untung Rp 3,3 triliun dari penjualan BBM bersubsidi untuk periode Desember 2008-Januari 2009.
SEJUMLAH anggota DPR pun berkukuh bahwa harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya premium masih mahal. Pemerintah bukannya memberi subsidi, tapi malah mengeruk untung dari penjualan premium. Karena itu, sedikitnya 20 wakil rakyat dari lintas fraksi di Senayan, pekan lalu mengajukan hak bertanya (interpelasi) soal BBM. Segelintir anggota Komisi VII DPR, seperti Alvin Lie dan Tjatur Sapto Eddy, sampai sekarang masih yakin bahwa harga premium bisa lebih murah, sedikitnya bisa turun dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 3.900 per liter. Di sisi lain, pemerintah yakin betul bahwa premium dan solar plus minyak tanah masih disubsidi. Artinya, Pemerintah tampaknya tidak akan membuka ‘rumus’ untuk menghitung berapa sebetulnya ongkos produksi satu liter BBM. Yang terekam dalam benak pemerintah adalah bagaimana agar harga BBM saat ini menguntungkan negara. Dan, ini fakta di lapangan. Baru-baru ini pemerintah mengklaim telah meraup untung Rp 3,3 triliun dari penjualan BBM bersubsidi untuk periode Desember 2008-Januari 2009.
Menurut beberapa sumber ilmiah, biaya produksi BBM
dapat dibagi dua. Biaya untuk sektor hulu (upstream untuk finding and lifting) dan biaya sektor
hilir (downstream untuk refining dan distributing). Menurut Oil Industry Statistics
from Gibson Consulting, biaya finding and lifting sebesar US$ 10,92 per barel
atau setara dengan Rp 755,47 per liter (asumsi US$ 1 = Rp 11.000 pada rata-rata
Desember 2008-Januari 2009 serta 1 barel = 159 liter). Biaya downstream susah
diketahui, karena berfluktuasi cukup signifikan. Begitu pula di Indonesia,
tidak ada referensi khusus untuk biaya downstream. Namun, dari data California
Energy Commision dapat dilihat statistik perubahan komponen biaya BBM dari
waktu ke waktu.
Berdasarkan rata-rata, biaya refining and distribution selama 2008 sebesar US$ 0,40 per galon atau setara dengan Rp 1.162,48 per liter (asumsi US$ 1 = Rp 11.000 dan 1 gallon = 3,785 liter). Karena itu, total biaya produksi BBM dari masih di dalam perut bumi, diperkirakan hanya Rp 2.092,31 per liter, dibulatkan menjadi Rp 2.100 per liter. Jika ditambah dengan biaya harga minyak mentah nasional (Indonesia Crude Price/ICP) periode Desember 2008 rata-rata US$ 38,45 per barel atau Rp 2.660 per liter yang dibeli pemerintah dari kontraktor migas, harga jual BBM bersubsidi jenis premium seharusnya Rp 2.100 + Rp 2.660 = Rp 4.760 per liter. Kenyataannya, pada 1 Desember 2008 harga BBM jenis premium dipatok Rp 5.500 per liter walaupun kemudian pada 15 Desember 2008 diturunkan menjadi Rp 5.000 per liter.
Berdasarkan rata-rata, biaya refining and distribution selama 2008 sebesar US$ 0,40 per galon atau setara dengan Rp 1.162,48 per liter (asumsi US$ 1 = Rp 11.000 dan 1 gallon = 3,785 liter). Karena itu, total biaya produksi BBM dari masih di dalam perut bumi, diperkirakan hanya Rp 2.092,31 per liter, dibulatkan menjadi Rp 2.100 per liter. Jika ditambah dengan biaya harga minyak mentah nasional (Indonesia Crude Price/ICP) periode Desember 2008 rata-rata US$ 38,45 per barel atau Rp 2.660 per liter yang dibeli pemerintah dari kontraktor migas, harga jual BBM bersubsidi jenis premium seharusnya Rp 2.100 + Rp 2.660 = Rp 4.760 per liter. Kenyataannya, pada 1 Desember 2008 harga BBM jenis premium dipatok Rp 5.500 per liter walaupun kemudian pada 15 Desember 2008 diturunkan menjadi Rp 5.000 per liter.
Di sisi lain, perlu diperhatikan bahwa pengadaan
BBM tidak selalu dari domestik tapi juga berasal dari impor. Pertanyaannya,
berapa harga BBM impor? Harga minyak mentah per barel saat itu sekitar US$ 40
atau setara Rp 2.767,3 per liter (kurs Rp 11.000). Jika ditambah komponen
refining and distribution sebesar Rp 1.162,48 per liter, harga BBM premium
impor sebesar Rp 3.929,79 per liter (dibulatkan Rp 4.000 per liter). Harga BBM
premium impor jauh lebih murah, berarti keuntungan yang diperoleh pemerintah
pun semakin besar. Padahal, sesuai konstitusi, kekayaan di dalam perut bumi
(termasuk minyak bumi) adalah milik rakyat. Jadi, kalau sebuah negara bisa
memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, seharusnya rakyat bisa membayar murah
harga BBM bersubidi.
Sementara itu, konsumsi BBM jenis premium pada 2008
diperkirakan sebanyak 40 juta kiloliter (kl). Bila dibagi 12 bulan, rata-rata
konsumsi premium per bulan pada tahun lalu sebanyak 3,33 juta kl di. Dari
jumlah itu, sebanyak 30% di antaranya berasal dari BBM impor. Berapa total
keuntungan pemerintah? Kalikan saja selisih harga jual BBM premium impor dan
domestik dengan konsumsi BBM premium untuk periode itu. Jika dirinci satu per
satu untuk bulan berjalan, rumusan yang digunakan tetap sama. Yang membedakan
hanya komponen ICP, harga minyak mentah dunia, dan kurs mata uang rupiah terhadap
dolar AS. Karena itu, tidaklah heran jika para periode Desember 2008-Januari
2009 pemerintah untung Rp 3,3 triliun dari penjualan BBM bersubsidi.
Perhitungan subsidi BBM, ala Kwik Kian Gie, mantan
menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas di era Megawati
Soekarnoputri dapat disimak berikut ini. BBM di Indonesia bersumber dari: (i)
hasil pengolahan kilang dalam negeri,
(ii) diimpor langsung dalam bentuk BBM, dan (iii) stok BBM di dalam
negeri. Untuk menghasilkan BBM, kilang-kilang minyak di Indonesia
menggunakan input: (i) minyak mentah
yang diimpor dari luar negeri, dan (ii) minyak mentah produksi dalam negeri.
Elemen biaya
penyediaan BBM di dalam negeri
–dengan memperhatikan mekanisme
penyediaan tersebut- adalah meliputi: (i) biaya impor minyak mentah (crude
oil) (ii) biaya pembelian minyak mentah
produksi dalam negeri. Minyak mentah impor
dibeli dengan harga pasar (market
price). Sebaliknya, minyak mentah
produksi dalam negeri dibeli dengan harga yang berada di bawah
harga pasar internasional.
Selain itu, dalam skema Production Sharing Coract (PSC) Indonesia, ada kewajiban kepada pemegang kontrak untuk menjual sebagian produksinya ke dalam negeri dengan harga khusus yang lebih rendah dibandingkan harga pasar, khususnya bila produksi telah dilakukan lama (pasal mengenai DMO/domestic market obligation). (iii) biaya impor BBM (iv) biaya pengilangan (refining) (v) biaya distribusi (vi) biaya tak langsung. Oleh karena itu, kenaikan Harga minyak dunia yang membumbung tinggi seperti belakangan ini akan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM. Karena harga jual BBM di pasar domestik harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, maka sebagai akibatnya “subsidi BBM” akan meningkat.
Selain itu, dalam skema Production Sharing Coract (PSC) Indonesia, ada kewajiban kepada pemegang kontrak untuk menjual sebagian produksinya ke dalam negeri dengan harga khusus yang lebih rendah dibandingkan harga pasar, khususnya bila produksi telah dilakukan lama (pasal mengenai DMO/domestic market obligation). (iii) biaya impor BBM (iv) biaya pengilangan (refining) (v) biaya distribusi (vi) biaya tak langsung. Oleh karena itu, kenaikan Harga minyak dunia yang membumbung tinggi seperti belakangan ini akan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM. Karena harga jual BBM di pasar domestik harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, maka sebagai akibatnya “subsidi BBM” akan meningkat.
Dalam angka-angka APBN, terdapat butir mengenai
“subsidi BBM” dan “pendapatan minyak” (bagian dari pendapatan migas). Dalam
naskah APBN versi yang lalu (menggunakan taccount) APBN, subsidi BBM terletak
pada sisi kanan t-account, dalam kelompok pengeluaran mengenai subsidi. Pada sisi kiri t-account yang sama, terdapat
butir mengenai pendapatan minyak.
Penting diperhatikan bahwa dalam terminologi
mengenai subsidi BBM yang dikembangkan
pemerintah, tidak terdapat kaitan langsung antara
butir subsidi BBM dengan pendapatan minyak, yang angka-angkanya ditampakkan
dalam naskah APBN tersebut. Dengan memperhatikan definisi “subsidi BBM” sesuai uraian APBN, perhitungan subsidi
BBM secara sederhana dapat dilakukan dengan memanfaatkan model spreadsheet yang
akan menghitung:
(a)
Penjualan produk-produk BBM = Σ VolumeBBM(i) * HargaBBM(i)
(b) Biaya
menghasilkan BBM = Σ Biaya (impor crude, pembelian minyak mentah DN, impor BBM,
pengilangan, distribusi, tak langsung)
(c) Subsidi
BBM = (a) – (b)
Subsidi BBM adalah aliran dana dari Pemerintah ke
PERTAMINA. Pendapatan minyak, di
sisi lain, adalah aliran dana dari penjualan minyak mentah (crude oil)
milik Pemerintah, yang
diterimakan ke rekening Departemen Keuangan. Kedua hal tersebut, adalah dua jenis bisnis
yang terpisah, meskipun sebagian besar kegiatannya,
yaitu penjualan minyak mentah dan
penyediaan BBM
dilakukan oleh PERTAMINA (sebelum berlakunya UU Minyak dan Gas Bumi
22/2001). Kritik terhadap definisi mengenai
“subsidi BBM” yang umumnya diajukan oleh masyarakat (termasuk Kwik Kian Gie
yang menyusun model bagi perhitungan “subsidi BBM”) adalah “dimana
letaknya pendapatan minyak dalam
akuntansi subsidi BBM yang dilakukan pemerintah?”
Di sisi lain, masyarakat pun masih memiliki kesan
bahwa Indonesia adalah negara pengekspor minyak bumi, sehingga seharusnya
kenaikan harga minyak dunia memberikan “windfall profit” bagi Indonesia, dan bukannya
beban subsidi BBM yang begitu “mengerikan”. Mengapa untuk jenis industri yang
“merupakan kekayaan negara” dan harus
digunakan bagi ”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” tersebut, rakyat harus
membayar lebih mahal? Pertanyaan masyarakat tersebut adalah kritik yang perlu
dijelaskan dengan baik sebelum pemerintah secara agresif menjalankan program
menaikkan harga BBM. Pertanyaan masyarakat
tersebut sekaligus dapat dijadikan pertanyaan oleh pemerintah sendiri untuk
mengevaluasi apakah definisi mengenai “subsidi BBM” yang selama ini
diterapkannya merupakan definisi yang
dapat diterima secara scientific dan bagi masyarakat umum, dan elemen-elemen
subsidi BBM itu memang telah diperiksa dengan teliti.
Mengapa tidak memasukkan pendapatan minyak sebagai
bagian (sisi input) dari mekanisme perhitungan subsidi BBM tersebut? Melalui Perjanjian Bagi Hasil (Production Sharing
Contracts), secara sederhana dapat dikatakan, bahwa pendapatan dari penjualan
minyak mentah, setelah dikurangi biaya-biaya, akan dibagi dengan proporsi 85:15
untuk Pemerintah dan Perusahaan PSC yang memproduksi minyak mentah tersebut.
Pemerintah menjual minyak mentah miliknya tersebut dan itu yang kemudian
menjadi pendapatan minyak pemerintah. Tugas memanajemeni PSC, sebelum UU
Minyak dan Gas Bumi 22/2001 diterapkan, dilakukan oleh PERTAMINA. Dengan memasukkan pendapatan minyak ke dalam
perhitungan, maka, seperti ditunjukkan secara sederhana oleh Kwik Kian Gie,
industri minyak bumi Indonesia masih selalu menghasilkan surplus.
Dalam teori ekonomi sumberdaya alam, memasukkan
pendapatan minyak ke dalam model
perhitungan “subsidi BBM” adalah hal yang logis dan fair, karena “produksi dari alam”
merupakan bagian dari keseluruhan proses
produksi. Industri sumberdaya alam
seperti minyak bumi, karena sifatnya yang “dari alam menghasilkan produk yang
berharga” tidak tepat bila diperlakukan
sama dengan industri pemrosesan atau manufaktur. Namun demikian, ada
pertimbangan lain karena minyak mentah merupakan komoditi yang dapat
diperdagangkan secara internasional (internationally tradable). Menghitung
harga minyak mentah di dalam negeri hanya dari biaya produksinya saja juga
tidak tepat, karena selain nilai dari minyak bumi itu sendiri tidak dihargai,
hal ini juga berarti suatu “kehilangan kesempatan” (opportunity losses) bila
harga minyak bumi di pasar internasional meningkat tinggi. Lebih jauh, minyak mentah adalah sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewables), sehingga menggunakannnya
secara “murah” juga bukan merupakan tindakan yang bijaksana.
Di dalam APBN, membiarkan penerimaan minyak tetap
seperti semula (pos penerimaan
sumberdaya alam migas dan pos penerimaan pajak
migas) akan membuat “penyaluran/pemanfaatan” dari penerimaan itu untuk
membiayai program-program pembangunan yang lain menjadi lebih leluasa, dan tak
dibatasi hanya untuk memenuhi pos “subsidi BBM” saja. Dalam situasi dimana
pendapatan migas masih menjadi andalan penerimaan negara, mempertahankan pos
penerimaan migas di satu lajur dan “subsidi BBM” di lajur yang lain adalah lebih tepat. Memberlakukan harga BBM pada tingkat yang
rasional, harus jelas opportunitas yang dapat dihasilkannya. Termasuk, kaitan
aplikasi subsidi BBM dengan pengembangan strategi kebijakan energi nasional
jangka panjang.
Jika menilik pernyataan Bloomberg di atas yang
menyebutkan bahwa harga BBM di Indonesia lebih mahal dibanding di AS mungkin
ada benarnya. Ini kaitannya soal biaya produksi minyak menjadi BBM, terutama di
dalam negeri. Banyak pihak mengklaim bahwa mahalnya biaya eksploitasi minyak
bumi di Indonesia mahal karena tidak efisiennya. Belum lagi soal biaya
pengolahan di hilir (kilang).
Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan dalam sejumlah kesempatan pernah berkomentar, kilang yang dimiliki Pertamina merupakan kilang-kilang tua (dibuat dalam kurun 1968-1972) dengan teknologi yang rendah. Sehingga, tidak semua minyak mentah nasional terutama yang banyak mengandung sulfur dapat diolah oleh kilang milik Pertamina. Menurut Karen, hingga kini Pertamina hanya memiliki kilang sebanyak delapan buah. Pada 22 Mei 2013, saat rapat dengar pendapat (RDP) Pertamina dengan Komisi VII DPR, Karen mengatakan, hampir dua dekade Indonesia tidak pernah membangun kilang minyak baru, padahal kebutuhan BBM terus meningkat. Kilang terakhir yang dibangun adalah Kilang Balongan pada 1994. Kilang minyak yang dibangun pada zaman Presiden Soeharto awalnya hanya untuk memasok BBM ke PT PLN (Persero). “Kondisi zaman Soeharto dulu, kilang hanya untuk memasok BBM ke PLN dan bukan untuk produksi premium. Saat ini, kebutuhan premium jauh lebih banyak, sementara produksi kilang Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia setiap harinya.,” ujarnya.
Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan dalam sejumlah kesempatan pernah berkomentar, kilang yang dimiliki Pertamina merupakan kilang-kilang tua (dibuat dalam kurun 1968-1972) dengan teknologi yang rendah. Sehingga, tidak semua minyak mentah nasional terutama yang banyak mengandung sulfur dapat diolah oleh kilang milik Pertamina. Menurut Karen, hingga kini Pertamina hanya memiliki kilang sebanyak delapan buah. Pada 22 Mei 2013, saat rapat dengar pendapat (RDP) Pertamina dengan Komisi VII DPR, Karen mengatakan, hampir dua dekade Indonesia tidak pernah membangun kilang minyak baru, padahal kebutuhan BBM terus meningkat. Kilang terakhir yang dibangun adalah Kilang Balongan pada 1994. Kilang minyak yang dibangun pada zaman Presiden Soeharto awalnya hanya untuk memasok BBM ke PT PLN (Persero). “Kondisi zaman Soeharto dulu, kilang hanya untuk memasok BBM ke PLN dan bukan untuk produksi premium. Saat ini, kebutuhan premium jauh lebih banyak, sementara produksi kilang Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia setiap harinya.,” ujarnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah adil jika
karena kesalahan inefisiensi soal pengolahan lalu dibebankan kepada masyarakat?
Adil jugakah jika dana subsidi BBM di APBN dipotong, sementara pemerintah masih
igerogoti koruptor dan pejabat yang tidak kompeten? Sejatinya, jika bicara soal
subsidi pemerintah tidak lagi berkata soal untung rugi, terutama bagi
rakyatnya. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan subsidi bagi
rakyatnya. Sudah saatnya pula pemerintah berpikir ke depan untuk mencari solusi
bagaimana seharusnya membuat produksi dan pengolahan BBM di dalam negeri
menjadi efisien. Cara yang paling sederhana adalah merampingkan pejabat di
PERTAMINA dan lembaga terkait (bila tidak mau merumahkan mereka) dengan
mengimpor BBM dari Negara tetangga yang harganya lebih murah seperti :
Venezuela, Arab Saudi dan Brunai Darussalam. Dengan asumsi biaya import dan
transportasi Rp. 1.000 per liternya, harga jual bahkan masih lebih murah dengan
harga Premium saat ini. Bahkan kalau harus menaikkan harga minyak banyak lagi Negara
lain produsen minyak yang mampu meberikan harga jual yang lebih murah. Selain
itu, pengurangan pegawai PERTAMINA dan instansi terkait yang selama ini
terkenal bergaji ‘SUPER MEWAH’ itu bisa menghemat Belanja Negara dan mengurangi
potensi Korupsi. Berani membela rakyat? Berani menjalankan amanah UUD 45? Semoga
…..
SUMBER :
http://bisnis.liputan6.com/read/615191/daftar-harga-bensin-di-16-negara-siapa-yang-termurah-termahal
KABAR BAIK!!!
ReplyDeleteNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.