Peran
pemerintah perlu sebab sosialisasi yang dilakukan Ikapi sangat terbatas. Untuk
itu, kami mengharapkan ada tindakan konsisten dari pemerintah. Pelaksanaan UU
Hak Cipta belum memberi perhatian khusus kepada industri penerbitan. Padahal,
buku merupakan karya intelektual yang mencerminkan kemajuan suatu bangsa. Kini,
buku ilmiah terjemahan lebih mendominasi dibandingkan buku karya penulis
Indonesia. Persentasenya mencapai 60 persen berbanding 40 persen.
Pemerintah
diharapkan menggiatkan sosialisasi perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang disahkan melalui Sidang Paripurna DPR, pekan
lalu. Sosialisasi diperlukan agar pelaksanaan UU itu maksimal serta menyadarkan
masyarakat tentang dampak pelanggarannya.
Ketua
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta Evi Afrizal Sinaro mengatakan,
sosialisasi merupakan hal terpenting sehingga hasil revisi UU itu dirasakan
dampaknya, terutama oleh pelaku industri kreatif. Pemerintah, lanjut dia, dapat
menyosialisasikannya dengan berbagai cara, di antaranya melalui media massa,
seminar, dan diskusi publik di instansi pendidikan sebagai lokasi utama
terjadinya pelanggaran hak cipta di sektor industri penerbitan.
“Semoga
UU Hak Cipta baru mampu mengubah itu,” tutur Evi, di Jakarta.
Kehadiran
revisi UU Hak Cipta itu diharapkan mampu menggiatkan kembali penulis untuk
berkarya. Beberapa tahun terakhir, penerbit kekurangan naskah dari penulis
lokal sehingga buku-buku yang diterbitkan sebagian besar buku terjemahan. Evi
mengharapkan pemerintah memberikan pengetahuan kepada aparat penegak hukum
terkait pelanggaran UU itu. Evi menambahkan, pengajuan pelanggaran penulis dan
penerbit sering kali terbentur dengan pengetahuan aparat tentang jenis-jenis
pelanggaran itu.
Guru
Besar Teknologi Pendidikan Universitas Terbuka Atwi Suparwan mengungkapkan,
buku digital dapat menjadi alternatif pembelajaran setelah adanya peraturan
ketat terhadap penggandaan buku. Akan tetapi, lanjutnya, pemerintah harus
berkoordinasi dengan penerbit buku untuk memberikan batasan terhadap buku-buku
yang dapat diakses atau diunduh secara gratis dan yang berbayar.
Terdapat
dua model buku digital, yaitu buku yang dapat diakses secara terbuka dan buku
yang terproteksi. Oleh karena itu, pemerintah harus menyosialisasikan kepada
masyarakat. Kalau tidak, akses buku digital secara ilegal akan semakin marak,”
papar Atwi.
Denda
ratusan juta
Penegakan
UU tersebut, kata Atwi, mesti secara perlahan. Berbagai jenis pelanggaran perlu
disosialisasikan oleh pemerintah di lokasi-lokasi yang rawan pelanggaran hak
cipta, seperti di universitas dan sekolah.
”Jangan
langsung menindak atau memberi hukuman kepada masyarakat. Sebab, mereka sudah
terbiasa dengan menyalin secara ilegal. Ini menyangkut perubahan budaya
sehingga perlu perlahan dan bertahap,” tutur Atwi.
Dalam
Pasal 113 revisi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta itu tercantum ketentuan
pidana atas pelanggaran hak ekonomi terkait penciptaan, penggandaan, dan
penerjemahan buku. Pelanggar UU tersebut terancam hukuman penjara maksimal 3
tahun, serta denda mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 500 juta.
Baca
juga :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Sumber
:
Kompas.com
www.hukumonline.com
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.