Teori Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan manusia adalah suatu keadaan dari sebagian pemuasan dasar yang dirasakan atau disadari. Orang memerlukan makanan dan minuman, pakaian, rumah tinggal, pendidikan dan ketahlian (lmu pengetahuan), keamanan, lingkungan, pengakuan, harga diri, pengembangan bakat dan peningkatan ketrampilan serta banyak lagi keperluan lain untuk tetap hidup.
Kebutuhan ini tidak diciptakan oleh masyarakat lingkungan mereka atau oleh para pakar dan praktisi pemasaran. Kebutuhan-kebutuhan tersebut telah ada dalam setiap jaringan jasad hidup manusia dan kondisi manusia. Keinginan manusia adalah hasrat untuk memperoleh pemuas-pemuas tertentu untuk kebutuhan yang lebih mendalam.
Meskipun kebutuhan manusia jumlahnya relatif sedikit, tetapi keinginan mereka banyak. Keinginan manusia terus menerus dibentuk dan terbentuk kembali oleh berbagai kekuatan sosial dan lembaga komersil, seperti : sekolah, keluarga, perusahaan dan lingkungan. Keinginan terhadap produk-produk tertentu yang didukung oleh suatu kemampuan dan kemauan untuk membeli produk, itulah yang menjadi permintaan.
Berbagai perbedaan tajam tersebut menjelaskan tuduhan yang sering kali dilontarkan dalam kritik-kritik seminar pemasaran. “Para pemasar telah menciptakan kebutuhan” atau “para pemasar menyebabkan orang membeli sesuatu yang tidak mereka inginkan”.
Phillip Kotler menjelaskan bahwa pemasar tidak menciptakan kebutuhan, karena kebutuhan mendahului adanya pemasar. Pemasar mencoba menunjukkan bagaimana sebuah produk tertentu dapat memuaskan kebutuhan. Pemasar mencoba mempengaruhi permintaan dengan membuat produk yang menarik, harganya terjangkau dan mudah diperoleh.
Kalau begitu, apa yang mendorong fenomena 'kebutuhan' yang menyimpang itu?
Secara individu maupun secara bersama-sama, manusia selalu menghadapi banyak masalah sosial dan ekonomi, karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia. Kebutuhan yang satu sudah terpenuhi, timbul kebutuhan lain, ........
kebutuhan sangat tidak terbatas....
Manusia tidak pernah berhenti untuk puas. Alat pemuas tersebut sebenarnya adalah PRODUK yaitu barang dan ataupun jasa. Maka seyogianya, yang kita butuhkan adalah ’produk’. Produklah yang kita inginkan dan kemampuan kita diukur dengan produk. Sekali lagi kata yang seharusnya kita tekankan disini adalah ”PRODUK” dan bukan uang.
Betul bahwa ”uang” yang selalu diperebutkan banyak orang, juga salah satu produk, ......,tentu diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan, menwujudkan keinginan dan menunjukkan kemampuan hidupnya, .....tetapi uang bukanlah kata kunci kebutuhan manusia.
Mengapa?
Uang tidak bisa dimakan sebagai pengganti nasi pada saat lapar. Uang tidak bisa dipakai sebagai pengganti baju pada saat dingin. Bahkan Uang tidak bisa menyembuhkan penyakit sebagai pengganti obat, dan seterusnya.
Kenyataannya.....
Bangsa dan Negara ini dibangun dengan produk, bukan dibangun dengan uang.
Masyarakat sejahtera kalau ada beras untuk dimasak menjadi nasi, kalau tersedia kapas untuk diolah menjadi baju, kalau tersedia batu untuk landasan membangun rumah, kalau tersedia guru untuk mengajari orang mendapatkan ilmu, tersedia buruh di pabrik obat, tersedia BBM untuk kenderaan bermotor dan seterusnya. Suatu Negara bisa maju karena produknya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dimana masyarakat tidak bisa hidup hanya dengan uang. Uang tidak tumbuh walaupun ditanam ditanah yang subur."Iklan yang menunjukkan uang ditanam,.... bertumbuh dari batang, daun sampai buahnya juga uang, SANGAT MENYESATKAN! "Biarkan uang bekerja untuk anda?" Ini tidak etis, walaupun iklan itu dari jasa perbankan. Kalau uang bisa diolah menjadi permen, atau diolah menjadi sepeda, atau diolah menjadi pelatih komputer, mengapa Bank Indonesia tidak mencetak uang sebanyak kebutuhan masyarakat?"
Sekali lagi......
Bangsa dan Negara ini tidak bisa dibangun dengan uang, melainkan dibangun dengan produk. Uang memiliki nominal yang stabil, tetapi nilainya sangat labil. Nominal uang semakin besar, tetapi nilainya semakin kecil sejalan dengan bertambahnya waktu.
Dulu ada uang Indonesia namanya : ’sen’ yang lebih rendah dari ’rupiah’ sekarang. Nominal rupiah dulu masih ada Rp. 1, sekarang nominal Rp. 50,- memang masih ditemukan pada kembalian belanja di mall besar milik ’koncoberat’, tetapi tukaran sebesar itu hampir membuat kesal konsumen.
Mengapa?
Kalaupun bisa mengumpulkan sekantong penuh koin tukaran Rp. 50, -, konsumen akan sungkan membawanya belanja, bahkan mungkin tidak diterima kasir. Alasannya, menghitungnya repot! Menghitung uang 50-an rupiah aja, koq repot? Bagaiman kalau 5 tiliunan rupiah? Kalau sudah begitu, konsumennya mending menjualnya ke ’pejuang kebersihan’, tukang beling atau tukang sampah. Pada saat itu juga, ’uang’ bukan lagi sebagai ’uang’, tetapi menjadi sebagai ’produk’, karena dalam jual beli itu uang menjadi suatu barang yang diperjualbelikan. Bukankah itu berarti bahwa produk bisa jadi solusi praktis terhadap masalah uang?
Sering juga terjadi pengikisan nilai uang atau daya beli uang oleh inflasi. Barangkali, ibu-ibu rumahtangga masih ingat berapa kg produk beras yang dia bawa dari pasar dengan uang Rp. 1.000,- pada saat pemerintahan ’Bapak Pembangunan’ Suharto. Jumlah produk yang sama hanya bisa diperoleh dengan uang senominal Rp. 3.000,- pada saat pemerintahan Reformasi. Dan...pada masa reformasi kabinet bersatu sekarang ini mengharuskan nominal yang lebih besar, Rp. 5.000,- untuk sejumlah produk yang sama.
Dapat disimpulkan bahwa: 'Nilai uang semakin jauh dari nilai produk"
Produk lebih kokoh dengan perubahan, sedangkan uang terbirit-birit tidak karuan. Tidak ada pilihan, nominal uang semakin besar, tetapi produk yang dibutuhkan tidak bertambah jumlahnya.
Bahkan....pada masa NAZI Jerman, uang tidak berperikemanusiaan. Pada saat itu, sekarung uang tidak dapat menghentikan pertempuran sengit di sepanjang jalanan, hanya karena memperebutkan sebuah permen! (inflasi melebihi tingkat 5 miliar persen) Sehingga saat itu dipermaklumkan saja ketidakbutuhan Manusia pada uang, melainkan pertaruhan nyawa untuk sebuah permen. Bandingkan dengan sekarang, pada saat mana, permen tidak lagi menyenangkan bagi anak-anak untuk diperebutkan.
Betul bahwa ada produk yang membuat konsumennya sakit, celaka, bahkan korban jiwa? Sebut saja kasus keracunan, kompor gas meledak dan terbakar dan sebagainya. Tetapi, produk tidak pernah memiliki pemikiran jahat! Sebaliknya, produk seyogianya mendorong ke arah yang lebih baik dan dinamis atau bergerak terus kearah yang lebih naik lagi.
Kalau produk membuat konsumen celaka, itu karena produsennya memasukkan bahan beracun ke dalam produk, atau menggunakan metode yang salah atau bahan baku yang tidak memenuhi standar, atau menggunakan bahan-bahan yang dilarang atau berbahaya.
Baca : The AURA's Man (III)
Baca : The AURA's Man (III)
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.