Subsidi (juga disebut subvensi) adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi. Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk mencegah kejatuhan industri tersebut (misalnya karena operasi merugikan yang terus dijalankan) atau peningkatan harga produknya atau hanya untuk mendorongnya mempekerjakan lebih banyak buruh (seperti dalam subsidi upah). Contohnya adalah subsidi untuk mendorong penjualan ekspor; subsidi di beberapa bahan pangan untuk mempertahankan biaya hidup, khususnya di wilayah perkotaan; dan subsidi untuk mendorong perluasan produksi pertanian dan mencapai swasembada produksi pangan.
Subsidi dapat dianggap sebagai suatu bentuk proteksionisme atau penghalang perdagangan dengan memproduksi barang dan jasa domestik yang kompetitif terhadap barang dan jasa impor. Subsidi dapat mengganggu pasar dan memakan biaya ekonomi yang besar. Bantuan keuangan dalam bentuk subsidi bisa datang dari suatu pemerintahan, namun istilah subsidi juga bisa mengarah pada bantuan yang diberikan oleh pihak lain, seperti perorangan atau lembaga non-pemerintah. Jadi Pemberi Subsidi itu yang menanggung Bantuan Keuangan/Menanggung Beban Kerugian. Misalkan Harga Pokok Beli/Produksi BBM Rp.10.000,- Harga Jual Rp.4.500,- berarti ada Subsidi sebesar Rp.5.500 kepada Pembeli atau dgn kata lain memberi bantuan keuangan kepada Pembeli sebesar Rp.5.500,-. Dalam prinsip ekonomi, Subsidi ini biasanya dilakukan untuk menjaga kestabilan ekonomi krn daya beli masyarakat/pembeli tidak ada/menurun).
Banyak juga yang membuat teori tentang perhitungan subsidi BBM, misalnya Kwik Kian Gie dan Agus Nizami. Menurut hitung-hitungan Kwik Kian Gie (berdasarkan laporan Menteri Keuangan), produksi yang haknya bangsa Indonesia adalah 237,5 juta barrel per tahun.
Harga minyak mentah US$ 100 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Dengan asumsi US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.
Kalau biaya untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium dibutuhkan sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter maka, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dengan dijualnya premium dengan harga Rp. 4.500,- itu berarti produsen akan rugi Rp. 2.430 per liternya, atau sejumlah Rp. 2.430 per literlah yang dihitung sebagai subsidi BBM.
Masalahnya adalah; Pemerintah dan Pertamina tidak perlu membeli minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak perlu mengeluarkan uang tunai untuk membayar minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia.
Memang ada kemugkinan konsumsi BBM masyarakat Indonesia lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional. Selain itu, ada juga produksi yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh.
Apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak? Berikut simulasi sederhana dapat kita simak.
Uraian berikut menggunakan asumsi-asumsi :
Harga minyak mentah US $100 per barrel
Produksi : 1 juta barrel per hari
70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia
Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
1 US $ = Rp. 10.000
1 barrel = 159 liter
Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan per barrel US $ 10
Harga Minyak Mentah di pasar internasional per barrel US $ 100
Bensin Premium dengan harga jual per liter Rp. 4.500
Dengan Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel, berarti biaya ini per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630
Artinya ada kelebihan uang per liter sebesar = Rp (4.500- 630) = Rp. 3,870 atau dengan kata lain PEMERINTAH MEMPEROLEH UNTUNG
Produksi dalam liter per tahun :
70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40.624.500.000 ltr
Konsumsi dalam negeri per tahun = 60.000.000.000 ltr
Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun = 19.375.500.000 ltr
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini :
(19,375,500, 000 : 159) x US $100 x Rp 10.000 = Rp 121.900.000. 000.000,-
Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri :
40,624,500,000 x Rp. 3.870 = Rp. 157.216.815. 000.000,-
Berarti, walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar :
= Rp. 157.216.815.000.000 - 121.900.000. 000.000),-
= Rp. 35.316.815.000.000,- atau sekitar Rp. 35 triliun-an dalam setahun.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Pemerintah katanya selalu mengeluarkan untuk subsidi BBM sebesar Rp. 153 trilyun itu. Padahal berdasarkan perhitungan diatas, uang ‘subsidi’ itu seharusnya tidak ada, malah sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35 trilyunan per tahun.
Kalau pemerintah menjual BBM dengan harga di bawah Rp. 4.500 per liter, itu berarti pemerintah mungkin memberikan subsidi, tergantung berapa harganya. Minyaknya itu juga aslinya punya rakyat, selayaknya dijual seharga biaya produksi saja, Rp. 630,- per liter. Kalau begini, pemerintah tidak rugi asalkan konsumsi dalam negeri sama dengan produksi. Tapi pemerintah menjual BBM ke rakyat dengan harga sama dengan harga pasar Internasional.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia terbilang murah ketimbang di negara-negara tetangga. Kondisi harga BBM yang murah ini tidak lagi relevan jika melihat harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) yang sudah tinggi seiring dengan harga minyak mentah dunia yang juga melonjak.
"Di negara tetangga, harga BBM sebesar Rp 11.000-12.000 per liter dengan kualitas harga terendah untuk masyarakatnya. Kita masih Rp 4.500," sebut Agus dalam paparan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran, di DPR, Senin (26/3/2012).
Pada tahun 2008, harga BBM bersubsidi pernah menyentuh Rp 6.000 per liternya. Lalu harga pun diturunkan kembali ke Rp 4.500 seiring dengan turunnya harga ICP. Dengan kondisi rata-rata ICP sudah lebih dari 119 dollar AS, kita perlu menyesuaikan harga BBM karena kalau tidak alternatif energi baru dan terbarukan tidak bisa dikembangkan.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Legowo, menyebutkan, harga BBM yang berlaku di Indonesia memang lebih rendah dari negara-negara ASEAN lainnya. Per Maret 2011, harga BBM untuk jenis oktan di bawah 92 yakni sekitar Rp 6.000 di Malaysia, Rp 10.000 di Vietnam, Rp 11.000 di Thailand, Rp 12.000 di Filiphina, dan Rp 16.000 di Singapura. "(Harga BBM) sekitar Rp 9.200 di China, Rp 12.000 di India, Rp 14.200 di Australia, Rp 16.000 di Korea Selatan dan paling mahal di Jepang dengan sekitar Rp 17.000," sebut Evita.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas Armida Alisjahbana dalam konferensi pers bersama Asian Development Bank terkait perekonomian Indonesia, di Jakarta, Senin (26/3/2012) berpendapat, pembahasan RAPBN-Perubahan 2012 yang sekarang ini sedang berlangsung merupakan momen untuk melakukan reformasi kebijakan energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. "Saya ingin menggarisbawahi, menerangkan, sebetulnya sekarang itu buat kita dengan momen RAPBN 2012 itu sebetulnya inilah momen bagi Indonesia untuk secara lebih sistematis mulai melakukan transformasi itu, reformasi. Dan kebijakan subsidi momennya sekarang, menurut saya, terutama energi lebih khusus lagi BBM (bahan bakar minyak).
Komponen terbesar dalam subsidi BBM adalah yang penggunaannya untuk transportasi. Beberapa tahun lalu, pemerintah berhasil melakukan reformasi dalam hal subsidi minyak tanah, tanpa menjadi isu besar. Dengan keberhasilan tersebut, berkuranglah beban pemerintah dalam memberikan subsidi energi. Idealnya, ketika BBM diimpor lantas besaran subsidinya dikurangi maka harus ada opsi. Apalagi harga minyak dunia naik secara mendadak. Opsi itu, adalah konversi BBM ke bahan bakar gas. "Itu saya rasa kuncinya. Tanpa ada opsi itu ya pemerintah tidak dalam posisi mengatakan pokoknya harga BBM bersubsidi naik kemudian kompensasi. Bukan itu, kalau itu sangat-sangat jangka pendek. Tapi sebetulnya harus reform, yaitu konversi BBM ke BBG," sebut Armida.
Konversi dari BBM ke BBG dinilai penting karena salah satu alasannya yakni murahnya harga BBG ketimbang BBM. Harga BBG sekarang ini sebesar Rp 3.100 per liter ekuivalen. "Itu kan opsi yang menarik dan itu sudah berhasil dilakukan di negara-negara lain. Bukannya tidak berhasil. Silakan dicek, di Thailand, India. Kedua, PR kita juga adalah public transportation, terutama di kota-kota besar. Jakarta juga belum terintegrasi dengan baik sehingga kembali lagi, kalau harga BBM bersubsidi itu harus naik, opsi itu (konversi BBM ke BBG) ada," pungkas Armida.
Sementara itu, Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo mengatakan, pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar gas (BBG) setelah kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang direncanakan mulai 1 April 2012. "Harga BBG diketok naik setelah BBM," katanya di Jakarta, Senin (26/3/2012). Pemerintah berencana menaikkan harga BBG jenis terkompresi (compressed natural gas/CNG) sebesar Rp 1.000 per liter setara premium (LSP), dari Rp 3.100 menjadi Rp 4.100 per LSP. Bisnis CNG tidak akan berkembang atau menarik bagi investor kalau hanya dihargai Rp 3.100 per LSP.
“Sementara konsumen, tidak tertarik memakai CNG kalau harganya Rp 4.100 per LSP atau hanya Rp 400 lebih rendah dari harga premium subsidi yang sebesar Rp 4.500 per liter. Jadi harga premium mesti dinaikkan dulu jadi Rp 6.000 per liter, baru BBG jadi Rp 4.100 per LSP. Seiring dengan kenaikan BBG, pemerintah akan melakukan pengembangan infrastruktur gas.," katanya.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) masih mempertahankan sikapnya menolak opsi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diajukan oleh pemerintah. Gerindra mengatakan, kenaikan harga BBM subsidi tidak perlu bila pemerintah bisa berhemat di berbagai sektor. "Gerindra dan PDI Perjuangan masih menolak. Karena kalau dilakukan penghematan dan pengawasan ketat sejak dulu, maka BBM tidak perlu dinaikkan tahun ini," tutur Martin Hutabarat, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Senin (26/3). Tak hanya itu, Gerindra juga menekankan adanya penyelesaian persoalan BBM. Martin beralasan, kenaikan harga BBM bersubsidi ini tidak akan menyelesaikan persoalan mengenai antisipasi kenaikan harga minyak dunia. Pasalnya, pemerintah dapat memanfaatkan opsi lain berupa penghematan penggunaan energi dalam negeri.
Badan Anggaran DPR RI dan pemerintah akhirnya menyetujui postur APBN-Perubahan 2012. Salah satu hal dalam postur tersebut adalah persetujuan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 137,38 triliun dan subsidi listrik Rp 64,9 triliun. Akan tetapi, pemerintah dan DPR belum membuat keputusan terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik seusai menghadiri rapat kerja di Badan Anggaran DPR, Senin (26/3/2012) malam.
Jero menjelaskan, besaran subsidi BBM telah disetujui. Begitu pula juga dengan besaran subsidi listrik. Namun, kata dia, rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi belum bisa diputuskan sekarang. Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan, rapat kerja di Banggar hari ini hanya membicarakan postur APBN-P 2012. Belum ada pembicaraan mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi.
Agus menambahkan, perubahan pada Pasal VII dalam Undang-Undang APBN 2012 yang mengunci peluang pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi akan dibahas di Tim Perumus Banggar dengan Pemerintah. "Pasal VII akan dibahas di tim perumus. Tadi belum selesai dibicarakan, tapi akan kita bicarakan dalam Panja (Panitia Kerja) dan tim perumus walaupun ada fraksi yang menyatakan akan dibawa ke Rapat Paripurna. Tim Perumus dan Pemerintah akan bertemu kembali pada Kamis (29/3/2012) pagi untuk melakukan sinkronisasi hasil Panja A, B dan C. Setelah itu, hasil pembahasan APBN-P 2012 akan disetujui dalam Rapat Paripurna yang dijadwalkan berlangsung pada Jumat (30/3/2012).
Postur APBN-P 2012 yang disetujui meliputi opsi pertama yang diajukan belakangan ini dalam pembahasan di Banggar DPR. Pada opsi pertama ini, pemerintah punya peluang menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada opsi kedua, subsidi BBM dipatok sebesar Rp 178 triliun dan subsidi listrik Rp 64,9 triliun serta ditambah dana cadangan risiko fiskal Rp 23 triliun. Pemerintah tidak diberikan peluang untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada opsi kedua tersebut.
Baik Pemerintah maupun DPR sepertinya tidak membahas secara terbuka ‘hitung-hitungan’ subsidi BBM. Masing-masing pejabat seakan mencoba melakukan trik untuk mengarahkan rakyat pada kepentingan pemerintah, sebaliknya para anggota Dewan tidak mau membuka hati untuk kepentingan rakyat. Subsidi BBM masih tetap menjadi teka-teki yang enggan untuk diungkap, pasalnya, Subsidi BBM ini masih popular untuk di jadikan komoditas politik.
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.