Semua organisasi, apapun jenis, bentuk, skala operasi dan kegiatannya memiliki risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Fraud atau kecurangan tersebut, selain memberi keuntungan bagi pihak yang melakukannya, membawa dampak yang cukup fatal, seperti misalnya hancurnya reputasi organisasi, kerugian organsisasi, kerugian keuangan Negara, rusaknya moril karyawan serta dampak-dampak negatif lainnya.
Maraknya berita mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan dan juga pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat ini sorotan utama sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau terlebih lagi terhadap pejabat tinggi suatu instansi, namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi.
Secara harafiah fraud didefenisikan sebagai kecurangan, namun pengertian ini telah dikembangkan lebih lanjut sehingga mempunyai cakupan yang luas. Black’s Law Dictionary Fraud menguraikan pengertian fraud mencakup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang, untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat. Licik, tersembunyi, dan setiap cara yang tidak jujur yang menyebabkan orang lain tertipu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa fraud adalah perbuatan curang (cheating) yang berkaitan dengan sejumlah uang atau properti.
Berdasarkan defenisi dari The Institute of Internal Auditor (“IIA”), yang dimaksud dengan fraud adalah “An array of irregularities and illegal acts characterized by intentional deception”: sekumpulan tindakan yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan adanya unsur kecurangan yang disengaja.
Webster’s New World Dictionary mendefenisikan fraud sebagai suatu pembohongan atau penipuan (deception) yang dilakukan demi kepentingan pribadi, sementara International Standards of Auditing seksi 240 – The Auditor’s Responsibility to Consider Fraud in an Audit of Financial Statement paragraph 6 mendefenisikan fraud sebagai “…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, pihak yang berperan dalam governanceperusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau illegal”.
Bagaimana PERILAKU ‘FRAUD’ itu?
Kecurangan
(Fraud) adalah setiap tindakan (Action) ataupun pembiaran (Omission) yang
dilakukan/ didesain/ direkayasa untuk menipu/ mengelabui/ memanipulasi pihak
lain sehingga menjadi korban dan mederita kerugian dan/atau pelakunya
memperoleh keuntungan. Semua Organisasi berisiko dan rentan menjadi sasaran
dari Fraud.
Fraud, dalam skala besar menjadikan Organisasi dan Perusahaan
menderita kerugian besar yang dapat berbentuk kerugian dalam investasi, “legal
cost” yang tinggi, terbelenggunya individu kunci, atau hilangnya kepercayaan
masyarakat di pasar modal. Terpublikasinya perilaku curang para eksekutif
sungguh akan berpengaruh terhadap citra dan reputasi dari perusahaan yang pada
gilirannya akan menjadi beban dari pemilik atau pemegang saham perusahaan.
Selain orang dalam bank, kasus-kasus yang terjadi pada bank-bank di
atas melibatkan orang luar bank. Dan, semua kasus yang menerpa bank-bank
tersebut bisa dikategorikan sebagai occupational fraud. Artinya, fraud yang
dilakukan karena adanya keterlibatan oleh seseorang yang menduduki posisi
tertentu di dalam perusahaan untuk memperkaya diri dengan cara penggelapan atau
penyalahgunaan aset atau sumber daya perusahaan.
Occupational
fraud pada intinya terdiri atas aktivitas-aktivitas berikut. Satu, penggelapan
(clandestine). Dua, melanggar tugas dan tanggung jawab (fiduciary duties)
kepada perusahaan. Tiga, sengaja melakukan kecurangan untuk kepentingan sendiri
(karyawan) dan membebankan biaya pada perusahaan untuk keperluan pribadi.
Occupational
fraud bisa dikategorikan menjadi tiga bagian utama.
- Pertama, asset miss-appropriations, yang berkaitan dengan pencurian atau penyalahgunaan aset perusahaan, misalnya pencurian uang kas (skimming-larceny) atau inventaris perusahaan (inventory) dan penipuan terhadap pengeluaran perusahaan (fraudulent disbursement).
- Kedua, corruption. Pelaku menggunakan pengaruhnya dalam transaksi bisnis untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain dan bukan untuk keuntungan pemilik perusahaan atau yang berhak, misalnya menerima suap dan terlibat dalam benturan kepentingan.
- Ketiga, fraudulent statement, yaitu penyusunan laporan keuangan secara tidak benar (overstating revenues, understating liabilities or expenses).
Berdasarkan
hasil penelitian Association of Certified Fraud Examiners pada 2004 (2004 Report
to The Nation on Occupational Fraud & Abuse) yang dilakukan terhadap 500-an
kasus fraud terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat (AS) pada 2003,
kerugian total akibat fraud mencapai US$660 miliar atau mengalami peningkatan
US$60 miliar jika dibandingkan dengan total kerugian pada 2002. Asset
miss-appropriations menduduki peringkat pertama berdasarkan banyaknya kasus,
disusul corruption dan fraudulent statement. Sementara, industri perbankan
menduduki peringkat kedua dari 15 klasifikasi industri.
Apapun
itu defenisinya, fraud tetaplah fraud, dimanapun itu dilakukan, baik
dilingkungan swasta maupun di sektor publik. Motifnya sama, yaitu sama-sama
memperkaya diri sendiri/ golongan dan modus operandinya sama, yaitu dengan
melakukan cara-cara yang illegal.
Tipologi
Fraud
Association
of Certified Fraud Examiners (“ACFE”) di Amerika serikat menyusun peta mengenai
fraud. Peta ini berbentuk pohon, dengan cabang dan ranting. Tiga cabang utama
dari fraud tree ini adalah Corruption, Asset misappropriation dan fraudulent
statement.
Ada
enam ranting yang muncul dari cabang korupsi. Bandingkan ini dengan 30 (tiga
puluh) jenis tindak pidana korupsi dalam ketentutan perundang-undangan
Indonesia. Cabang kedua adalah Asset Misappropriation yang dapat diartikan
secara bebas sebagai penjarahan kekayaan perusahaan atau lembaga. Kita bisa
membayangkan banyaknya jenis fraud dalam cabang ini, mulai dari pencurian uang
secara terbuka (larceny), pencurian dan penyalahgunaan (misuse) harta lembaga,
sampai pada larceny secara tidak langsung (rekening bank atas nama pejabat).
Cabang ketiga (Fraudulent Statement) merupakan fraud yang dilakukan dengan
menggunakan cara-cara akuntansi seperti earning managemen dan, windows
dressing. Kausus Enron merupakan contoh nyata dari tipeFraud ini.
Sedangkan
Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime. Ini jenis
fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian
khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak lain. Cybercrimejuga akan menjadi
jenis fraud yang paling ditakuti di masa depan dimana teknologi berkembang
dengan pesat dan canggih.
Faktor
Motif dan Pemicu Fraud
Pada
umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara bersama,
yaitu:
- Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud
- Peluang untuk melakuakn fraud
- Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud.
Opportunity
biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian inernal di organisasi
tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau
kelompok yang sebelumnya tidak memiliki
motif untk melakukan fraud.
Pressure
atau motivasi pada sesorang atau individu akan memebuat mereka mencari
kesempatan melakukan fraud, beberapa contoh pressure dapat timbul karena
masalah keuangan pribadi, Sifat-sifat buruk seperti berjudi, narkoba, berhutang
berlebihan dan tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis.
Rationalization
terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang mengandung
fraud. Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya
bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang merupakan
haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak
untuk organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana
pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena merasa rekan kerjanya juga
melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas tindakan fraud tersebut.
Terdapat
empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga
dengan teori GONE, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need
(kebutuhan), Exposure (pengungkapan). Faktor
Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku
kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan
Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban
perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/ umum).
1.
Faktor generic
Kesempatan
(opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku
terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada
pada setiap kedudukan. Namun, ada yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang
kecil. Secara umum manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan
yang lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan;
Pengungkapan
(exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan
tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena
itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya
terungkap.
2.
Faktor individu
Moral,
faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
Motivasi,
faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih cenderung
berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan pegawai/pejabat yang terkait
dengan aset yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja.
Selain itu tekanan (pressure) yang dihadapi dalam bekerja dapat menyebabkan
orang yang jujur mempunyai motif untuk melakukan kecurangan.
Gejala
Adanya Fraud
Fraud
(Kecurangan) yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan
dibandingkan dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu
diketahui gejala yang menunjukkan adanya kecurangan tersebut, adapun gejala
tersebut adalah:
1. Gejala kecurangan pada manajemen
- Ketidakcocokan diantara manajemen puncak;
- Moral dan motivasi karyawan rendah;
- Departemen akuntansi kekurangan staf;
- Tingkat komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen, pemasok, atau badan otoritas;
- Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi;
- Penjualan/laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat;
- Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama;
- Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan;
- Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.
- Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa perincian/penjelasan pendukung;
- Pengeluaran tanpa dokumen pendukung;
- Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar;
- Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran;
- Kekurangan barang yang diterima;
- Kemahalan harga barang yang dibeli;
- Faktur ganda;
- Penggantian mutu barang.
Perilaku
Pelaku Fraud
Berikut
merupakan beberapa perilaku seseorang yang harus menjadi perhatian karena dapat
merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang tersebut, yaitu:
Perubahan
perilaku secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya, gaya
hidup mewah, mobil atau pakaian mahal; Gaya
hidup di atas rata-rata; Sedang
mengalami trauma emosional di rumah atau tempat kerja; Penjudi
berat; Peminum
berat; Sedang
dililit utang; Temuan
audit atas kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities) dianggap
tidak material ketika ditemukan; Bekerja
tenang, bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja sendiri.
Fraud
dalam Pengelolaan Keuangan Negara
- Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kasus ini memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan dana talangan yang diberikan pemerintah yang seharusnya untuk menyelamatkan kondisi modal perbankan namun dana tersebut oleh manajemen malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau bisnisnya yang lain.
- Pengadaan Barang dan Jasa. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo pada Kongres ISEI 1993 memperkirakan kebocoran keungan Negara sekitar 30% dari pengadaan barang dan jasa. Kerugian ini bervariasi dari department ke department sampai ke tingkat pemerintah daerah. JIka dilakukan penelitian untuk tahun-tahun sekarang ini kemungkinan persentasenya akan lebih besar lagi, karena otonomi daerah membawa dampak adanya raja-raja kecil di daerah yang menuntut bagian proyek pengadaan barang dan jasa.
- Penyediaan Barang dan Jasa Publik. Teorinya pubic goods disediakan untuk masyarakat luas, tanpa diskriminasi. Namun, berbagai faktor memberi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menikmati public goods seolah-olah itu merupakan private goods bagi mereka. Contohnya saja jasa keamanan yang merupakan public goods yang disediakan TNI/Polri dapat dinikmati oleh orang atau perusahaan yang membayar harga yang tepat. Demikian pula dengan kendaraan, rumah dinas, dll yang diakui sepihak menjadi hak milik pejabat sebelumnya.
- Peran Multinational Corporation (MNC). Potensi fraud yang melibatkan perusahaan atau pengusaha asing biasanya terletak pada perizinan usaha pertambangan dan energi yang bisanya diperoleh dengan cara-cara penyuapan. Apalagi pemerintah menerapkan production sharing atas lokasi-lokasi pertambangan di tanah air yang sangat rentan diselewengkan oleh para operator pertambangan.
- Fraud pada Penerimaan Negara. Sebenarnya volume fraud yang paling besar bukan terletak pada sisi pengeluaran tetapi justru pada penerimaan Negara, tengok saja kasus Bahasim dan Gayus Tambunan yang meraup kekayaan besar dalam waktu singkat hanya dengna menyelewengkan prosedur perpajakan, atau membantu mengurangi jumlah pajak kiennya. Di pemerintah daerah kasusnya lebih bergam lagi, mulai dari pemetongan sekian persen dari pencairan anggaran, sampai setoran penerimaan yang banyak dipotong untuk peruntukan yang tidak jelas.
PENCEGAHAN
DAN DETEKSI Fraud
Dalam
mencegah dan mendeteksi serta menangani fraud sebenarnya ada beberapa pihak
yang terkait: yaitu akuntan (baik sebagai auditor internal, auditor eksternal,
atau auditor forensik) dan manajemen perusahaan. Peran dan tanggung jawab
msaing-masing pihak ini dapat digambarkan sebagai suatu siklus yang dinamakan
Fraud Deterrence Cycle atau siklus pencegahan fraud.
Corporate
Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka mengeliminasi
atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate governance
meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
Transaction
Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya
adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan
untuk memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang
memadai yang dicatat dan melindungi perusahaan dari kerugian.
Retrospective
Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk mendeteksi
fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
Investigation
and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah
menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat
kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran
kecil terhdaap kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk
kecurangna dalam laporan keuangan atau penyalahgunaan aset.
Keberhasilan
kegiatan memerangi fraud, setelah korupsi terjadi adalah suatu ironi tersendiri
dalam upaya penanggualan fraud karena semakin banyak mendeteksi dan
menyelesaikan kasus berindikasi fraud, bukan merupakan kondisi umum yang
dikehendaki masyarakat, sebab pada dasarnya kejadian fraud bukanlah kejadian
yang dikehendaki masyarakat.
Pencegahan
fraud bisa dianalogikan dengan penyakit, yaitu lebih baik dicegah dari pada
diobati. Jika menunggu terjadinya fraud baru ditangani itu artinya sudah ada
kerugian yang terjadi dan telah dinikmati oleh pihak terntu, bandingkan bila
kita berhasil mencegahnya, tentu kerugian belum semuanya beralih ke pelaku
fraud tersebut. Dan bila fraud sudah terjadi maka biaya yang dikeluarkan jauh
lebih besar untuk memulihkannya daripada melakukan pencegahan sejak dini.
Untuk
melakukan pencegahan, setidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan yaitu
- Membangun individu yang didalamnya terdapat trust and openness, mencegah benturan kepentingan, confidential disclosure agreement dancorporate security contract.
- Membangun sistem pendukung kerja yang meliputi sistem yang terintegrasi, standarisasi kerja, aktifitas control dan sistem rewards and recognition.
- Membangun sistem monitoring yang didalamnya terkandung control self asssessment, internal auditor dan eksternal auditor
Peran
Internal Auditor
Pendeteksian
fraud oleh auditor internal merupakan salah satu peran dari kegiatan internal
auditing yang dijalankan dalam organisasi. Standards No. 1210.A2 menyatakan
sebagai berikut: “The internal auditor should have sufficient knowledge to
identify the indicators of fraud but is not expected to hace the expertise of a
person whose primary responsibility is detecting and investigating fraud”.
Merujuk
pada standar profesi diatas, auditor internal diharuskan memiliki pengetahuan
yang cukup untuk mendeteksi adanya indikasi fraud dalam organisasi. Pengetahuan
yang harus harus dimiliki auditor internaltermasuk pula pengetahuan mengenai
karakteristik fraud, teknik-teknik yang digunakan dalam melakukan fraud, dan jenis-jenis
fraud yang mungkin terjadi pada berbagai proses bisnis.
Auditor
internal bertanggung jawab dalam mendeteksi fraud yang mungkin telah terjadi
sedini mungkin, sebelum memebawa dampak yang lebih buruk pada organisasi.
Pendeteksian tersebut dapat dilakukan pada saatmenjalankan kegiatan internal
auditing. Pada saat melakukan audit, auditor internal dapat memfokuskan diri
pada area-area yang memeiliki risiko tinggi terjadinya fraud seperti transaski
kas, rekonsiliasi bank, proses pengadaan, penjualan, dll.
Jika
auditor internal menemukan suatu indikasi terjadinya fraud dalam organisasi,
auditor internal harus melaporkannya kepada pihak-pihak terkait dalam
organsiasi tersebut, seperti audit committee. Auditor internal dapat memberikan
rekomendasi dilakukannya investigasi yang diperlukan untuk menyelidiki fraud
tersebut.
Dalam
sektor publik. Auditor internal dapat dilakukan oleh inspektorat di
masing-masing department dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
(“BPKP”) berdasarkan permintaan dari pemerintah. Teknis dan proses auditnya
tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di sektor swasta.
Peran
Eksternal Auditor
Dalam
melaksanakan tanggung jawab profesionalnya seorang auditor eksternal dibatasi
oleh standar-standar auditing yang berlaku. Tanggung jawab auditor sehubungan
dengan fraud dijelaskan secara umum dalam SA seksi 110 – Tanggung jawab dan
fungsi auditor independen paragraph 02: “Auditor bertanggung jawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang
apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan
oleh kekeliruan atau kecurangan”.
Tanggung
jawab auditor dalam mendeteksi fraud tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam SA
seksi 316 – pertimbangan atas kecurangan dalam audit laporan keuangan.
Berdasarkan SA Seksi 316 tersebut, auditor harus secara khusus menaksir risiko
salah saji material dalam laoran keuangan sebagai akibat dari kecurangan dan
harus memperhatikan taksiran risiko ini dalam mendesain prosedur audit yang
akan dilaksanakan. Prosedur audit mungkin berubah apabila terjadi fraud.
Selanjutnya
dalam SA Seksi 317 – Unsur tindakan pelanggaran hukum oleh klien, dijelaskan
bahwa apabila terjadi unsur tindakan pelanggaran hukum (termasuk fraud) maka
auditor akan mengumpulkan informasi tentang sifat pelanggaran, kondisi
terjadinya pelanggaran dan dampak potensialnya terhadap laporan keuangan.
Apabila dibutuhkan auditor dapat berkonsultasi dengan penasehat hukum dan
melakukan prosedur audit tambahan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang sifat pelanggaran yang terjadi. Terungkapanya fraud, yang berrdampak
pada denda dan kerugian, harus diungkapakan dalam catatan atas laporan keungan.
Lebih jauh lagi, bila fraud yang terjadi sangat material dan bisa mempengaruhi
kewajaran laporan keuangan, maka auditor tidak dapat memberikan opini “wajar
tanpa pengecualian”.
Pada
sektor public, yang menjadi auditor eksternal adalah Badan Pemerika keuangan
(“BPK”) berdasarkan UU No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan Negara. Dalam UU ini diatur bahwa BPK melaksanakan
pemeriksaaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keungan Negara. Pemeriksaan
tersebut terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
MANAJEMEN
RISIKO
Rekaman
tertua terkait pengelolaan risiko dapat ditemukan pada Piagam Hammurabi (codex
Hammurabi), yang dibuat pada tahun 2100 sebelum masehi. Piagam tersebut
mencantumkan peraturan dimana pemilik kapal dapat meminjam uang untuk membeli
kargo; namun bila dalam perjalanan kapalnya tenggelam atau hilang, ia tidak
perlu mengembalikan uang pinjaman tersebut. Masa ini disebut sebagai zaman
pertama manajemen risiko, di mana perusahaan hanya melihat risiko
non-entrepreneurial (seperti misalnya keamanan).
Tahun
1970-an dan 1980-an disebut sebagai zaman kedua manajemen risiko di mana
perusahaan-perusahaan asuransi mulai berusaha mendorong pengusaha untuk
benar-benar menjaga barang yang diasuransikan. Pada masa ini juga lahir konsep
jaminan mutu (quality assurance) yang menjamin setiap produk memenuhi
spesifikasi standarnya. Konsep ini dipopulerkan oleh British Standards
Institution yang meluncurkan standar kualitas BS 5750 pada tahun 1979.
Pada
tahun 1993, James Lam diangkat menjadi Chief Risk Office, yang merupakan
jabatan CRO pertama di dunia. Zaman ketiga manajemen risiko dimulai tahun 1995
dengan diterbitkannya AS/NZS 4360:1995 oleh Standards Australia of the World's
Risk management Standard.
Manajemen
risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/ metodologi dalam mengelola
ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia
termasuk: Penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan
mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya. Strategi
yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain,
menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau
semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko tradisional terfokus pada
risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam
atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Manajemen risiko keuangan, di
sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan
instrumen-instrumen keuangan.
Manajemen
Risiko dimulai dari proses identifikasi risiko, penilaian risiko, mitigasi,
monitoring dan evaluasi. Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk
mengurangi risiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan bidang yang telah
dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa
berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia,
organisasi dan politik. Di sisi lain pelaksanaan manajemen risiko melibatkan
segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen
risiko (manusia, staff, dan organisasi). Dalam perkembangannya Risiko-risiko
yang dibahas dalam manajemen risiko dapat diklasifikasi menjadi : Risiko
Operasional, Risiko Hazard, Risiko Finansial, Risiko Strategik. Hal ini
menimbulkan ide untuk menerapkan pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi
Korporasi (Enterprise Risk Management).
Risiko
berhubungan dengan ketidak pastian ini terjadi oleh karena kurang atau tidak
tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang tidak
pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan.menurut Wideman,
ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan
istilah peluang (Opportunity), sedangkan ketidak pastian yang menimbulkan
akibat yang merugikan dikenal dengan istilah risiko (Risk). Secara
umum risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dihadapi seseorang atau
perusahaan dimana terdapat kemungkinan yang merugikan. Bagaimana jika
kemungkinan yang dihadapi dapat memberikan keuntungan yang sangat besar
sedangkan kalaupun rugi hanya kecil sekali? Misalnya membeli loterei. Jika
beruntung maka akan mendapat hadiah yang sangat besar tetapi jika tidak
beruntung uang yang digunakan membeli loterei relatif kecil.Apakah ini juga
tergolong Risiko? jawabannya adalah hal ini juga tergolong risiko. Selama
mengalami kerugian walau sekecil apapun hal itu dianggap risiko.
Risiko dapat
dikategorikan ke dalam dua bentuk : risiko spekulatif, dan risiko murni.
- Risiko spekulatif. Risiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi perusahaan yang dapat memberikan keuntungan dan juga dapat memberikan kerugian. Risiko spekulatif kadang-kadang dikenal pula dengan istilah risiko bisnis(business risk). Seseorang yang menginvestasikan dananya disuatu tempat menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan atau malah investasinya merugikan. Risiko yang dihadapi seperti ini adalah risiko spekulatif. Risiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi yang dapat memberikan keuntungan dan juga dapat menimbulkan kerugian.
- Risiko murni. Risiko murni (pure risk) adalah sesuatu yng hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila perusahaan menderiat kebakaran,maka perusahaan tersebut akan menderita kerugian. kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi kebakaran. Dengan demikian kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan, kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-maksud tertentu. Risiko murni adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu cara menghindarkan risiko murni adalah dengan asuransi. Dengan demikian besarnya kerugian dapat diminimalkan. itu sebabnya risiko murni kadang dikenal dengan istilah risiko yang dapat diasuransikan (insurable risk). Perbedaan utama antara risiko spekulatif dengan risiko murni adalah kemungkinan untung ada atau tidak, untuk risiko spekulatif masih terdapat kemungkinan untung sedangkan untuk risiko murni tidak dapat kemungkinan untung.
Sudahkah Negara Hadir Menjadi Anti Fraud
Sebenarnya penerapan
manajemen risiko di perbankan telah sejak Senin (12/12/2011) Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran No
13/28/DPNP tentang Penerapan Strategi Antifraud (pembobolan) di Perbankan. Aturan ini menetapkan, bank wajib melaporkan
strategi antifraud paling lambat enam bulan sejak beleid terbit. "Keamanan
nasabah perbankan pun semakin terjaga," janji Irwan Lubis, Deputi
Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI.
BI
membuat empat pilar antifraud.
- Pertama, pencegahan. Bank wajib memuat perangkat untuk mengurangi potensi fraud yang mencakup antifraud awareness, identifikasi kerawanan dan know your employee.
- Kedua, deteksi dini. Ini memuat perangkat identifikasi dan menemukan fraud yang mencakup mekanisme whistle blowing, surprise audit dan surveillance system.
- Ketiga, investigasi, pelaporan dan sanksi.
- Keempat, pemantauan, evaluasi dan tidak lanjut. Bank berkewajiban melaporkan setiap tahap proses pengelolaan risiko ke BI. Jika terlambat melaporkannya, ada sanksi denda Rp 1 juta hingga Rp 50 juta.
Khusus
pengelolaan risiko di bisnis wealth management, BI menerbitkan Surat Edaran No
13/29/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Nasabah Prima. Beleid yang
menginduk ke Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/25/PBI/2009 tentang Manajemen
Risiko tersebut, menetapkan empat hal pokok.
- Pertama, definisi nasabah prima dan persyaratannya.
- Kedua, bank membuat rencana bisnis wealth management, yang berisikan tentang target dana kelolaan dan jumlah nasabah dalam setahun.
- Ketiga, bank wajib mengirim laporan ke BI setiap bulan.
- Keempat, menyerahkan standard operating procedure (SOP) ke bank. BI hanya membuat garis besar. Misalnya, wajib rotasi relationship manager, larangan transaksi menggunakan blangko kosong, dan pemasangan CCTV di ruang transaksi.
Beberapa
Perusahaan besar telah menyadari bahaya besar akibat fraud, mereka telah
melakukan perencanaan sedini mungkin terhadap pencegahan fraud ini. Beberapa
paket kebijakan telah dibuat untuk mendukung (Good Corporate Governance) GCG
diseluruh Astra Grup yang dimonitor oleh Komite Audit, Komite Renumerasi dan
Nominasi, Komite Eksekutif, kelompok Manajemen Resiko dan Departemen Audit
Internal. Grup Astra membuat buku pedoman yang komprehensif, yaitu “Pedoman Etika
Bisnis dan kerja”, yang mencakup semua aspek dalam berhubungan dengan pihak
ketiga dan masyarakat luas secara bertanggung jawab dan professional. Selain
itu Astra juga mengeluarkan pedoman lainnya untuk memberikan kepastian dan
assurance bahwa seluruh aktivitas telah menerapkan pola yang sesuai dengan GCG,
pedoman-pedoman itu yaitu:
- pedoman sistem audit dan manajemen risiko,
- pedoman benturan kepentingan, peraturan mengenai informasi orang dalam,
- pedoman kewajiban sosial perusahaan,
- pedoman manajemen sumber daya manausia,
- pedoman direksi dan komisaris Astra,
- kebijakan pelaporan atas pelanggaran etika,
- kebijakan atas penyampaian laporan tahunan dan
- kebijakan transaksi material dan perubahan kegiatan usaha.
Sebagai
perusahan publik yang juga melantai di bursa internasional (NYSE dan LSE)
Telkom Grup berupaya mewujudkan tata kelola perusahaan yang bersih sebagai mana
tuntutan dari aturan Sarbanes Oxley Act (SOA) yang dianut Telkom Grup. Telkom
secara berkala terus mengeluarkan berbagai program yang memastikan kesempatan
berbuat curang (fraud) itu tertutup. Didalam program anti fraud tersebut
terdapat code of ethics, whistleblower policy, organization structure dan Human
Resource Policy. Program
whistleblower yang diterapkan Telkom dimaksudkan untuk menciptakan sebuah
sistem yang memungkinkan perusahaan dapat melakukan deteksi dini terhadap
kemungkinan atau indikasi adanya fraud, dengan begitu Telkom dapat secara lebih
awal melakukan langkah-langkah koreksi dan mitigasi yang diperlukan untuk
mengamankan asset, reputasi dan risiko kerugian yang mungkin timbul. Selain
itu Telkom juga menerapkan Enterprise Risk Management (ERM) yang disusun oleh
COSO.
Beberapa kebijakan yang dilakukan Telkom terkait penerapan ERM ini antara
lain:
- peningkatan kebijakan melalui evaluasi, perbaikan, peningkatan, distribusi dan kebijakan internal untuk mendukung pengelolaan resiko;
- Peningkatan pemahaman proses bisnis yang efektif melalui penyederhanaan atau penghapusan proses bisnis yang kurang efektif;
- pelaksanaan pengkajian risiko dan langkah mitigasi yang meliputi inisiatif startegis, RKAP, dan evaluasi diri atas pengendalian risiko seluruh unit;
- perlindungan asset melalui penyediaan informasi yang memadai dan akurat hingga menciptakan efektifitas dan efisiensi proses bisnis serta kepatuhan terhadap peraturan.
Setiap
orang berpeluang melakukan fraud. Fraud akan semakin merajarela jika tidak ada alat pengaman yang
memadai untuk mencegahnya. Hanya dalam dua tahun (2003-2004) sederetan
di Indonesia pernah mengalami kerugian karena fraud (penipuan). Menyeramkan! Bank-bank lain kemudian masuk dalam giliran kebobolan. Sudah saatnya, bank memiliki kebijakan anti-fraud. Terungkapnya
skandal pada berbagai perusahaan baik nasional maupun internasional, telah
mengarahkan publik dan pemegang saham maupun pemangku kepentingan untuk
menuntut perusahaan agar tidak mentoleransi Fraud. Ditingkat Nasional, skandal
besar keuangan menjadi perhatian publik, karena melibatkan pemegang saham pengendali, Pengurus dan Karyawan yang berlanjut
dengan melibatkan pejabat-pejabat di sektor moneter dan di sektor fiskal.
Bank, mana anti FRAUD mu?
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.