Sejauhmana
Tujuan Otonomi Daerah Melangkah?
Otonomi
daerah dan desentralisasi yang diterapkan di Indonesia pascareformasi tahun
1998 ternyata belum menyejahterakan rakyat. Itu terjadi akibat akses sumber
daya ekonomi masih dikuasai elite politik dan pengusaha. Kelompok masyarakat
sipil belum benar-benar mandiri dan terlibat dalam pengambilan kebijakan.
Sekretaris
Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di
Jakarta, (Selasa, 29/11/2011) mengatakan bahwa Tujuan otonomi daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik
masih jauh dari harapan. Rasio daerah penerima transfer dana tertinggi dengan daerah
yang menerima transfer terendah berbeda 127 kali lipat. Transfer daerah tidak
beranjak dari 31 persen sampai 34 persen dari total belanja negara. Padahal,
sudah 70 persen urusan pemerintahan diserahkan ke daerah. Prinsip money follow
the function belum dilaksanakan.
Jenis
dana perimbanganpun semakin banyak berkembang di luar yang diatur dalam
Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta berpotensi merusak
sistem dana perimbangan. Dari hanya tiga jenis dana perimbangan dalam komponen
dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi tujuh jenis pada 2011.
Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang
sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktik mafia anggaran.
Bahkan, terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian, juga dialokasikan
pada dana alokasi khusus. Skema dana perimbangan saat ini, justru memberikan
insentif terhadap terjadinya inefisiensi terhadap belanja pegawai dan makin
berkurangnya belanja publik. Dana alokasi umum yang sejatinya diberikan untuk
keleluasaan bagi daerah mengalokasikannya sesuai kebutuhan, habis terserap
untuk pegawai.
Secara
konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan
tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak
ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Disisi
lain, pemerintah kabupaten/ kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya
berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara
nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam
diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah adalah
otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam
penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas
dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
- Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
- Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
- Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
- Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
- Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
The
Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi
daerah adalah :
- Mengemukakan kesadaran bernegara/ berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
- Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
Ketua
Pengurus Yappika Lili Hasanuddin dan Kepala Pusat Kajian Politik (Puskapol)
Universitas Indonesia Ani Sucipto dalam diskusi dan peluncuran buku Indeks
Masyarakat Sipil di 16 Kabupaten/Kota yang digelar Yayasan Penguatan
Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) di
Jakarta, (Selasa, 6/12/2011), mengemukakan bahwa desentralisasi dan
demokratisasi di daerah di Indonesia masih sebatas menimbulkan keriuhan
politik. Masyarakat semakin bebas mengekspresikan diri dan menuntut kesetaraan
politik. Namun, akses ke sumber daya ekonomi masih digenggam elite politik dan
elite pengusaha. Secara bersamaan, tanggung jawab pemerintah lokal untuk
menyejahterakan masyarakat juga masih rendah. Kelompok masyarakat sipil yang
berdaya kemudian beralih aktif di partai politik sehingga masuk dalam lingkaran
elite kekuasaan. Akibatnya, desentralisasi riuh rendah, tetapi masyarakat belum
sejahtera.
Sumber daya masyarakat sipil di daerah juga masih kurang. Hal ini
adalah salah satu kesimpulan dari penelitian indeks masyarakat sipil di 16
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Secara umum, kesetaraan politik masyarakat
sipil membaik, tetapi kesadaran lingkungan dan sumber daya masyarakat sipil
masih rendah. Partisipasi masyarakat sipil, termasuk kaum perempuan, di daerah
masih bersifat prosedural dan belum substansial. Ruang partisipasi memang
terbuka, tetapi belum benar-benar dimanfaatkan untuk menjalankan substansi
aspirasi masyarakat dalam kebijakan. Gerakan masyarakat sipil belum punya
posisi tawar dalam kompetisi politik. Masyarakat tak kebagian sumber daya
karena dikuasai elite. Pemberdayaan masyarakat harus diperjuangkan.
Presiden
Joko Widodo di Istana Bogor, (Rabu, 18/7/2018) menginginkan postur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 memperbanyak instrumen insentif
fiskal agar bisa mendorong kegiatan bisnis dan investasi. Insentif dibutuhkan
sebagai perangsang agar investasi banyak masuk. Jokowi mengatakan, walau secara
fundamental ekonomi dalam negeri pada 2019 nanti masih cukup bagus, tekanan
masih besar. Utamanya, dari normalisasi suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat
(AS) Fed Rate serta perang dagang yang berkobar antara AS dengan China.
Selain
memperbanyak insentif fiskal, agar ekonomi 2019 nanti tahan banting, Jokowi
juga memerintahkan menterinya untuk meningkatkan sinergi dengan otoritas
moneter dalam menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri. Kementerian dan lembaga diminta
untuk fokus dan menyelesaikan program di tahun 2018. Proyek strategis
dieksekusi tepat waktu dan tetap menjaga governance sehingga dampaknya bisa
dirasakan langsung oleh rakyat. Tak hanya itu, juga diminta untuk memfokuskan
anggaran di bidang sumber daya manusia agar produktivitas ekonomi bisa lebih
baik. Ini bisa dilakukan melalui transmisi anggaran kesehatan dan pendidikan.
Sebelumnya,
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui kerangka utama
dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Asumsi makroekonomi yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi di angka 5,2
persen hingga 5,6 persen, laju inflasi di angka 2,5 persen hingga 4,5 persen,
nilai tukar rupiah terhadap dolar di angka Rp13.700 hingga Rp14 ribu per dolar
AS. Sementara itu, asumsi harga minyak ditetapkan US$60 per barel hingga US$70
per barel, lifting minyak ditetapkan 722 ribu hingga 805 ribu barel per hari,
dan lifting gas ditetapkan 1,21 juta hingga 1,3 juta setara barel minyak per
hari.
Dari
sisi postur fiskal, pendapatan negara dipasang pada rentang 12,7 persen hingga
13,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara belanja dipatok di
rentang 14,2 persen hingga 15,4 persen dari PDB. Dengan demikian, pemerintah di
tahun 2019 masih akan menganut postur fiskal ekspansif, dengan defisit APBN di
rentang 1,6 persen hingga 1,9 persen dari PDB.
Lebih
dari satu dasawarsa sejak otonomi daerah diberlakukan, sudah ada 70 persen
urusan pusat yang didesentralisasikan ke daerah. Namun, urusan desentralisasi itu
tak diikuti dengan desentralisasi fiskal sehingga beban kerja pemerintah daerah
yang tinggi tak dibarengi dengan pembiayaannya. Gambaran perimbangan keuangan
daerah dan pusat juga sangat buruk. Kesenjangan fiskal antardaerah sangat
tinggi. Pemerintah pusat dinilai hanya mentransfer beban kerja ke daerah,
tetapi tak diikuti dengan besaran jumlah pembiayaan untuk kegiatannya. Prinsip
money follow function tidak terealisasi.
Sekretaris
Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di
Jakarta, (Selasa, 29/11/2011) mengungkapkan bahwa urusan yang
didesentralisasikan itu seharusnya diikuti juga dengan uangnya untuk
menyelenggarakan urusan itu. Walaupun urusannya sudah diserahkan
sebanyak-banyaknya ke daerah, uang yang ditransfer ke daerah hanya sekitar 30
persen dari total belanja negara. Artinya, urusan diberikan, tetapi uangnya
dipegang pusat. Lebih dari 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah juga
mencerminkan buruknya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sekitar 80 persen
pemerintah daerah di Indonesia sangat bergantung pada dana perimbangan. Kondisi
ini diperburuk dengan sikap pemerintah daerah yang tidak memberi porsi besar
untuk belanja publik.
Di tengah ketergantungan dana ini, formulasi
dana perimbangan itu justru memberikan insentif terjadinya pemborosan belanja
pegawai dan juga pemekaran daerah. Temuan, ada 297 kabupaten/ kota atau separuh
lebih total kabupaten/ kota di Indonesia memiliki belanja pegawai di atas 50
persen, melebihi belanja untuk pelayanan publik. Kondisi ini terjadi, karena
formulasi penghitungan dana alokasi umum (DAU), salah satu komponen dana
perimbangan, sejak awal memungkinkan terjadi pemborosan. Contohnya, formulasi
penghitungan DAU antara lain dari besaran jumlah belanja pegawai di daerah. Hal
ini juga memicu maraknya pemekaran daerah.
Guru
Besar Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika mengutarakan, pemberian
dana transfer daerah (DAU, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil) juga tak
berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hanya sembilan provinsi yang
menunjukkan semakin besar dana perimbangannya, semakin menurun tingkat
kemiskinan di wilayah itu. Artinya, di provinsi lain itu tak terjadi.
Wakil
Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengakui, selama ini, formulasi penentuan
dana bagi hasil tak pernah jelas. Papua dan Aceh mendapat 70 persen, tetapi
provinsi lain hanya mendapat 30 persen.
City
Branding Pemda Harus Kuat
Dalam
dunia bisnis, Brand atau merk sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan.
Makanya banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat
mempromosikan brand-nya ke masyarakat luas. Dengan kata lain agar brand-nya
dapat menjadi Brand Equity. Oleh karena itu sebuah daerah membutuhkan Brand
yang kuat. Diakui atau tidak di sektor publik, dengan penerapan otonomi daerah
dan semakin nyata serta meluasnya trend globalisasi saat ini, daerah pun harus
saling berebut satu sama lain dalam hal:
-
Perhatian (attention)
-
Pengaruh (influence)
-
Pasar (market)
-
Tujuan Bisnis & Investasi (business & investment destination)
-
Turis (tourist)
-
Tempat tinggal penduduk (residents)
-
Orang-orang berbakat (talents), dan
-
Pelaksanaan kegiatan (events)
Secara
definisi, City Brand adalah indentitas, symbol, logo, atau merk yang melekat
pada suatu daerah. Sebuah pemda harus membangun Brand (brand building) untuk
daerahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target
daerah tersebut. Banyak keuntungan yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan
City Branding, antara lain:
- Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik
- Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (specific purposes)
- Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events)
- Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang tinggi
Brand
atau merk yang legendaris dan mampu bertahun puluhan bahkan ratusan tahun,
tidak muncul begitu saja. Tetapi mereka melakukan langkah-langkah yang
terencana, jelas, dan berbeda dengan para pesaingnya. Demikian juga agar
mempunyai Brand yang kuat, sebuah daerah harus memiliki karakteristik khusus
yang bisa dijelaskan dan diidentifikasikan. Misalnya tampak fisik kota,
pengalaman orang terhadap daerah tersebut, dan penduduk seperti apa yang
tinggal di daerah tersebut.
Langkah-langkah
yang pantas dilakukan adalah :
- Mapping Survey; meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah itu.
- Competitive Analysis; melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun mikro daerah itu sendiri.
- Blueprint; penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik logo, semboyan, ”nick names”, ”tag line”, da lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi komunikasinya.
- Implementation; pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya.
Beberapa
contoh kota di dunia yang dianggap memiliki City Brand yang kuat adalah New
York, Paris, dan San Francisco. Mengapa kota-kota tersebut dianggap memiliki
City Brand yang kuat? Karena kota-kota itu memiliki kualifikasi yang harus
dimiliki oleh suatu brand yang kuat, yaitu mempunyai sejarah, kualitas tempat,
gaya hidup, budaya, dan keragaman yang menarik dan bisa dipasarkan.
Saat
pertama kali disurvei pada 1970 silam, kemiskinan Tanah Air mencapai 60 persen
dari total penduduk. Kemudian turun ke kisaran 24,2 persen pada 1998 kala BPS
mengubah cara perhitungan tingkat kemiskinan, yang hingga kini masih berlaku. Walhasil,
jumlah orang miskin di negeri ini 'tinggal' 25,95 juta. Kemiskinan Indonesia yang
dinahkodai Presiden Joko Widodo boleh berbangga hati untuk pertama kalinya
menyentuh tingkat terendah di posisi 9,82 persen pada Maret 2018.
Kepala
Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (Senin, 16/7) menyebut penurunan
tingkat kemiskinan terjadi seiring derasnya gelontoran dana bantuan sosial
(bansos) dari pemerintah. Penyaluran bansos pada Januari-Maret 2018 naik 87,6
persen dibanding periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Padahal, pada
Januari-Maret 2017, penyaluran bansos hanya tumbuh 3,39 persen (yoy). Itu
karena ada peningkatan penyaluran program beras sejahtera (rastra) dan Bantuan
Pangan Nontunai (BPNT) pada kuartal I 2018.
Berdasarkan
data BPS yang dihimpun dari berbagai sumber, tercatat bahwa realisasi
distribusi rastra Januari sebanyak 99,65 persen dari alokasi pemerintah. Lalu,
Februari 2018 mencapai 99,66 persen, dan Maret 99,62 persen. Walhasil, banjir
bansos mampu meredam tekanan inflasi dan minimnya pertumbuhan pengeluaran per
kapita masyarakat kalangan 40 persen bawah.
Ekonom
Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto
menilai penurunan kemiskinan hingga di bawah 10 persen wajar lantaran banjirnya
dana bansos. Langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan hanya
solusi praktis, tanpa menyentuh akar permasalahan. Tapi program pemerintah
tetap ampuh tekan kemiskinan. Namun keberhasilan pemerintah menurunkan tingkat
kemiskinan itu semu, karena bukan peningakatan pendapatan riil masyarakat. Bukan
tidak mungkin tingkat kemiskinan penduduk akan naik jika dana bansos dikurangi.
Pengentasan
kemiskinan dengan program bansos yang umumnya berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan konsumsi masyarakat miskin, bisa menimbulkan risiko.
Risiko
pertama, masyarakat menjadi ketergantungan akan bansos. Kedua, anggaran
pemerintah bisa jebol. Ketergantungan masyarakat akan bansos mulai mendarah
daging di masyarakat. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang menurun,
tapi pencari Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) justru kian marak. Hal itulah
yang membuat mental masyarakat miskin kian miskin karena terlanjur senang
menyandang predikat ini. Jangan sampai masyarakat senang mengaku miskin hanya
untuk mencari kemudahan yang sebetulnya mereka tidak layak.
Risiko
kedua, kantong negara jebol. Pemerintah, tentunya tak mau prestasinya dalam
menurunkan tingkat kemiskinan turun. Cara ampuhnya, hanya dengan menambah
anggaran bansos dari tahun ke tahun. Penggunaan setiap rupiah pada program ini
juga terbilang belum efektif. Hal ini terlihat dari besarnya peningkatan aliran
bansos pada kuartal I tahun 2018, tetapi jumlah penduduk miskin hanya berkurang
sekitar 630 ribu. Padahal, tahun sebelumnya anggaran bansos lebih kecil, tapi
tetap bisa menurunkan lebih banyak penduduk miskin. Untuk itu, pemerintah perlu
kembali mengevaluasi program bansos yang diberikan dan menggantinya dengan
program-program yang lebih berkualitas dan produktif. Misalnya, dengan
menggandeng badan sosial swasta nonprofit, seperti badan zakat. Kehadiran badan
seperti itu lebih efektif karena tidak memberatkan keuangan negara, bersifat
sukarela, dan dengan pendekatan budaya-agama.
Pemerintah,
juga perlu mengevaluasi sinkronisasi program pengentasan kemiskinan yang lebih
terstruktur dan berkualitas bersama Kementerian/ Lembaga (K/L) dan pemerintah
daerah (pemda). Saat ini, pemda sebenarnya mendapatkan transfer daerah dan dana
desa untuk mengentaskan kemiskinan dan pembangunan manusia di desa. Namun,
tujuan anggaran tersebut belum direalisasikan secara maksimal. Jangan sampai
pemda hanya membesar-besarkan data kemiskinan untuk mendapatkan dana desa, tapi
kalau dilihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih jauh dari harapan.
Kemudian,
pemerintah perlu membuat program pengentasan kemiskinan yang berorientasi pada
pemberdayaan dan akses pasar. Sebenarnya, itu sudah ada dengan konsep padat
karya non tunai. Sayang, implementasinya belum maksimal karena belum sinkron
dengan birokrasi pemda dan masih sedikit penduduk yang bisa memanfaatkan
program itu. Tapi yang perlu dipastikan adalah bukan sekedar kasih mereka
pekerjaan, namun ketika sudah tidak ada proyek itu, mereka tetap punya
keterampilan supaya bisa bekerja seterusnya.
Di
sisi lain, bansos yang disalurkan pemerintah seharusnya bersifat insentif
setelah masyarakat mengerjakan sesuatu, tidak benar-benar gratis. Misalnya,
masyarakat harus mengikuti pelatihan keterampilan, namun di saat itu diberi
uang makan dan uang saku untuk keluarga. Walhasil, mereka terpaksa untuk
mengasah keterampilan dan tanpa disadari nantinta bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan bonus keterampilan yang bisa digunakan untuk bekerja. Karena
kunci utama pengentasan kemiskinan itu sebenarnya pendidikan, kalau mereka
tidak punya pendidikan, keterampilan. Tapi, sekarang yang terjadi anggaran
pendidikan yang terus digelontorkan juga tak efektif.
Ekonom
dari Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengkhawatirkan penurunan
tingkat kemiskinan saat ini tak bersifat jangka panjang karena hanya
mengandalkan bansos. Sedangkan bansos, kerap bersinggungan dengan kebijakan
populis pada tahun politik, seperti yang terjadi saat ini, jelang Pemilihan
Presiden (Pilpres) pada tahun 2019 mendatang. Pembengkakan anggaran bansos
hanya untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang sementara ini dikhawatirkan
membuat beban APBN semakin berat. Apalagi, pemerintah harus menutup APBN dengan
menambah utang. Harus cari balance agar produktif bansosnya. Pengentasan
kemiskinan jangka panjang sejatinya bisa dilakukan dengan memaksimalkan
infrastruktur yang tengah dipercepat saat ini. Misalnya, dengan membangun
embung, irigasi, jalan tol untuk akses logistik, dan lainnya. Selain itu, perlu
pula memaksimalkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), sehingga menjadi sumber
pekerjaan baru bagi masyarakat. Dengan begitu, tingkat pendapatan bisa
meningkat dan menurunkan kemiskinan. Itu juga berdampak pada pencegahan
urbanisasi dan pemerataan ekonomi.
Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan
miskin di Indonesia (gini ratio) turun tipis dari 0,391 persen pada September
2017 menjadi menurun menjadi 0,389 pada Maret 2018. Penurunan ini terjadi cukup
konsisten sejak Maret 2012. Turunnya gini ratio tersebut seiring menurunnya
tingkat kemiskinan hingga sebesar 9,82 persen pada Maret 2018.
Kepala
BPS Suhariyanto (Senin, 16/7/2018) mengatakan faktor utama yang menurunkan gini
ratio, yaitu terjadinya kenaikan pengeluaran oleh masyarakat yang menandakan
ada peningkatan pada pendapatannya juga. Secara nasional, kenaikan pengeluaran
per kapita kelompok bawah lebih cepat dibandingkan kelompok menengah dan atas. Tingkat
kemiskinan memang tercatat paling rendah sejak krisis 1998 lalu, tapi tak
demikian halnya dengan gini ratio. Tingkat ketimpangan yang lebih rendah pernah
dialami Indonesia pada September 2011 sebesar 0,3888. Peningkatan pengeluaran
pada kelompok penduduk 40 persen terendah mencapai 3,06 persen. Sedangkan bagi
kelompok 40 persen menengah, tingkat pengeluaran hanya tumbuh 2,54 persen dan
kelompok 20 persen teratas tumbuh 2,59 persen.
Kendati
secara nasional gini ratio menurun, tetapi berdasarkan jenis daerah belum
merata. Sebab, gini ratio di pedesaan justru meningkat dari 0,320 pada
September 2017 menjadi 0,324 pada Maret 2018. Sedangkan di perkotaan berhasil
menurun dari 0,404 menjadi 0,401 pada periode yang sama. Di daerah perkotaan,
kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah lebih cepat dibandingkan
kelompok menengah dan kelompok atas. Rinciannya, jumlah pengeluaran kelompok
bawah di kota meningkat 2,49 persen. Lalu, kelompok menengah tumbuh 2,17
persen, dan kelompok atas banyak 0,94 persen. Sedangkan sebaliknya, di daerah
pedesaan, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah tidak secepat kelompok
atas, meski masih lebih baik daripada kelompok menengahnya.
Tercatat,
peningkatan pengeluaran kalangan atas di desa mencapai 4,95 persen. Sementara
kalangan bawah dan menengah, masing-masing hanya tumbuh 2,93 persen dan 2,35
persen. Berdasarkan provinsi, ketimpangan tertinggi terjadi di Yogyakarta
mencapai 0,441. Diikuti Sulawesi Tenggara 0,409, Jawa Barat 0,407, Gorontalo
0,403, Sulawesi Selatan 0,397, Papua Barat 0,394, Sulawesi Utara 0,394, dan DKI
Jakarta 0,394. Sedangkan provinsi dengan ketimpangan terendah, yaitu Bangka
Belitung sebesar 0,281, Kalimantan Utara 0,303, Sumatera Utara 0,316, Sumatera
Barat 0,321, Aceh 0,325, Riau 0,327, dan lainnya.
Itu
masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah karena disparitas atau tingkat
ketimpangan penduduk masih terjadi di Indonesia dan tidak merata tingkat
ketimpangannya. Untuk itu, ke depannya
pemerintah perlu lebih memperhatikan kinerja pertumbuhan ekonomi agar lebih
berkualitas. Khususnya pertumbuhan ekonomi yang bisa meningkatkan sektor padat
karya, industri, dan pertanian. Karena itu bisa menciptakan lapangan kerja,
sehingga bisa memberikan upah bagi mereka. Kemudian, tetap memberikan akses
jaminan sosial berupa pendidikan dan kesehatan, serta bantuan sosial (bansos)
melalui subdisi dan Program Keluarga Sejahtera (PKH). Bansos tetap dibutuhkan ke
depan, khususnya di saat-saat tertentu, misalnya untuk BBM, listrik, dan pangan.
Kesimpulannya,
pemda-pemda di Indonesia, baik level provinsi, kabupaten, atau kota perlu menggerakkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sehingga pengentasan kemiskinan terutama
ketimpangan pendapatan yang diharapkan semakin baik. Salah satu model
pembangunan ekonomi lokal adalah dengan melakukan City Branding.
SUMBER
:
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.