KULIAH PUBLIK: Menggapai Pembangunan Indonesiasentris Melalui Kerja Kerja City Branding Otonomi Daerah.

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Saturday, July 21, 2018

Menggapai Pembangunan Indonesiasentris Melalui Kerja Kerja City Branding Otonomi Daerah.


Sejauhmana Tujuan Otonomi Daerah Melangkah?

Otonomi daerah dan desentralisasi yang diterapkan di Indonesia pascareformasi tahun 1998 ternyata belum menyejahterakan rakyat. Itu terjadi akibat akses sumber daya ekonomi masih dikuasai elite politik dan pengusaha. Kelompok masyarakat sipil belum benar-benar mandiri dan terlibat dalam pengambilan kebijakan.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di Jakarta, (Selasa, 29/11/2011) mengatakan bahwa Tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Rasio daerah penerima transfer dana tertinggi dengan daerah yang menerima transfer terendah berbeda 127 kali lipat. Transfer daerah tidak beranjak dari 31 persen sampai 34 persen dari total belanja negara. Padahal, sudah 70 persen urusan pemerintahan diserahkan ke daerah. Prinsip money follow the function belum dilaksanakan.

Jenis dana perimbanganpun semakin banyak berkembang di luar yang diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya tiga jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi tujuh jenis pada 2011. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktik mafia anggaran. Bahkan, terdapat 10 bidang yang sama pada dana penyesuaian, juga dialokasikan pada dana alokasi khusus. Skema dana perimbangan saat ini, justru memberikan insentif terhadap terjadinya inefisiensi terhadap belanja pegawai dan makin berkurangnya belanja publik. Dana alokasi umum yang sejatinya diberikan untuk keleluasaan bagi daerah mengalokasikannya sesuai kebutuhan, habis terserap untuk pegawai.

Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/ kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
  • Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  • Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  • Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  • Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  • Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  • Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  • Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  • Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
  • Mengemukakan kesadaran bernegara/ berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
  • Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
Ketua Pengurus Yappika Lili Hasanuddin dan Kepala Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Ani Sucipto dalam diskusi dan peluncuran buku Indeks Masyarakat Sipil di 16 Kabupaten/Kota yang digelar Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) di Jakarta, (Selasa, 6/12/2011), mengemukakan bahwa desentralisasi dan demokratisasi di daerah di Indonesia masih sebatas menimbulkan keriuhan politik. Masyarakat semakin bebas mengekspresikan diri dan menuntut kesetaraan politik. Namun, akses ke sumber daya ekonomi masih digenggam elite politik dan elite pengusaha. Secara bersamaan, tanggung jawab pemerintah lokal untuk menyejahterakan masyarakat juga masih rendah. Kelompok masyarakat sipil yang berdaya kemudian beralih aktif di partai politik sehingga masuk dalam lingkaran elite kekuasaan. Akibatnya, desentralisasi riuh rendah, tetapi masyarakat belum sejahtera. 

Sumber daya masyarakat sipil di daerah juga masih kurang. Hal ini adalah salah satu kesimpulan dari penelitian indeks masyarakat sipil di 16 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Secara umum, kesetaraan politik masyarakat sipil membaik, tetapi kesadaran lingkungan dan sumber daya masyarakat sipil masih rendah. Partisipasi masyarakat sipil, termasuk kaum perempuan, di daerah masih bersifat prosedural dan belum substansial. Ruang partisipasi memang terbuka, tetapi belum benar-benar dimanfaatkan untuk menjalankan substansi aspirasi masyarakat dalam kebijakan. Gerakan masyarakat sipil belum punya posisi tawar dalam kompetisi politik. Masyarakat tak kebagian sumber daya karena dikuasai elite. Pemberdayaan masyarakat harus diperjuangkan.

Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, (Rabu, 18/7/2018) menginginkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 memperbanyak instrumen insentif fiskal agar bisa mendorong kegiatan bisnis dan investasi. Insentif dibutuhkan sebagai perangsang agar investasi banyak masuk. Jokowi mengatakan, walau secara fundamental ekonomi dalam negeri pada 2019 nanti masih cukup bagus, tekanan masih besar. Utamanya, dari normalisasi suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) Fed Rate serta perang dagang yang berkobar antara AS dengan China. 

Selain memperbanyak insentif fiskal, agar ekonomi 2019 nanti tahan banting, Jokowi juga memerintahkan menterinya untuk meningkatkan sinergi dengan otoritas moneter dalam menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri. Kementerian dan lembaga diminta untuk fokus dan menyelesaikan program di tahun 2018. Proyek strategis dieksekusi tepat waktu dan tetap menjaga governance sehingga dampaknya bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Tak hanya itu, juga diminta untuk memfokuskan anggaran di bidang sumber daya manusia agar produktivitas ekonomi bisa lebih baik. Ini bisa dilakukan melalui transmisi anggaran kesehatan dan pendidikan.

Sebelumnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui kerangka utama dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Asumsi makroekonomi yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen hingga 5,6 persen, laju inflasi di angka 2,5 persen hingga 4,5 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar di angka Rp13.700 hingga Rp14 ribu per dolar AS. Sementara itu, asumsi harga minyak ditetapkan US$60 per barel hingga US$70 per barel, lifting minyak ditetapkan 722 ribu hingga 805 ribu barel per hari, dan lifting gas ditetapkan 1,21 juta hingga 1,3 juta setara barel minyak per hari.

Dari sisi postur fiskal, pendapatan negara dipasang pada rentang 12,7 persen hingga 13,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara belanja dipatok di rentang 14,2 persen hingga 15,4 persen dari PDB. Dengan demikian, pemerintah di tahun 2019 masih akan menganut postur fiskal ekspansif, dengan defisit APBN di rentang 1,6 persen hingga 1,9 persen dari PDB.

Lebih dari satu dasawarsa sejak otonomi daerah diberlakukan, sudah ada 70 persen urusan pusat yang didesentralisasikan ke daerah. Namun, urusan desentralisasi itu tak diikuti dengan desentralisasi fiskal sehingga beban kerja pemerintah daerah yang tinggi tak dibarengi dengan pembiayaannya. Gambaran perimbangan keuangan daerah dan pusat juga sangat buruk. Kesenjangan fiskal antardaerah sangat tinggi. Pemerintah pusat dinilai hanya mentransfer beban kerja ke daerah, tetapi tak diikuti dengan besaran jumlah pembiayaan untuk kegiatannya. Prinsip money follow function tidak terealisasi.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di Jakarta, (Selasa, 29/11/2011) mengungkapkan bahwa urusan yang didesentralisasikan itu seharusnya diikuti juga dengan uangnya untuk menyelenggarakan urusan itu. Walaupun urusannya sudah diserahkan sebanyak-banyaknya ke daerah, uang yang ditransfer ke daerah hanya sekitar 30 persen dari total belanja negara. Artinya, urusan diberikan, tetapi uangnya dipegang pusat. Lebih dari 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah juga mencerminkan buruknya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sekitar 80 persen pemerintah daerah di Indonesia sangat bergantung pada dana perimbangan. Kondisi ini diperburuk dengan sikap pemerintah daerah yang tidak memberi porsi besar untuk belanja publik. 

Di tengah ketergantungan dana ini, formulasi dana perimbangan itu justru memberikan insentif terjadinya pemborosan belanja pegawai dan juga pemekaran daerah. Temuan, ada 297 kabupaten/ kota atau separuh lebih total kabupaten/ kota di Indonesia memiliki belanja pegawai di atas 50 persen, melebihi belanja untuk pelayanan publik. Kondisi ini terjadi, karena formulasi penghitungan dana alokasi umum (DAU), salah satu komponen dana perimbangan, sejak awal memungkinkan terjadi pemborosan. Contohnya, formulasi penghitungan DAU antara lain dari besaran jumlah belanja pegawai di daerah. Hal ini juga memicu maraknya pemekaran daerah.

Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika mengutarakan, pemberian dana transfer daerah (DAU, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil) juga tak berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hanya sembilan provinsi yang menunjukkan semakin besar dana perimbangannya, semakin menurun tingkat kemiskinan di wilayah itu. Artinya, di provinsi lain itu tak terjadi.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengakui, selama ini, formulasi penentuan dana bagi hasil tak pernah jelas. Papua dan Aceh mendapat 70 persen, tetapi provinsi lain hanya mendapat 30 persen.

City Branding Pemda Harus Kuat

Dalam dunia bisnis, Brand atau merk sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Makanya banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat mempromosikan brand-nya ke masyarakat luas. Dengan kata lain agar brand-nya dapat menjadi Brand Equity. Oleh karena itu sebuah daerah membutuhkan Brand yang kuat. Diakui atau tidak di sektor publik, dengan penerapan otonomi daerah dan semakin nyata serta meluasnya trend globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berebut satu sama lain dalam hal:
- Perhatian (attention)
- Pengaruh (influence)
- Pasar (market)
- Tujuan Bisnis & Investasi (business & investment destination)
- Turis (tourist)
- Tempat tinggal penduduk (residents)
- Orang-orang berbakat (talents), dan
- Pelaksanaan kegiatan (events)

Secara definisi, City Brand adalah indentitas, symbol, logo, atau merk yang melekat pada suatu daerah. Sebuah pemda harus membangun Brand (brand building) untuk daerahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target daerah tersebut. Banyak keuntungan yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan City Branding, antara lain:
  • Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik
  • Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (specific purposes)
  • Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events)
  • Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang tinggi
Brand atau merk yang legendaris dan mampu bertahun puluhan bahkan ratusan tahun, tidak muncul begitu saja. Tetapi mereka melakukan langkah-langkah yang terencana, jelas, dan berbeda dengan para pesaingnya. Demikian juga agar mempunyai Brand yang kuat, sebuah daerah harus memiliki karakteristik khusus yang bisa dijelaskan dan diidentifikasikan. Misalnya tampak fisik kota, pengalaman orang terhadap daerah tersebut, dan penduduk seperti apa yang tinggal di daerah tersebut.

Langkah-langkah yang pantas dilakukan adalah :
  • Mapping Survey; meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah itu.
  • Competitive Analysis; melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun mikro daerah itu sendiri.
  • Blueprint; penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik logo, semboyan, ”nick names”, ”tag line”, da lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi komunikasinya.
  • Implementation; pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya.
Beberapa contoh kota di dunia yang dianggap memiliki City Brand yang kuat adalah New York, Paris, dan San Francisco. Mengapa kota-kota tersebut dianggap memiliki City Brand yang kuat? Karena kota-kota itu memiliki kualifikasi yang harus dimiliki oleh suatu brand yang kuat, yaitu mempunyai sejarah, kualitas tempat, gaya hidup, budaya, dan keragaman yang menarik dan bisa dipasarkan.

Saat pertama kali disurvei pada 1970 silam, kemiskinan Tanah Air mencapai 60 persen dari total penduduk. Kemudian turun ke kisaran 24,2 persen pada 1998 kala BPS mengubah cara perhitungan tingkat kemiskinan, yang hingga kini masih berlaku. Walhasil, jumlah orang miskin di negeri ini 'tinggal' 25,95 juta. Kemiskinan Indonesia yang dinahkodai Presiden Joko Widodo boleh berbangga hati untuk pertama kalinya menyentuh tingkat terendah di posisi 9,82 persen pada Maret 2018.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (Senin, 16/7) menyebut penurunan tingkat kemiskinan terjadi seiring derasnya gelontoran dana bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Penyaluran bansos pada Januari-Maret 2018 naik 87,6 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Padahal, pada Januari-Maret 2017, penyaluran bansos hanya tumbuh 3,39 persen (yoy). Itu karena ada peningkatan penyaluran program beras sejahtera (rastra) dan Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) pada kuartal I 2018.

Berdasarkan data BPS yang dihimpun dari berbagai sumber, tercatat bahwa realisasi distribusi rastra Januari sebanyak 99,65 persen dari alokasi pemerintah. Lalu, Februari 2018 mencapai 99,66 persen, dan Maret 99,62 persen. Walhasil, banjir bansos mampu meredam tekanan inflasi dan minimnya pertumbuhan pengeluaran per kapita masyarakat kalangan 40 persen bawah.

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai penurunan kemiskinan hingga di bawah 10 persen wajar lantaran banjirnya dana bansos. Langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan hanya solusi praktis, tanpa menyentuh akar permasalahan. Tapi program pemerintah tetap ampuh tekan kemiskinan. Namun keberhasilan pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan itu semu, karena bukan peningakatan pendapatan riil masyarakat. Bukan tidak mungkin tingkat kemiskinan penduduk akan naik jika dana bansos dikurangi.

Pengentasan kemiskinan dengan program bansos yang umumnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat miskin, bisa menimbulkan risiko.

Risiko pertama, masyarakat menjadi ketergantungan akan bansos. Kedua, anggaran pemerintah bisa jebol. Ketergantungan masyarakat akan bansos mulai mendarah daging di masyarakat. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang menurun, tapi pencari Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) justru kian marak. Hal itulah yang membuat mental masyarakat miskin kian miskin karena terlanjur senang menyandang predikat ini. Jangan sampai masyarakat senang mengaku miskin hanya untuk mencari kemudahan yang sebetulnya mereka tidak layak.

Risiko kedua, kantong negara jebol. Pemerintah, tentunya tak mau prestasinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan turun. Cara ampuhnya, hanya dengan menambah anggaran bansos dari tahun ke tahun. Penggunaan setiap rupiah pada program ini juga terbilang belum efektif. Hal ini terlihat dari besarnya peningkatan aliran bansos pada kuartal I tahun 2018, tetapi jumlah penduduk miskin hanya berkurang sekitar 630 ribu. Padahal, tahun sebelumnya anggaran bansos lebih kecil, tapi tetap bisa menurunkan lebih banyak penduduk miskin. Untuk itu, pemerintah perlu kembali mengevaluasi program bansos yang diberikan dan menggantinya dengan program-program yang lebih berkualitas dan produktif. Misalnya, dengan menggandeng badan sosial swasta nonprofit, seperti badan zakat. Kehadiran badan seperti itu lebih efektif karena tidak memberatkan keuangan negara, bersifat sukarela, dan dengan pendekatan budaya-agama.

Pemerintah, juga perlu mengevaluasi sinkronisasi program pengentasan kemiskinan yang lebih terstruktur dan berkualitas bersama Kementerian/ Lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda). Saat ini, pemda sebenarnya mendapatkan transfer daerah dan dana desa untuk mengentaskan kemiskinan dan pembangunan manusia di desa. Namun, tujuan anggaran tersebut belum direalisasikan secara maksimal. Jangan sampai pemda hanya membesar-besarkan data kemiskinan untuk mendapatkan dana desa, tapi kalau dilihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih jauh dari harapan.

Kemudian, pemerintah perlu membuat program pengentasan kemiskinan yang berorientasi pada pemberdayaan dan akses pasar. Sebenarnya, itu sudah ada dengan konsep padat karya non tunai. Sayang, implementasinya belum maksimal karena belum sinkron dengan birokrasi pemda dan masih sedikit penduduk yang bisa memanfaatkan program itu. Tapi yang perlu dipastikan adalah bukan sekedar kasih mereka pekerjaan, namun ketika sudah tidak ada proyek itu, mereka tetap punya keterampilan supaya bisa bekerja seterusnya.

Di sisi lain, bansos yang disalurkan pemerintah seharusnya bersifat insentif setelah masyarakat mengerjakan sesuatu, tidak benar-benar gratis. Misalnya, masyarakat harus mengikuti pelatihan keterampilan, namun di saat itu diberi uang makan dan uang saku untuk keluarga. Walhasil, mereka terpaksa untuk mengasah keterampilan dan tanpa disadari nantinta bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bonus keterampilan yang bisa digunakan untuk bekerja. Karena kunci utama pengentasan kemiskinan itu sebenarnya pendidikan, kalau mereka tidak punya pendidikan, keterampilan. Tapi, sekarang yang terjadi anggaran pendidikan yang terus digelontorkan juga tak efektif.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengkhawatirkan penurunan tingkat kemiskinan saat ini tak bersifat jangka panjang karena hanya mengandalkan bansos. Sedangkan bansos, kerap bersinggungan dengan kebijakan populis pada tahun politik, seperti yang terjadi saat ini, jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2019 mendatang. Pembengkakan anggaran bansos hanya untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang sementara ini dikhawatirkan membuat beban APBN semakin berat. Apalagi, pemerintah harus menutup APBN dengan menambah utang. Harus cari balance agar produktif bansosnya. Pengentasan kemiskinan jangka panjang sejatinya bisa dilakukan dengan memaksimalkan infrastruktur yang tengah dipercepat saat ini. Misalnya, dengan membangun embung, irigasi, jalan tol untuk akses logistik, dan lainnya. Selain itu, perlu pula memaksimalkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), sehingga menjadi sumber pekerjaan baru bagi masyarakat. Dengan begitu, tingkat pendapatan bisa meningkat dan menurunkan kemiskinan. Itu juga berdampak pada pencegahan urbanisasi dan pemerataan ekonomi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia (gini ratio) turun tipis dari 0,391 persen pada September 2017 menjadi menurun menjadi 0,389 pada Maret 2018. Penurunan ini terjadi cukup konsisten sejak Maret 2012. Turunnya gini ratio tersebut seiring menurunnya tingkat kemiskinan hingga sebesar 9,82 persen pada Maret 2018.

Kepala BPS Suhariyanto (Senin, 16/7/2018) mengatakan faktor utama yang menurunkan gini ratio, yaitu terjadinya kenaikan pengeluaran oleh masyarakat yang menandakan ada peningkatan pada pendapatannya juga. Secara nasional, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah lebih cepat dibandingkan kelompok menengah dan atas. Tingkat kemiskinan memang tercatat paling rendah sejak krisis 1998 lalu, tapi tak demikian halnya dengan gini ratio. Tingkat ketimpangan yang lebih rendah pernah dialami Indonesia pada September 2011 sebesar 0,3888. Peningkatan pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terendah mencapai 3,06 persen. Sedangkan bagi kelompok 40 persen menengah, tingkat pengeluaran hanya tumbuh 2,54 persen dan kelompok 20 persen teratas tumbuh 2,59 persen.

Kendati secara nasional gini ratio menurun, tetapi berdasarkan jenis daerah belum merata. Sebab, gini ratio di pedesaan justru meningkat dari 0,320 pada September 2017 menjadi 0,324 pada Maret 2018. Sedangkan di perkotaan berhasil menurun dari 0,404 menjadi 0,401 pada periode yang sama. Di daerah perkotaan, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah lebih cepat dibandingkan kelompok menengah dan kelompok atas. Rinciannya, jumlah pengeluaran kelompok bawah di kota meningkat 2,49 persen. Lalu, kelompok menengah tumbuh 2,17 persen, dan kelompok atas banyak 0,94 persen. Sedangkan sebaliknya, di daerah pedesaan, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah tidak secepat kelompok atas, meski masih lebih baik daripada kelompok menengahnya.

Tercatat, peningkatan pengeluaran kalangan atas di desa mencapai 4,95 persen. Sementara kalangan bawah dan menengah, masing-masing hanya tumbuh 2,93 persen dan 2,35 persen. Berdasarkan provinsi, ketimpangan tertinggi terjadi di Yogyakarta mencapai 0,441. Diikuti Sulawesi Tenggara 0,409, Jawa Barat 0,407, Gorontalo 0,403, Sulawesi Selatan 0,397, Papua Barat 0,394, Sulawesi Utara 0,394, dan DKI Jakarta 0,394. Sedangkan provinsi dengan ketimpangan terendah, yaitu Bangka Belitung sebesar 0,281, Kalimantan Utara 0,303, Sumatera Utara 0,316, Sumatera Barat 0,321, Aceh 0,325, Riau 0,327, dan lainnya.

Itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah karena disparitas atau tingkat ketimpangan penduduk masih terjadi di Indonesia dan tidak merata tingkat ketimpangannya.  Untuk itu, ke depannya pemerintah perlu lebih memperhatikan kinerja pertumbuhan ekonomi agar lebih berkualitas. Khususnya pertumbuhan ekonomi yang bisa meningkatkan sektor padat karya, industri, dan pertanian. Karena itu bisa menciptakan lapangan kerja, sehingga bisa memberikan upah bagi mereka. Kemudian, tetap memberikan akses jaminan sosial berupa pendidikan dan kesehatan, serta bantuan sosial (bansos) melalui subdisi dan Program Keluarga Sejahtera (PKH). Bansos tetap dibutuhkan ke depan, khususnya di saat-saat tertentu, misalnya untuk BBM, listrik, dan pangan.

Kesimpulannya, pemda-pemda di Indonesia, baik level provinsi, kabupaten, atau kota perlu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal.  Sehingga pengentasan kemiskinan terutama ketimpangan pendapatan yang diharapkan semakin baik. Salah satu model pembangunan ekonomi lokal adalah dengan melakukan City Branding.
SUMBER :


No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.