Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang paruh pertama 2018, neraca
perdagangan Indonesia defisit US$1,02 miliar. Defisit terjadi karena secara
kumulatif ekspor hanya sebesar US$88,02 miliar sedangkan impor paruh pertama
tahun ini mencapai US$89,04 miliar. Sebagai upaya memperketat pengawasan impor,
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan
berkoordinasi dengan Kementerian/ Lembaga
terkait. Di sektor minyak dan gas (migas), misalnya, pengawasan bisa dilakukan
mulai dari evaluasi Rencana Impor Barang (RIB) suatu proyek. Jika barang tidak
tercantum dalam RIB, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak bisa mengizinkan
impor barang tersebut untuk masuk. Supaya tidak ada lagi barang yang seharusnya
tidak diimpor masuk dan tahu-tahu sudah masuk ke industri.
Jika
kebijakan itu diimplementasikan impor Indonesia bisa terpangkas sekitar US$20
miliar atau sekitar Rp290 triliun per tahun (asumsi kurs Rp14.500 per dolar
AS). Langkah itu juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi tekanan
terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang telah menembus Rp14.500 ribu
per dolar AS. Salah satu industri yang menjadi perhatian pemerintah adalah
industri migas, khususnya sektor hulu, yang banyak mengimpor pipa.
Wakil
Menteri Keuangan Mardiasmo usai menghadiri rapat koordinasi di kantor
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, (Selasa, 24/7/2018) mengatakan Pemerintah
bakal memperketat pengawasan impor bahan baku atau barang modal yang bisa
diproduksi di dalam negeri guna memperbaiki neraca perdagangan Indonesia yang
tengah mengalami defisit. Kalau diputuskan barang bisa diproduksi di dalam
negeri, barang tidak bisa masuk. Kriteria barang yang bisa diimpor ada tiga,
yaitu barang tidak tersedia di dalam negeri, barang ada tapi kuantitas tidak
mencukupi, dan/atau barang ada tetapi tidak memenuhi spesifikasi yang
dibutuhkan.
Wakil
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengungkapkan
Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) industri migas dari tahun ke tahun terus
meningkat. Pada 2016, rata-rata penggunaan TKDN industri migas sebesar 55
persen. Selang setahun, rata-rata TKDN naik jadi 58 persen. Tahun ini, TKDN
industri migas sekitar 64 persen. Industri migas merupakan industri yang sangat
terikat oleh peraturan. Bisa jadi, spesifikasi pipa yang diimpor memang belum
bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri. Kalau spesifikasinya tidak masuk
susah. Keselamatan adalah nomor satu.
Sebelumnya,
jika ingin mendatangkan barang dari luar negeri, kepala badan internasional
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada menteri melalui Direktur
Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk ,setelah mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Sekretaris Negara. Namun dengan terbitnya
dua peraturan PMK bernomor 148 dan 149 tahun 2015 proses tersebut dihilangkan. Peraturan
PMK bernomor 148 tahun 2015 yang mengatur pembebasan bea masuk atas impor
barang untuk keperluan badan internasional beserta perjabatnya yang bertugas di
Indonesia. PMK nomor 149 tahun 2015 yang mengatur pembebasan bea masuk dan
cukai atas impor barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia. Peraturan itu sebagai aturan administrasi bea masuk atas
impor barang untuk keperluan badan internasional dan pejabat perwakilan negara
asing yang bertugas di Indonesia.
Direktur
Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, (Senin,
17/8/ 2015) menjelaskan, terbitnya dua peraturan tersebut merupakan harmonisasi
dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2015 tentang Barang Kena Pajak
yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk. Itu menyesuaikan dengan kebijakan
pajak sebelumnya, jadi satu kesatuan. Jadi harmonisasi antara kebijakan PPN
dengan kebijakan kepabeanan. Secara historis, contohnya, pejabat yang ingin
mendatangkan barang keperluan dinas selama ini harus mendapat legitimasi dari
otoritas kepabeanan melalui surat atau formulir. Ke depan tidak ada lagi, tidak
perlu lagi ke Bea Cukai karena dia tidak termasuk pembelian impor, sehingga
mereka langsung berurusan dengan pajak dan di kepolisian. Tidak ada potensi
kehilangan penerimaan negara dari penerapan aturan tersebut. Itu hanya untuk
kemudahan-kemudahan secara administrasi saja.
Kemudian, pada
bulan Juni 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus perdagangan
Indonesia tercatat sebesar US$1,63 miliar. Surplus tersebut naik signifikan
dibandingkan bulan sebelumnya yang masih mencapai US$470 juta. Neraca
perdagangan pada bulan Juni, Indonesia mencatatkan ekspor sebesar US$11,64
miliar dan impor US$10,1 miliar. Dengan demikian, sepanjang semester I BPS
mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$7,63 miliar.
Kepala BPS
Suhariyanto (Senin, 17/7/2017) mengatakan, surplus yang dicatatkan Indonesia
pada semester I tahun ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 2012. Yang
tinggi dulu pernah terjadi di tahun 2012 US$15 miliar, setelah kita lacak
capaian tahun ini yang tertinggi sejak tahun 2012. Tentu saja ini perkembangan
yang menggembirakan.
Jika dirinci
lebih jauh, maka surplus neraca perdagangan Juni tahun ini disebakan oleh
penurunan nilai impor Indonesia yang mencapai US$10,01 miliar atau turun 27,26
persen dibanding Mei 2017, demikian pula apabila dibandingkan Juni 2016 turun
17,21 persen. Impor nonmigas Juni 2017 tercatat hanya mencapai US$8,40 miliar
turun 29,88 persen dibanding Mei 2017, demikian juga bila dibanding Juni 2016
turun 18,65 persen. Untuk impor migas Juni 2017 mencapai US$1,61 miliar atau
turun 9,79 persen dibanding Mei 2017 dan turun 8,80 persen jika dibanding Juni
2016. Penurunan impor migas ini dipicu oleh turunnya impor semua komponen mulai
dari minyak mentah 7,20 persen, hasil minyak 11,23 persen dan gas hingga 8,7
persen.
Sedangkan
peningkatan impor nonmigas terbesar Juni 2017 dibanding Mei 2017 hanya terjadi
pada beberaoa jenis barang seperti golongan kapal laut dan bangunan terapung
US$171,1 juta (295,51 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan
mesin dan peralatan listrik US$559,1 juta (35,15 persen). Pangsa impor non
migas impor kita berasal dari China, disusul oleh Jepang dan Thailand.
Sementara
itu, nilai ekspor Indonesia Juni 2017 juga tercatat menurun hingga 18,82 persen
dibanding Mei 2017 mencapai US$11,64 miliar. Demikian juga apabila dibandingkan
dengan Juni 2016 menurun 11,82 persen.
Ekspor
nonmigas Juni 2017 mencapai US$10,35 miliar, turun 20,66 persen dibanding Mei
2017, demikian juga dibanding ekspor Juni 2016 turun 13,85 persen. Secara
kumulatif nilai ekspor Indonesia sepanjang Januari hingga Juni 2017 mencapai
US$79,96 miliar atau meningkat 14,03 persen dibanding periode yang sama tahun
2016, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$72,36 miliar atau meningkat 13,73
persen.
Penurunan
terbesar ekspor nonmigas Juni 2017 terhadap Mei 2017 terjadi pada lemak dan
minyak hewani atau nabati sebesar US$308,2 juta (16,48 persen), sedangkan
peningkatan terbesar terjadi pada bubur kayu/pulp sebesar US$32,6 juta (20,05
persen).
Menurut
sektornya, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan sepanjang tahun 2017 naik
10,05 persen dibanding periode yang sama tahun 2016, demikian juga ekspor hasil
pertanian naik 23,44 persen dan ekspor hasil tambang dan lainnya naik 37,23
persen.
Ekspor
nonmigas Juni 2017 terbesar adalah ke China yaitu US$1,35 miliar, disusul
Amerika Serikat US$1,19 miliar dan Jepang US$1,01 miliar, dengan kontribusi
ketiganya mencapai 34,35 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara)
sebesar US$1,19 miliar.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor Juni lalu sebesar US$10,01
miliar atau menurun sekitar 27,26 persen dibandingkan Mei 2017 dan turun
sekitar 17,21 persen dari Juni 2016. Sedangkan, ekspor Juni sebesar US$11,64
miliar. Dengan begitu, Indonesia masih mencatatkan surplus mencapai US$1,63
miliar atau meningkat sekitar US$470 juta dari bulan sebelumnya.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (Selasa,
18/7.2017) menilai penurunan nilai impor di Juni lalu sedikit banyak
dipengaruhi oleh masa libur lebaran yang cukup panjang. Libur panjang membuat
mesin produksi industri sempat terhenti dan membuat serapan bahan baku, modal,
dan konsumsi dari impor sedikit menurun. Kendati begitu, kondisi neraca
perdagangan secara keseluruhan, baik dari sisi ekspor maupun impor masih berada
pada kondisi yang baik dan memberikan topangan yang besar bagi pertumbuhan
ekonomi. Penyebabnya karena masalah lebaran yang cukup panjang. Tapi momentum
pertumbuhan ini cukup positif. Dibandingkan tahun lalu, ekspor naik 14 persen
dan impor naik 9 persen. Kalau dilihat dari komposisinya, momentum pertumbuhan
ekonomi masih positif di semester itu dan akan dijaga di semester II.
Kepala BPS
Suhariyanto mengatakan, penurunan impor dipicu oleh semua komponen. Mulai dari
minyak mentah 7,2 persen, hasil minyak 11,23 persen, dan gas hingga 8,7 persen.
Secara rinci, impor minyak dan gas bumi
(migas) Juni 2017 mencapai US$1,61 miliar atau turun 9,79 persen dibanding Mei
2017 dan turun 8,8 persen jika dibanding Juni 2016. Sedangkan impor non-migas
Juni 2017 tercatat hanya mencapai US$8,40 miliar turun 29,88 persen dibanding
Mei 2017, demikian juga bila dibanding Juni 2016 turun 18,65 persen.
Sementara
itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu)
telah melakukan pemblokiran izin terhadap 9.568 perusahaan yang tidak melakukan
kegiatan impor selama 12 bulan. Kebijakan ini dilakukan sebagai bagian upaya
penguatan reformasi kepabeaan dan cukai dalam memperbaiki pelayanan kepada
publik dan penegakan hukum.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Gedung Djuanda I
Kemenkeu, (Senin, 3/4/2017) mengatakan nama perusahaannya ada, cuma tidak
melakukan kegiatan. Selain itu, DJBC juga telah mencabut izin 50 perusahaan
penerima fasilitas Gudang Berikat serta 88 penerima fasiltas Kawasan Berikat
karena dianggap tidak memenuhi ketentuan. Ini tujuannya untuk membersihkan yang
buruk-buruk sehingga yang baik memang patut mendapatkan pelayanan yang baik.
Bukan mau mengintimidasi.
Melalui
upaya penertiban iniu, kepatuhan pengguna jasa diharapkan akan meningkatkan
serta mengamankan fasilitas fiskal yang diberikan. Dengan demikian, ke depan,
optimalisasi penerimaan DJBC dapat tercapai, tercipta perbaikan data statistik
impor (devisa) dan perbaikan waktu layanan
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.