KULIAH PUBLIK: Internasional

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Showing posts with label Internasional. Show all posts
Showing posts with label Internasional. Show all posts

Wednesday, November 10, 2021

Percepatan Industri 4.0 untuk Industrialisasi yang Inklusif dan Berkelanjutan


Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama United Nations Industrial Development Organization/ Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) kembali menggelar Konferensi Regional Pembangunan Industri atau Regional Conference on Industrial Development (RCID) yang dilaksanakan untuk kedua kalinya pada 10-11 November 2021 di Hotel Fairmont, Jakarta. RCID ke-2 akan diselenggarakan secara hybrid atau kombinasi antara kehadiran fisik dengan pertemuan secara virtual, dengan mengundang pejabat tinggi di bidang perindustrian dari 26 negara anggota UNIDO dan dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo.

Konferensi kedua ini merupakan konferensi kedua yang merupakan tindak lanjut dari suksesnya penyelenggaraan RCID yang pertama yang dilaksanakan pada 8-9 November 2018 di Bali yang menghasilkan "Bali Industry 4.0 Agenda". Konferensi pertama tersebut menghasilkan “Bali Agenda on Industry 4.0” yang disepakati oleh peserta dan merefleksikan keinginan untuk mendorong pemerintah negara-negara Asia Pasifik untuk mempromosikan kerjasama lebih lanjut dalam menghadapi tantangan dan mengambil peluang Industry 4.0, pentingnya menciptakan a level of playing field di kawasan, serta membangun platform knowledge sharing bagi negara berkembang untuk belajar dari kawasan yang lebih maju ekonominya.

Penyelenggaraan konferensi ini mengawali persiapan pertemuan Trade Industry and Investment Working Group (TIIWG) G-20 yang akan berlangsung pada tahun 2022 sebagai rangkaian dari presidensi Indonesia di G20 yang akan mengambil tema “Recover Together, Recover Stronger“. Konferensi yang diikuti oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Kali ini Mengusung tema “Acceleration of Industry 4.0 for Inclusive and Sustainable Industrialization” (Percepatan Industri 4.0 untuk Industrialisasi yang Inklusif dan Berkelanjutan).

Penyelenggaraan RCID ke-2 berfokus pada tantangan dan peluang penerapan Industri 4.0 di kawasan Asia Pasifik pada masa pandemi Covid-19. Tujuannya untuk saling bertukar wawasan dan pengalaman dalam upaya mempercepat pemulihan sektor industri dan ekonomi di kawasan melalui penerapan Industri 4.0.

Ada empat tema besar yang akan diangkat dalam konferensi ini, yaitu peningkatan partisipasi Industri Kecil Menengah (IKM) pada rantai pasok global atau Global Value Chains (GVC), penguatan Sumber Daya Manusia (SDM), Strategi Transisi Industri Menuju Industri Hijau dan Ekonomi Sirkular, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Selanjutnya, RCID juga akan membahas topik-topik meliputi ekosistem transformasi digital, masalah inklusivitas dan keberlanjutan serta upaya kerja sama regional untuk mempercepat adopsi Industri 4.0.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita kepada para jurnalis dalam kegiatan media briefing jelang pelaksanaan RCID di Jakarta, Senin (8/11), mengatakan : “Penyelenggaraan RCID ke-2 akan menjadi tonggak penting menuju persiapan pertemuan Trade Industry and Investment Working Group (TIIWG) G-20 yang akan berlangsung pada tahun 2022 sebagai rangkaian dari presidensi Indonesia di G20 yang akan mengambil tema "Recover Together, Recover Stronger" di bawah kepresidenan Indonesia. Karenanya, RCID ke-2 dikemas sebagai forum pendahuluan untuk membahas isu prioritas sekitar industri dan mendapatkan masukan dari negara-negara Asia Pasifik anggota UNIDO, yang kemudian akan diangkat pada pertemuan TIIWG dalam Presidensi G-20 Indonesia pada tahun 2022 tersebut. Melalui RCID, Pemerintah Indonesia berupaya membina kerja sama di Asia Pasifik untuk penerapan dan pemanfaatan Industri 4.0 untuk pembangunan industri yang inklusif dan berkelanjutan atau Inclusive and Sustainable Industrial Development (ISID) di masa pandemi Covid-19. Konferensi ini sangat penting untuk diikuti, tidak hanya oleh para pelaku usaha, aparatur institusi/lembaga pemerintah, dan akademisi, tetapi juga masyarakat. Hal ini agar berbagai elemen yang ada dapat saling mendukung untuk mempercepat penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0 sekaligus akselerasi pemulihan ekonomi Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Menurut Esam Odeh Saoud Alqararah, UNIDO’s Representative for Indonesia and Timor Leste,  bahwa UNIDO bangga dan merasa terhormat dapat bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk Konferensi Regional kedua tentang pengembangan industri. Pada konferensi kedua ini, UNIDO bertujuan untuk lebih mempromosikan kerja sama global dan regional dalam rangka membantu menuai manfaat dari penerapan industri 4.0. Konferensi ini akan memainkan peran penting untuk mempercepat pemulihan industri pascapandemi yang inklusif dan berkelanjutan di kawasan Asia dan Pasifik. Kegiatan ini juga merupakan peristiwa yang sangat strategis dan tepat waktu dalam konteks Kepresidenan G20 Indonesia pada tahun 2022. UNIDO menegaskan kembali dukungan penuhnya kepada Pemerintah Indonesia dalam upaya ini, dan siap untuk berkontribusi pada pembahasan G20 sebagai mitra pengetahuan yang terpercaya. Temuan utama dari diskusi mendatang akan mewakili kebijakan dan kontribusi strategis yang berharga terhadap Presidensi G20 Indonesia.

UNIDO berharap konferensi kedua ini dapat berkontribusi pada penguatan kerja sama regional di Asia-Pasifik untuk mempercepat adopsi teknologi Industri 4.0 dalam mendukung pembangunan industri yang inklusif dan berkelanjutan serta Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. UNIDO yakin bahwa platform ini akan berfungsi untuk mengidentifikasi area prioritas yang dapat membantu kawasan memanfaatkan peluang Revolusi Industri Keempat, selain memberikan masukan regional Asia dan Pasifik untuk diskusi G20 pada 2022.

Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Eko S.A. Cahyanto mengemukakan, di sela gelaran RCID ke-2 ini, akan dilakukan penandatanganan Indonesia-UNIDO Country Programme (IUCP) 2021-2025 antara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dengan Director General of UNIDO, Li Yong yang akan dilakukan secara virtual. Selain itu, akan diisi dengan diskusi dengan menghadirkan berbagai narasumber, di antaranya dari Kemenperin, UNIDO, KADIN Indonesia, Sekretariat ASEAN, pelaku industri, dan akademisi. Pada puncak acara, disampaikan rekomendasi bersama sebagai upaya kawasan untuk mempercepat adopsi Industri 4.0 untuk ISID serta kegiatan tindak lanjut RCID ke-2

Isu Industri 4.0 jadi fokus utama Presidensi G20. Indonesia Serukan Kerja Sama Internasional di Bidang Industri 4.0 dalam Forum PBB, dalam rangka menghadapi tantangan sekaligus mengoptimalkan manfaat dari revolusi industri keempat yang juga dikenal dengan Industri 4.0. Kerja sama itu antara lain dapat dilakukan melalui organisasi internasional yang telah ada, seperti Organisasi Pembangunan Industri PBB (United Nations Industrial Development Organization/UNIDO). Seruan itu disampaikan delegasi Indonesia dalam Sidang Umum UNIDO di Abu Dhabi, Persaturan Emirat Arab, tanggal 3-7 November 2019, yang dipimpin oleh Dubes/Wakil Tetap RI untuk PBB di Wina, Dr. Darmansjah Djumala.

Indonesia percaya bahwa UNIDO dapat memainkan peran penting dalam membantu pengembangan industri untuk beradaptasi dan mendapatkan manfaat dari era Industri 4.0. Peran UNIDO tidak hanya menyediakan keahlian, tetapi juga memetakan mitra pembangunan dan memobilisasi sumber daya dalam rangka meningkatkan kapasitas sektor manufaktur dan usaha kecil dan menengah (UKM). Indonesia menegaskan kesiapan untuk berkontribusi sekaligus mempererat kerja sama dengan UNIDO. Di antara inisiatif kerja sama RI-UNIDO yang telah diwujudkan adalah penyelenggaraan Konferensi Regional tentang Pembangunan Industri (1st Regional Conference on Industrial Development/RCID) di Bali bulan November 2018. Forum ini menjadi wadah bagi negara-negara di Kawasan Asia Pasifik untuk bertukar pandangan, kebijakan, pengetahuan, dan gagasan dalam mengoptimalkan peluang dan manfaat revolusi industri keempat. Forum menghasilkan 'Bali Agenda on Industry 4.0' yang berisi komitmen para peserta konferensi untuk menjalin kolaborasi di bidang Industri 4.0. Indonesai percaya bahwa upaya untuk mencapai pembangunan industri yang bersifat inklusif dan berkelanjutan tidak dapat dilakukan secara maksimal tanpa adanya kerja sama di level regional dan internasional. RCID merupakan kontribusi Indonesia untuk mendorong kerja sama tersebut.

Upaya-upaya telah yang dilakukan Indonesia dalam rangka menghadapi era Industri 4.0, seperti peluncuran "Making Indonesia 4.0" tahun 2018 dengan fokus pada 5 industri andalan (makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, dan produk kimia) dan penyusunan "Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) untuk mengukur kesiapan sektor industri dalam menerapkan Industri 4.0. Upaya lain adalah dengan mengembangkan Program Revitalisasi Vokasi Industri 2020-2024 dengan fokus pada penguatan kurikulum dan modul belajar untuk 175 politeknik, 2.612 sekolah vokasi, dan kurang lebih 1,5 juta pekerja. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses dan kesempatan yang setara dalam mengoptimalkan manfaat Industri 4.0.

Sidang Umum merupakan forum tertinggi di UNIDO yang dilaksanakan secara rutin setiap dua tahun dan diikuti oleh seluruh negara anggota yang saat ini berjumlah 170. Biasanya pertemuan tersebut dilangsungkan di markas UNIDO di Wina. Namun kali ini pertemuan dilangsungkan di Abu Dhabi atas permintaan Persatuan Emirat Arab selaku tuan rumah. Ini adalah kali keempat Sidang Umum UNIDO dilangsungkan di luar Wina setelah Bangkok, Thailand (1987), Yaoundé, Kamerun (1993), Lima, Peru (2013).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan tiga kunci arah pembangunan industri, yakni memperkuat sektor Kesehatan demi akses global terhadap vaksin dan obat-obatan, transformasi digital demi industri 4.0, dan transisi energi demi penerapan green energy. Ketiga hal tersebut yang akan menjadi pembahasan utama dalam Konferensi Regional Pengembangan Industri (RCID) ke-2. Forum ini juga menjadi permulaan untuk merumuskan sejumlah langkah terkait industri di kawasan Asia Pasifik. Pasalnya, pandemi Covid-19 memberikan dampak besar bagi kehidupan masyarakat termasuk pada industri.

RCID akan menjadi tempat aspirasi negara-negara yang tidak masuk dalam G20. Negara-negara ini menurutnya juga harus melakukan pemulihan ekonomi dan mendapatkan perhatian dari masyarakat global. Sudah 2 tahun bergulat dengan Covid-19 ada rupa kisah cerita. Pandemi menciptakan krisis multidimensi hingga ekonomi dan sosial. Meski demikian setiap negara perlahan membangun resiliensi hingga beradaptasi untuk pulih. Momentum ini bisa menjadi cara untuk melihat dan mempelajari kekuatan yang dimiliki, untuk mempersiapkan ancaman atau pandemi yang lain di masa mendatang. Sehingga diharapkan konferensi RCID berlangsung produktif dan menghasilkan rekomendasi bagi upaya kawasan untuk mempercepat adopsi Industri 4.0 untuk Inclusive Sustainable Industrial Development (ISID), meningkatkan kesiapan UKM di kawasan untuk penyerapan Industri 4.0 di masa Covid-19, serta menyusun kerangka ekosistem Industri 4.0 sebagai acuan global untuk mempercepat Industri 4.0 bagi ISID.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kalau Industri 4.0 telah membuat disrupsi ekonomi sehingga ke depan isu berkelanjutan di sirkulasi ekonomi sangat penting dan menjadi isu awal. Di sisi lain, kalau saat ini banyak industri juga mulai memikirkan isu berkelanjutan, buktinya banyak industri pengemasan dan plastik mulai berubah. Sehingga ke depan industri hanya tinggal memiliki energi yang mana yang akan digunakan. Apalagi Indonesia ini sumber energi yang punya banyak dan bisa digabungkan, misal gas, biotermal, dan hydro meski tidak dipungkiri yang terbanyak masih PLTU. Airlangga sudah membahas hal ini dengan ADB sehingga seharusnya ada beberapa isu akan bisa segera selesai. Untuk konferensi ini, diharapkan akan ada terobosan dalam komitmen percepatan implementasi Industri 4.0, untuk industri yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca juga :

https://kemlu.go.id         

https://id.berita.yahoo.com

https://pelakubisnis.com

www.industry.co.id

Sunday, June 09, 2019

Cara G20 Mengejar Pajak Perusahaan Internet Raksasa Dunia

G20 (atau Kelompok Dua Puluh) adalah forum internasional untuk pemerintah dan gubernur bank sentral dari 19 negara dan Uni Eropa. Didirikan pada tahun 1999 dengan tujuan untuk membahas kebijakan yang berkaitan dengan promosi stabilitas keuangan internasional, telah memperluas agendanya sejak 2008 dan kepala pemerintahan atau kepala negara, serta menteri keuangan dan menteri luar negeri, telah secara berkala memberikan di puncak sejak itu. Ia berupaya mengatasi masalah yang melampaui tanggung jawab organisasi manapun.

G20 sejatinya sudah menugaskan Organisation for Economic Co-operation and Development [OECD] untuk melihat kembali kepatuhan pajak dari perusahaan internet yang mengambil untung besar di negara-negara dengan hukum pajak yang cukup longgar, seperti di Irlandia. Sebab, perusahaan tersebut diduga tidak membayar pajak sama sekali, meski mendapatkan keuntungan yang besar.

Kepala OECD Angel Gurria mengatakan hasil penugasan dari G20 sejatinya sudah menghasilkan peta jalan terkait solusi pengejaran pajak perusahaan internet dalam jangka panjang mulai 2020. Peta jalan itu telah disepakati oleh 129 negara. Namun, proses pengenaan pajak belum juga diimplementasikan.

Sebelumnya, para menteri keuangan yang menjadi perwakilan masing-masing negara memang telah membicarakan topik pengenaan pajak bagi Google, Facebook, dan perusahaan internet lainnya di dunia.

Pelbagai negara anggota forum G20 kembali membahas cara untuk memajaki perusahaan internet raksasa, seperti Google dan Facebook. Topik tersebut dibahas di pertemuan rutin yang bertajuk G20 Ministerial Symposium on International Taxation digelar di Fukuoka, Jepang pada Sabtu (8/6/2019) waktu setempat. Dari pertemuan itu, mayoritas menteri keuangan yang mewakili negaranya masing-masing turut mempertimbangkan untuk mengejar pajak perusahaan internet dari tiap perusahaan yang tersebar di seluruh dunia.

Dalam pertemuan tersebut, turut menjadi panelis, yaitu Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria, Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, dan Menteri Keuangan China Liu Kun. Kemudian juga hadir, Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Inggris Phillip Hammond, dan Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin.

Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire meminta para negara anggota G20 segera menindaklanjuti peta jalan tersebut dengan lebih serius.
"Kita harus bergegas. Jadwal yang tepat adalah menemukan hasil kompromi pada akhir tahun ini," ungkapnya dalam diskusi dengan para pejabat G20.
Pandangan Le Maire juga diamini oleh Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond. Ia ingin pungutan pajak terhadap perusahaan internet segera dilakukan sebagai bentuk keadilan bagi perusahaan-perusahaan di sektor lain yang sudah menaati ketentuan perpajakan. Artinya, pengenaan pajak tidak hanya menyasar pada bisnis di kantor pusat perusahaan internet saja.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin berpandangan keinginan Perancis dan Inggris untuk segera memungut pajak Google dan Facebook sejatinya masih terhambat dari kesiapan konsensus yang bisa merumuskan hukum untuk jenis pajak tersebut. Sebab, para pejabat harus pula memikirkan dampak pengenaan pajak bagi perusahaan internet terhadap perusahaan di sektor lain. Meski begitu, ia mengaku cukup menghargai isu yang digawangi oleh kedua negara.
"Kami tidak mencari cara untuk menulis ulang seluruh kode pajak, tetapi kami perlu melihat keseimbangan antara apa yang mungkin menjadi masalah dalam digital dan bagaimana lingkungan baru ini akan mempengaruhi perusahaan non digital," ungkapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Instagram pribadinya, @smindrawati usai menghadiri pertemuan negara-negara anggota forum G20, mengungkap cara untuk menagih pungutan pajak dari perusahaan internet raksasa, seperti Google, Facebook, dan lainnya. Caranya, dengan mematangkan definisi perusahaan internet sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) hingga formula dan dasar perhitungan pungutan pajak.

Cara utama untuk mengenakan kewajiban pajak bagi perusahaan internet adalah dengan meredefinisikan status Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi perusahaan tersebut. Sebab, status itu membuat pemerintah bisa mengenakan pajak atas operasional bisnis perusahaan di negara lain. Sekalipun, kantor pusatnya tidak di negara tersebut. Misalnya, Google berkantor pusat di Amerika Serikat, namun melakukan operasional bisnis di Indonesia, maka otoritas pajak di Tanah Air bisa memajaki Google karena sudah berstatus BUT.
"Salah satu aspek perpajakan adalah tidak hanya berdasarkan kehadiran secara fisik dari para pengusaha yang melakukan kegiatan di Indonesia. Oleh karena itu, saat ini prioritas tertinggi adalah melakukan redefinisi dari BUT," tulis Sri Mulyani.

Cara lain, adalah dengan membentuk formulasi kebijakan bersama yang disepakati oleh antar negara-negara G20. Formulasi kebijakan itu berisi soal perhitungan kualitatif mengenai persentase pasti dari tarif pajak bagi perusahaan internet.

Kemudian, katanya, perlu juga untuk mendefinisikan ketentuan hukum terkait kebijakan pengenaan pajak rendah atau bahkan tanpa pajak sama sekali. Sebab, kebijakan ini diterapkan oleh negara tertentu dan menjadi penghambat langkah untuk pengenaan pajak bagi perusaahan internet secara serempak.
"Tantangan lain adalah bagaimana mendefinisikan low or no tax jurisdictions dan juga bagaimana mengalokasikan hak pemajakan, terutama formula dan dasar perhitungannya," terangnya.

Sri Mulyani juga menekankan pentingnya kemajuan dalam hal pengenaan pajak bagi perusahaan internet. Pasalnya, pengguna internet di seluruh dunia terus meningkat dari waktu ke waktu. Begitu pula di Indonesia.

Akan sukses kah? Kita simak fakta selanjutnya

Sumber : www.cnnindonesia.com

Perang Tarif AS Rusak Perdagangan Global

Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan bahwa peningkatan tarif impor yang dilakukan Amerika Serikat (AS) kepada China dan negara lainnya dapat merusak sistem perdagangan global. Perang dagang yang dikibarkan AS itu juga tak akan efektif mengatasi defisit perdagangan bilateral yang dialami AS dan justru bisa merusak ekonomi global dan negara itu.

Dikutip dari Antara, Jumat (7/6/2019), Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dalam keterangan resmi, mengatakan "Daripada memperluas hambatan tarif dan non-tarif, AS dan mitra dagangnya harus bekerja secara konstruktif untuk mengatasi distorsi dalam sistem perdagangan,".

Sebelumnya, IMF memperkirakan perang dagang yang berlarut-larut antara AS dan China dapat memangkas ekonomi global sebesar 0,5 persen pada tahun depan. Kendati demikan, IMF tak melihat potensi penurunan ekonomi (resesi) global akibat perang dagang. Lagarde menekankan pentingnya penyelesaian perselisihan dagang antara AS dan China melalui perjanjian komprehensif yang memperkuat sistem perdagangan internasional. AS, menurut dia, justru akan mendapatkan keuntungan jika bekerja sama dengan mitra internasional untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral berdasarkan aturan.

IMF, memproyeksi ekonomi global tahun depan akan berada di kisaran 3,6 persen. Namun, prospek ini rentan akibat perang dagang perdagangan, ketidakpastian keluarnya Inggris dari Uni Eropa, serta pemulihan yang tidak pasti di beberapa negara yang mengalami tekanan ekonomi seperti Argentina dan Turki.

"Agar ekonomi global berfungsi dengan baik, ia harus dapat mengandalkan sistem perdagangan internasional berbasis aturan yang lebih terbuka, lebih stabil, dan lebih transparan. Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, tidak ada yang memenangkan perang dagang," tegas Lagarde.

Rabu (5/6/2019), dalam persiapan pertemuan para Menteri Keuangan G20 dan gubernur Bank Sentral yang akan berlangsung di Jepang akhir pekan ini, IMF memperingatkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China bisa memperlambat ekonomi global hingga 0,5 persen pada 2020. IMF mengatakan saat ini, tarif tinggi yang diterapkan AS terhadap China, dan tindakan balasan Cina telah memangkas pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3 persen pada 2020.

Menurut Lagarde, penerapan pajak tinggi oleh kedua negara bisa menyebabkan kerugian produk domestik bruto kedua negara hingga US$455 miliar. Angka kerugian yang setara dengan nilai ekonomi negara anggota G20, Afrika Selatan.
Dalam posting blog IMF, Lagarde menjelaskan, "Bagaimana (caranya)? Dengan menghilangkan hambatan perdagangan yang baru-baru ini diterapkan dan dengan menghindari hambatan lebih lanjut dalam bentuk apa pun."

AS baru-baru ini menaikkan tarif 25 persen untuk produk impor China senilai US$200 miliar. Lebih dari setengah dampak itu akibat dari efek negatif pada kepercayaan bisnis dan sentimen pasar keuangan. Ketegangan perdagangan kedua negara telah membuat IMF memotong pertumbuhan 2019 sebesar 0,4 poin pada April lalu. Sehingga, pertumbuhan global pada 2019 ada di angka 3,3 persen.

"Faktanya adalah bahwa langkah-langkah perlindungan ini tidak hanya merusak pertumbuhan dan pekerjaan. Tetapi juga membuat barang-barang konsumen menjadi kurang terjangkau - dan secara tidak proporsional merugikan rumah tangga berpenghasilan rendah," kata Lagarde.

Namun, Rabu (5/6), IMF mengatakan ada harapan terjadi kenaikan pertumbuhan yang moderat pada paruh kedua tahun ini. Pertumbuhan ini karena kebijakan moneter yang lebih akomodatif dan langkah-langkah stimulus ekonomi di China.

Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengatakan, jika pertumbuhan mulai kehilangan momentum, para pembuat kebijakan harus bertindak secara terkoordinasi termasuk tindakan untuk melonggarkan kebijakan moneter dan stimulus fiskal. Cara ini akan efektif jika respons kebijakan itu "disinkronkan" di seluruh dunia dan ditambah dengan reformasi struktural yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Juga, agar aturan Organisasi Perdagangan Dunia diperkuat, terutama terkait subsidi, perlindungan kekayaan intelektual, dan perdagangan jasa.

Penelitian IMF menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan jasa dapat menambah sekitar US$350 miliar untuk PDB global dalam jangka panjang.


Sumber : www.cnnindonesia.com

Thursday, February 21, 2019

Mutual Legal Asisstance (MLA), Langkah Maju Melacak Dana Gelap Milik WNI yang Disimpan di Luar Negeri

Mutual Legal Asisstance (MLA)

MLA adalah metode kerja sama antara negara untuk mendapatkan bantuan dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana. MLA umumnya digunakan untuk mendapatkan materi yang tidak dapat diperoleh atas dasar kerja sama polisi, terutama penyelidikan yang membutuhkan cara-cara paksaan. Permintaan dibuat oleh Letter of Request (LOR) internasional resmi. Dalam yurisdiksi hukum perdata, ini juga disebut sebagai 'Komisi Rogatoire'. Bantuan ini biasanya diminta oleh pengadilan atau jaksa penuntut dan juga disebut sebagai 'kerjasama peradilan'.

Negara-negara modern telah mengembangkan mekanisme untuk meminta dan mendapatkan bukti untuk investigasi dan penuntutan pidana. Ketika bukti atau bentuk lain dari bantuan hukum, seperti pernyataan saksi atau layanan dokumen, dibutuhkan dari kedaulatan asing, negara dapat berusaha untuk bekerja sama secara informal melalui agen kepolisian masing-masing atau, sebagai alternatif, menggunakan apa yang biasanya disebut sebagai permintaan untuk "bantuan hukum timbal balik."

Praktek bantuan hukum timbal balik dikembangkan dari sistem rogatory letter berbasis comity, meskipun sekarang jauh lebih umum bagi negara untuk membuat permintaan bantuan hukum timbal balik secara langsung ke Otoritas Pusat yang ditunjuk dalam setiap Dalam praktik kontemporer, permintaan semacam itu mungkin masih dibuat atas dasar timbal balik tetapi juga dapat dibuat sesuai dengan perjanjian bilateral dan multilateral yang mewajibkan negara untuk memberikan bantuan.

Bantuan ini dapat berupa pemeriksaan dan identifikasi orang, tempat dan barang, pemindahan tahanan, dan pemberian bantuan dengan imobilisasi instrumen kegiatan kriminal. Sehubungan dengan yang terakhir, MLAT antara Amerika Serikat dan negara-negara Karibia tidak mencakup penggelapan pajak A.S., dan karena itu tidak efektif ketika diterapkan ke negara-negara Karibia, yang biasanya bertindak sebagai "surga pajak" lepas pantai.

Bantuan dapat ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan rincian perjanjian) karena alasan politik atau keamanan, atau jika tindak pidana yang dimaksud tidak sama-sama dapat dihukum di kedua negara. Beberapa perjanjian mungkin mendorong bantuan dengan bantuan hukum untuk warga negara di negara lain.

Banyak negara dapat memberikan berbagai bantuan hukum timbal balik ke negara-negara lain melalui kementerian kehakiman mereka bahkan tanpa adanya perjanjian, melalui penyelidikan bersama antara penegak hukum di kedua negara, permintaan pengungkapan keadaan darurat, surat rogatory, dll. Di beberapa negara berkembang negara, bagaimanapun, hukum domestik sebenarnya dapat menciptakan hambatan bagi kerjasama penegakan hukum yang efektif dan bantuan hukum timbal balik.
  
Menelusuri Rp 4.600 triliun Harta orang Indonesia di luar negeri?

Pemerintah Indonesia baru saja menandatangani hal yang sangat penting bagi Indonesia, yaitu Mutual Legal Asisstance (MLA) dengan Swiss, salah satu negara yang santer disebut-sebut sebagai “surga pajak”.
Penandatanganan MLA ini merupakan langkah maju yang akan bermanfaat bagi Indonesia. "Terutama dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau. MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss," ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta (Rabu (6/2/2019).

Tax amnesty 2016 menghasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp 4.800 triliun. Terdiri dari Rp 3.800 triliun deklarasi dalam negeri, Rp 1.000 triliun deklarasi luar negeri, dan Rp 145 trilun repatriasi. Menurut Tax Justice Network, setidaknya terdapat sekitar 331 miliar dollar AS (Rp 4.600 triliun) harta orang Indonesia di luar negeri. Berdasarkan hasil dari program Tax Amnesty 2016 lalu, Swiss tidak masuk dalam lima besar negara asal harta deklarasi wajib pajak Indonesia. Padahal, Swiss dikenal sebagai negara surga pajak tertua dan sangat populer di dunia. 5 besar ditempati Singapura, Virgin Islands, Hong Kong, Cayman Islands, dan Australia.
Menurut Yustinus, ada dua kemungkinan, yakni orang Indonesia yang menempatkan dananya di Swiss telah ikut migrasi sebelum Tax Amnesty atau percaya diri tidak akan tersentuh otoritas pajak di Indonesia. "Dengan demikian masih terdapat harta senilai sekitar Rp 3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam pengampunan pajak. Tentu saja hal ini membutuhkan pendalaman," kata dia. Dengan adanya MLA, upaya untuk melacak harta orang Indonesia di Swiss bisa lebih mudah. Terlebih Indonesia juga sudah tergabung ke dalam global Automatic Exchange of Information (AEOI). Suatu kerja sama membuka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan telah diikuti tidak kurang dari 106 negara.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat realisasi pengalihan harta dana wajib pajak peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) dari luar negeri ke dalam negeri, atau dana repatriasi, belum mencapai target. Terdapat selisih sekitar Rp 9 triliun dari target, yang artinya besaran nilai harta tersebut diduga masih berada di luar negeri. "Di data laporan repatriasi, targetnya Rp 147 triliun. Realisasi di data kami sementara Rp 138 triliun. Selisih 9 triliun sedang kami telusuri siapa-siapa saja wajib pajaknya," kata Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan melalui konferensi pers di kantor pusat DJP, Jakarta Pusat, Jumat (5/1/2018). Robert memastikan untuk segera menindaklanjuti temuan tersebut. Repatriasi sebelumnya ditegaskan sebagai komitmen sekaligus kewajiban peserta tax amnesty.
Dengan demikian, harta yang tadinya berada di luar negeri bisa kembali ke dalam negeri dan ditempatkan dalam instrumen investasi sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah nanti mendapati data wajib pajak yang bersangkutan, Robert memastikan untuk memprosesnya sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 18 Undang-Undang Tax Amnesty, mengatur tentang wajib pajak yang terbukti masih menyembunyikan hartanya, terancam sanksi pengenaan pajak dengan tarif hingga 30 persen dan denda 200 persen.

Dana Repatriasi Di Dalam Negeri

Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini, kondisi ekonomi yang stabil di dalam negeri bisa membuat dana repatriasi ratusan triliun tidak akan meninggalkan Indonesia. "Kami lihat dalam situasi ekononi Indonesia masih sangat baik, kondisi pertumbuhannya tinggi dengan inflasi yang terjaga. Juga memberikan return invesment itu relatif baik dibandingkan negara lain, jadi opsi (dana repatriasi) untuk tetap disini masih sangat besar," ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Sebagaimana diketahui, menyusul habisnya waktu kewajiban menyimpan dana tersebut di dalam negeri yang hanya 3 tahun, para pengusaha bisa kembali membawa dana repatriasi tax amnesty ke luar negeri pada akhir 2019 nanti. Meski begitu, menurut Sri Mulyani, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, terus melalukan pemantauan dana repatriasi hasil tax amnesty pada 2016 lalu itu. Sebagian besar, dana tersebut sudah diinvestasikan oleh pemiliknya, termasuk investasi yang masih berafiliasi dengan kelompok usaha pengusaha itu sendiri. "Ini yang akan terus kami komunikasikan. Kami akan melihat perpanjangan dana repatriasi di dalam instrumen investasi kami bersama sama OJK dan Pak Gubernur BI nanti apa yang akan kami lakukan," kata Sri.

Menurut Direktorat Jenderal Pajak, sebanyak 120 negara sepakat menjalin kerja sama pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2018. Sejauh ini sudah ada 65 negara yang memberikan informasi terkait harta warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan, pihaknya sedang melakukan penyisiran terkait data-data kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri. "Sedang kami godok terus dari 2018. Mulai membuka source datanya. Sedang kami lakukan proses identification dari data tersebut sehingga ketemu nama NPWP yang tepat. Kami punya prinsip bahwa melakukan klarifikasi data memanfaatkan data wajib pajak itu perlu dilakukan hati-hati. Jadi, kami enggak mau datanya belum clean," ujarnya Selasa (19/2/2019).

Ditjen Pajak tak mau sembarangan mengidentifikasi data harta kekayaan WNI tersebut, penyisiran dipastikan tetap hati-hati. Hal ini dinilai penting sehingga identifikasi bisa lebih akurat. Bagi wajib pajak, hal ini juga tak akan membuat suasana menjadi gaduh. Setelah segala proses itu rampung dan Ditjen Pajak yakin dengan data tesebut, data itu akan disampaikan kepada wajib pajak untuk diuji oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Robert tidak menyebut berapa banyak harta WNI yang diberikan kepada Ditjen Pajak. Ia mengatakan tak terlalu tertarik dengan angkanya. Meski begitu, menurut Ditjen Pajak, akan lebih senang jika harta WNI di luar negeri tersebut sudah dimasukkan oleh wajib pajak di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Dengan begitu, harta-harta itu sudah turut dilaporkan kepada negara.

Menarik untuk diikuti, karena kerjasama ini tentu akan menambah sumber pendapatan Pajak bagi Negara.

SUMBER : kompas.com

Thursday, September 20, 2018

Gejolak Kurs Dollar Yang Liar Diberbagai Negara


Faktor-faktor Penentu Kurs

Sejumlah besar faktor memengaruhi nilai mata uang. Apakah dolar AS terdepresiasi dalam kaitannya dengan mata uang lain tergantung pada kebijakan moneter kedua negara, neraca perdagangan, tingkat inflasi, kepercayaan investor, stabilitas politik, dan status mata uang cadangan. Ekonom, pengamat pasar, politisi, dan pemimpin bisnis secara hati-hati memantau campuran faktor ekonomi yang selalu berubah dalam upaya untuk menentukan bagaimana dolar bereaksi.

Kebijakan moneter
Berbagai faktor ekonomi dapat berkontribusi terhadap depresiasi dolar AS. Ini termasuk kebijakan moneter, inflasi, permintaan mata uang, pertumbuhan ekonomi, dan harga ekspor. Di Amerika Serikat, Federal Reserve (bank sentral negara itu, biasanya hanya disebut The Fed), menerapkan kebijakan moneter untuk memperkuat atau melemahkan dolar AS. Pada tingkat yang paling dasar, penerapan apa yang dikenal sebagai kebijakan moneter "mudah" memperlemah dolar, yang dapat menyebabkan depresiasi. Jadi, misalnya, jika Fed menurunkan suku bunga atau menerapkan langkah-langkah pelonggaran kuantitatif seperti pembelian obligasi, dikatakan sebagai "pelonggaran." Pelonggaran terjadi ketika bank sentral mengurangi suku bunga, mendorong investor untuk meminjam uang.
Karena dolar AS adalah mata uang fiat, yang berarti bahwa itu tidak didukung oleh komoditas berwujud (emas atau perak), itu dapat dibuat dari udara tipis. Ketika lebih banyak uang diciptakan, hukum penawaran dan permintaan masuk, membuat uang yang ada kurang berharga.

Inflasi
Ada hubungan terbalik antara tingkat inflasi AS versus mitra dagangnya dan depresiasi mata uang atau apresiasi. Secara relatif, inflasi yang lebih tinggi terdepresiasi mata uang karena inflasi berarti bahwa biaya barang dan jasa meningkat. Barang-barang itu kemudian harganya lebih mahal untuk dibeli oleh negara lain. Meningkatnya harga menurunkan permintaan. Sebaliknya, barang-barang impor menjadi lebih menarik bagi konsumen di negara dengan inflasi yang lebih tinggi untuk membeli.

Permintaan untuk Mata Uang
Ketika mata uang suatu negara diminati, mata uangnya tetap kuat. Salah satu cara mata uang tetap diminati adalah jika negara mengekspor produk yang ingin dibeli oleh negara lain dan menuntut pembayaran dalam mata uangnya sendiri. Meskipun AS tidak mengekspor lebih banyak dari impor, tetapi telah menemukan cara lain untuk menciptakan permintaan global yang sangat tinggi untuk dolar AS.
Dolar AS adalah apa yang dikenal sebagai mata uang cadangan. Mata uang cadangan digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk membeli komoditas yang diinginkan, seperti minyak dan emas. Ketika penjual komoditas ini menuntut pembayaran dalam mata uang cadangan, permintaan buatan untuk mata uang itu dibuat, menjaganya agar tetap lebih kuat daripada yang seharusnya.
Di Amerika Serikat, ada kekhawatiran bahwa minat China yang meningkat untuk memperoleh status mata uang cadangan untuk yuan (juga dikenal sebagai renmimbi) akan mengurangi permintaan untuk dolar AS. Kekhawatiran serupa mengepung gagasan bahwa negara-negara produsen minyak tidak akan lagi menuntut pembayaran dalam dolar AS. Pengurangan permintaan buatan untuk dolar AS kemungkinan akan terdepresiasi dolar.

Perlambatan Pertumbuhan
Ekonomi yang kuat cenderung memiliki mata uang yang kuat. Ekonomi yang lemah cenderung memiliki mata uang yang lemah. Menurunnya pertumbuhan dan keuntungan perusahaan dapat menyebabkan investor mengambil uang mereka di tempat lain. Minat investor yang berkurang di negara tertentu dapat melemahkan mata uangnya. Saat spekulan mata uang melihat atau mengantisipasi pelemahan, mereka dapat bertaruh melawan mata uang, menyebabkannya melemah lebih jauh.

Turun Harga Ekspor
Ketika harga untuk produk ekspor utama jatuh, mata uang dapat terdepresiasi. Sebagai contoh, dolar Kanada (dikenal sebagai loonie) melemah ketika harga minyak turun karena minyak adalah produk ekspor utama untuk Kanada.

Bagaimana dengan Neraca Perdagangan?
Negara seperti manusia. Beberapa dari mereka membelanjakan lebih dari yang mereka hasilkan. Ini, seperti diketahui oleh setiap investor yang baik, adalah ide yang buruk karena menghasilkan utang. Dalam kasus Amerika Serikat, negara mengimpor lebih banyak dari pada ekspor, dan telah melakukannya selama beberapa dekade.
Salah satu cara Amerika Serikat mendanai jalannya yang boros adalah dengan menerbitkan utang. China dan Jepang, dua negara yang mengekspor sejumlah besar barang ke Amerika Serikat, membantu membiayai pembelanjaan defisit AS dengan meminjamkan uang dalam jumlah besar. Sebagai imbalan atas pinjaman, Amerika Serikat menerbitkan surat berharga AS Treasury (pada dasarnya IOUs) dan membayar bunga kepada negara-negara yang memegang sekuritas tersebut. Suatu hari, hutang itu akan jatuh tempo dan para kreditur akan menginginkan uang mereka kembali. Jika kreditur percaya bahwa tingkat utang tidak berkelanjutan, para ahli teori percaya bahwa dolar akan melemah. Neraca perdagangan juga dipengaruhi oleh harga ekspor, inflasi, dan variabel lainnya. Neraca perdagangan berubah sebagai akibat dari faktor ekonomi lainnya, itu tidak menyebabkan faktor-faktor tersebut. Untuk wawasan lebih lanjut tentang masalah ini, baca Analisis Ekonomi Global - Penghargaan Mata Uang dan Penyusutan.

Persamaan Kompleks
Sejumlah faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap depresiasi dolar termasuk ketidakstabilan politik (baik dalam negara tertentu atau kadang-kadang di negara tetangganya), perilaku investor (penghindaran risiko), dan melemahnya fundamental ekonomi makro. Ada hubungan yang rumit antara semua faktor ini, sehingga sulit untuk mengutip satu faktor yang akan mendorong depresiasi mata uang dalam isolasi. Sebagai contoh, kebijakan bank sentral dianggap sebagai pendorong signifikan depresiasi mata uang. Jika Federal Reserve AS menerapkan suku bunga rendah dan program pelonggaran kuantitatif yang unik, orang akan mengharapkan nilai dolar melemah secara signifikan. Namun, jika negara-negara lain menerapkan langkah-langkah pelonggaran yang lebih signifikan dan / atau investor mengharapkan langkah-langkah pelonggaran AS untuk menghentikan dan upaya bank sentral asing untuk meningkatkan, kekuatan dolar sebenarnya dapat naik. Dengan demikian, berbagai faktor yang dapat mendorong depresiasi mata uang harus dipertimbangkan relatif terhadap semua faktor lainnya. Tantangan-tantangan ini menghadirkan hambatan besar bagi investor yang berspekulasi di pasar mata uang, seperti yang terlihat ketika nilai franc Swiss tiba-tiba runtuh pada 2015 sebagai akibat dari bank sentral negara itu membuat langkah mengejutkan untuk melemahkan mata uang. Untuk wawasan tambahan tentang depresiasi mata uang, lihat Penyusutan Mata Uang.

Penyusutan: Baik atau Buruk?
Pertanyaan apakah depresiasi mata uang baik atau buruk sangat tergantung pada perspektif. Jika Anda adalah chief executive officer dari perusahaan yang mengekspor produknya, depresiasi mata uang baik untuk Anda. Ketika mata uang negara Anda lemah relatif terhadap mata uang di pasar ekspor Anda, permintaan untuk produk Anda akan naik karena harga untuk mereka jatuh untuk konsumen di pasar sasaran Anda. Di sisi lain, jika perusahaan Anda mengimpor bahan baku untuk menghasilkan selesai Anda produk, depresiasi mata uang adalah berita buruk. Mata uang yang lebih lemah berarti akan lebih mahal bagi Anda untuk mendapatkan bahan mentah, yang akan memaksa Anda untuk meningkatkan biaya produk jadi Anda (berpotensi menyebabkan berkurangnya permintaan untuk mereka) atau menurunkan margin keuntungan Anda. Dinamika serupa adalah tempat untuk konsumen. Dolar yang lemah membuatnya lebih mahal untuk mengambil liburan Eropa atau membeli mobil baru yang diimpor. Ini juga dapat menyebabkan pengangguran jika bisnis majikan Anda menderita karena meningkatnya biaya bahan baku impor yang merugikan bisnis dan memaksa PHK. Di sisi lain, jika bisnis majikan Anda melonjak karena meningkatnya permintaan dari pembeli asing, itu dapat berarti upah yang lebih tinggi dan keamanan kerja yang lebih baik.

Gejolak Dollar Tiga Tahun Terakhir

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, di Gedung BI, (Kamis, 7/5/2015) mengatakan menguatnya mata uang dolar memang terjadi tidak hanya pada nilai tukar rupiah saja tetapi terjadi hampir seluruh mata uang negara di dunia. Bank Indonesia (BI) memprediksi mata uang dolar Amerika Serikat akan terus menguat sejalan dengan ekonomi Amerika yang terus membaik. Nilai tukar rupiah ini merupakan urutan ketiga. Enggak hanya mata uang Indonesia yang lemah terhadap dolar, negara-negara lain seperti Brazil dan Turki juga terdepresiasi.

Sepanjang 2014, nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar mengalami depresiasi sebesar 1,8%. Sejak akhir Desember hingga Mei, nilai tukar rupiah sudah mengalami depresiasi sebesar 5,7%. Hal itulah yang menjadi penyebab nilai tukar rupiah menembus sekitar Rp. 13.000. Brazil pada 2014 terdepresiasi 12% dan sepanjang 2015 ini melemah 15%, artinya mata uangnya goyang. 4-5 tahun Amerika berupaya memulihkan ekonominya. Untuk memulihkan ekonominya sampe menurunkan tingkat bunga dan menggelontorkan uang murah ke seluruh dunia. Ekonomi Amerika tahun 2014-2015 mulai pulih kembali dan akan berdampak pada kenaikan tingkat suku bunga Fed Fund Rate. BI memperkirakan akan ada kenakan Fed Fund Rate dari 0,25% menjadi 7%. Suku bunga Amerika ini sudah 4 tahun tidak naik. Ekonomi Amerika yang mulai membaik ini akan membuat mereka menaikkan tingkat suku bunga fed fund rate pelan-pelan. Hal itulah yang membuat kondisi secara global, yakni mata uang dolar akan menjadi perkasa atau menguat secara teratur karena ada proses pemulihan ekonomi Amerika.

Perang dagang antara Amerika Serkat (AS) dengan China yang kian memanas berdampak pada pelemahan sejumlah mata uang dunia, termasuk Rupiah. Indonesia tercatat menjadi negara ASEAN dengan pelemahan mata uang terdalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah tercatat telah terdepresiasi hingga 12,9% sepanjang tahun ini dengan pergerakan Rp 13.281 hingga Rp 14.999 (year to date/ytd). Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus terdepresiasi, hingga pada perdagangan spot exchange, Jumat (29/6/2018) Rupiah dibuka melemah 18 poin atau 0,13% menjadi Rp14.403 per USD.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsi (Okezone, Jumat, 29/6/2018) menyatakan, Rupiah memang mengalami imbas dari gejolak ekonomi global, kendati demikian kondisi Mata Uang Garuda ini jauh lebih baik ketimbang negara emerging market lainnya. Isu perang dagang itu benar-benar menjadi perhatian sektor global, semua pasar bahkan terkoreksi. Kita bukan yang terburuk. Depresiasi terdalam dialami oleh negara Argentina dan Turki. Paling buruk Argentina dan Turki, di mana sejak Januari hingga saat ini (year to date) mata uang Argentina terdepresiasi 32%, disusul Turki sebesar 18%. Sementara, mata uang Brasil terdepresiasi 14%, Rusia sebesar 9%, India sebesar 7,7%, Filipina sebesar 6,7%, serta Indonesia sebesar 5,7%. Mata uang Singapura juga turut terdepresiasi 2,4%, Thailand sebesar 1,6%, juga Hong Kong sebesar 0,4%. Hong Kong itu jarang sekali depresiasi. Biasanya dolar AS menguat, dolar Hong Kong menguat, tapi ini melemah. 0,4% itu artinya pelemahan yang besar buat mata uangnya.

Berdasarkan data RTI (Kamis, 6/9/2018), rupiah sudah terdepresiasi hingga 0,27%. Sedangkan mata uang negara ASEAN lainnya yang tertekan dolar AS adalah ringgit Malaysia sebesar 0,13%. Sementara itu mata uang negara Singapura dan Filipina berhasil menguat terhadap dolar AS. Masing-masing 0,15% dan 0,27%. Meski terlemah di antara negara ASEAN lainnya, kondisi ekonomi Indonesia saat ini diyakini masih jauh lebih baik ketimbang saat krisis 1998. Saat krisis 1998, hampir seluruh indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang tidak baik. Contohnya, pertumbuhan ekonomi yang minus dan inflasi yang melambung tinggi. Namun, pelemahan rupiah tidak terlalu besar karena kondisi ekonomi makro cukup stabil. Bahkan BI sebelumnya telah melakukan aksi antisipasi dengan menaikkan suku bunga acuan selama beberapa kali.

Pemerintahan Presiden Jokowi telah melakukan langkah-langkah yang konkret dan terus-menerus untuk mengatasi masalah ini termasuk melakukan langkah koordinasi dengan Bank Indonesia selaku otoritas yang bertanggung jawab soal stabilitas nilai tukar dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan, red) selaku pengawas industri jasa keuangan.

Kurs USD saat Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014 adalah sekitar Rp 12.030, dimana USD pernah berada di kisaran Rp 14.800 pada 24 September 2015. Namun, kini USD di kisaran Rp 14.400.

Berikut adalah perbandingan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang empat negara di ASEAN dan negara Asia lainnya:

Tiga tahun lalu, Dolar AS setara dengan peso Argentina (ARS) 9,1. Tapi dua tahun silam, ARS terdepresiasi. Nilai tukar Dolar AS kemudian menjadi ARS 14,8. Setahun kemudian ARS kembali terdepresiasi. Dolar menguat menjadi setara ARS 16,8. Sedangkan enam bulan lalu, Dolar menguat menjadi setara ARS 18,6. Bahkan sebulan silam ARS makin terdepresiasi, hingga saat ini Dolar setara ARS 27,1. Memang size ekonomi Indonesia dengan Argentina memang berbeda, tapi depresiasi ARS ini sudah mencapai 300 persen dalam tiga tahun terakhir.

Demikian pula dengan rupee India (INR). Sekitar sepuluh tahun lalu nilai tukar Dolar terhadap mata uang ini setara dengan INR 42,1. Lima tahun lalu Dolar menjadi setara INR 59,3. Adapun setahun lalu, Dolar sudah menjadi INR 64,3. Sebulan silam kurs INR terhadap Dolar kian anjlok. Dolar menjadi setara INR 67,1. Berdasar catatan terkini, Dolar sudah menjadi setara 68,5.

Demikian juga, depresiasi lira Turki (TRY). Tiga tahun lalu, Dolar setara TRY 2,63. Namun pada dua tahun lalu, Dolar terkerek menjadi TRY 2,88. Setahun lalu kurs Dolar menguat kembali menjadi TRY 5,3. Sementara pada enam bulan lalu, Dolar menjadi TRY 4,65. Kini, Dolar di posisi TRY 4,84. Dalam jangka waktu tiga tahun TRY mengalami depresiasi, dari setiap Dolar AS setara TRY 2,63 menjadi TRY 4,84. Size ekonomi Turki hampir mendekati Indonesia sebagai emerging market country walaupun secara spesifik mempunyai banyak juga perbedaan dalam hal sumber daya alam, sistem ekonomi, struktur pasar dan beberapa para meter.

Depresiasi yang terjadi pada ARS, INR maupun TRY menjadi bukti bahwa ada permasalahan di banyak negara emerging market. Artinya, menguatnya Dolar  bukan persoalan Indonesia saja. Ini persoalan global.

Mengutip Bloomberg, (Senin, 16/7/2018), rupiah dibuka di angka 14.393 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.378 per dolar AS. Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.387 per dolar AS hingga 14.416 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6,07 persen.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada (Antara) mengatakan, berdasarkan Kurs Referensi Jakartaa Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.396 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan pada Jumat lalu yang ada di angka 14.358 per dolar AS. Pelemahan di awal seiring imbas masih terapresiasinya laju dolar AS dan masih melemahnya Euro. Rupiah memang sempat melemah di awal karena melemahnya Euro dan juga kenaikan inflasi yang memicu anggapan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed).

Di sisi lain, meski Bank Indonesia meminta perbankan untuk menahan kenaikan bunga kreditnya, namun Bank Indonesia juga memproyeksikan adanya surplus neraca perdagangan di bulan Juni sehingga cukup direspons positif. Pergerakan rupiah yang mulai terapresiasi diharapkan dapat kembali terjadi seiring masih adanya sentimen positif dari dalam negeri dan dapat mengimbangi sentimen global. Namun demikian, masih terdepresiasinya sejumlah mata uang lainnya terhadap dolar AS patut diwaspadai imbasnya terhadap Rupiah.

Gubernur BI Agus Martowardojo di Gedung BI, Jakarta, (Kamis, 15/2/2018) menjelaskan, nilai tukar rupiah tercatat Rp 13.620/US$ year to date, terdepresiasi 0,46%.  Sebelumnya awal tahun, Januari ada penguatan kemudian terjadi pelemahan dan itu terjadi lebih karena perkembangan di Amerika berdampak ke seluruh mata uang di dunia termasuk negara berkembang termasuk di Indonesia. Perbaikan ekonomi Amerika ditandai dengan kemajuan investasi, konsumsi dan lapangan kerjanya telah membawa tren ekonomi Amerika yang membaik. Hal ini berdampak kepada Indonesia diikuti sejauh ini diperkirakan bunga akan dinaikkan Maret, Juni dan Desember.

Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara menambahkan pelemahan rupiah terjadi setelah data tenaga kerja Amerika Serikat, dimana hal itu juga yang menyebabkan mata uang di seluruh dunia melemah terhadap dolar AS. Per 9 Februari 2017 secara month to date nilai tukar rupiah melemah 1,76%. Selain Indonesia, negara lain juga mengalami depresiasi seperti Rusia melemah 3,68%, Turki 1,8%, Brazil 3,4%, Singapura 3,5%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo (Katadata.co.id, Selasa, 24/4/2018) menyatakan pelemahan terjadi imbas penguatan tajam dolar AS yang dipicu oleh meningkatnya imbal hasil (yield) surat berharga AS dan meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tersebut. Selain itu, ada juga tiga faktor di dalam negeri yang menjadi penyebab pelemahan rupiah. Ppenguatan dolar AS di hari Senin (23/4/2018) masih dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills mendekati level psikologis 3% dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018. Kenaikan yield dan suku bunga di AS dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS seiring berbagai data ekonomi AS yang terus membaik. Selain itu, meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok.

Pada Senin (23/4/2018), dolar AS tercatat menguat terhadap semua mata uang negara maju. Yen Jepang terdepresiasi 0,25%, yuan Tiongkok 0,27%, dolar Singapura 0,35%, dan euro 0,31%. Mayoritas mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia, juga melemah. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar SBN dalam jumlah cukup besar. Dengan upaya tersebut, rupiah yang pada hari Jumat (20/4/2018) sempat terdepresiasi sebesar 0,70%, hanya mengalami pelemahan 0,12% pada Senin (23/4/2018), lebih rendah dari depresiasi yang dialami mata uang negara berkembang lainnya. Secara rinci, peso Filipina melemah 0,32%, rupee India 0,56%, baht Thailand 0,57%, peso Meksiko 0,89%, dan rand Afrika Selatan 1,06%.

Kondisi serupa juga tampak jika dilihat dalam rentang waktu yang lebih panjang. Sejak awal April (month to date), rupiah melemah 0,91%, lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara berkembang seperti baht Thailand 1,04%, rupee India 1,96%, peso Meksiko 2,76%, rand Afsel 3,30%. Sementara itu, jika dilihat sejak awal tahun 2018 (year to date), rupiah melemah 2,35%, lebih ringan dibandingkan pelemahan mata uang beberapa negara berkembang lain seperti real Brasil 3,06%, rupee India 3,92%, peso Filipina 4,46%, dan lira Turki 7,17%.

BI akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah yang dipicu oleh gejolak global maupun kondisi domestik. Gejolak global yang dimaksud yaitu dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-Tiongkok, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Indonesia. Sementara itu, kondisi domestik berupa kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik untuk kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri, dan dividen yang cenderung meningkat pada triwulan II. Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya.

Pada perdagangan di pasar spot, Selasa (24/4/2018), nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,39% terhadap dolar AS ke posisi 13.921. Pada pukul 10.50 WIB, rupiah tercatat menguat 0,64% ke level Rp 13.886 per dolar AS. Penguatan tersebut yang terbesar di antara negara-negara Asia lainnya.

Selama 2017, dolar turun sekitar 10% terhadap mata uang mitra dagangnya. Dengan kebijakan perdagangan presiden Trump yang cenderung mengarah pada perdagangan bebas yang lebih sedikit dan tarif yang lebih terang, serta retorika dari pejabat kunci yang menunjukkan keinginan dolar yang lebih lemah, akankah AS melihat harga yang lebih tinggi untuk barang-barang konsumsi yang diimpor dan, oleh karena itu, inflasi yang lebih tinggi?

Kabar baiknya adalah bahwa pengaruh nilai tukar yang lebih lemah terhadap inflasi tidak terlalu besar di AS, hanya karena lebih banyak kontrak perdagangan dieksekusi dalam dolar AS daripada mata uang lainnya. Sebuah studi 2015 (pdf) mencatat bahwa 93% dari impor AS dihargai dalam dolar. Studi ini memperkirakan bahwa "depresiasi 10% dari dolar relatif terhadap mitra dagangnya akan meningkatkan inflasi IHK kumulatif dua tahun oleh 0,4-0,7 poin persentase." Studi ini menyimpulkan bahwa jika dolar terdepresiasi, ekspor AS menjadi lebih murah sedangkan jika mata uang negara lain terdepresiasi, hasilnya adalah mark up, laba, dan inflasi konsumen yang lebih besar.

Jumlah inflasi ini akan setara dengan sekitar $ 165 per tahun untuk pekerja rata-rata di California atau New York, sekitar 12% dari biaya transportasi tahunan mereka atau 13% dari biaya utilitas. Ini adalah jumlah yang material tetapi masih, tidak sepenting dampak dari mata uang yang menurun di negara-negara di mana inflasi lebih sensitif terhadap harga impor. Salah satu contoh baru-baru ini adalah Inggris di mana sesuatu yang serupa telah terjadi sejak Juni 2016. Sehingga, dominasi dolar US dalam perdagangan tetap menjadi keuntungan besar bagi konsumen AS.

Oleh karena itu, BUMN dan perusahaan swasta yang memiliki utang valas dihimbau agar dapat melakukan transaksi lindung nilai untuk memitigasi risiko dari penguatan dolar AS dan juga untuk tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Selama masih defisit neraca transaksi berjalan, kita perlu hati-hati, karena ini buat ketersediaan dolar kita terbatas. Selama ini defisit kita dibiayai oleh aliran dana asing yang masuk. Maka menggenjot ekspor dan menekan impor menjadi sangat penting bagi kesehatan neraca pembayaran Indonesia.

Mari berkarya, kerja kerja menghasilkan produksi domestic.


SUMBER :
qz.com
katadata.co.id
bisnis.tempo.co