Salah satu
kesepakatan divestasi yang dilakukan antara Pemerintah Indonesia dan
Freeport-McMoran adalah saham mayoritas yakni 51% akan dipegang PT Indonesia
Asahan Alumunium (Inalum) dan sisanya Freeport-McMoran. Meski demikina, PT
Freeport Indonesia tetap menjadi operator di Tambang Grasberg, Papua.
Dalam
perjanjian yang dilaksanakan pada 27 Agustus 2017 silam, PT Freeport Indonesia
bersama pemerintah menyepakati sejumlah poin. Pertama, PT Freeport Indonesia
sepakat sahamnya sebesar 51 persen dikuasai Indonesia. Kemudian PT Freeport
Indonesia sepakat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter
selama lima tahun hingga Oktober 2022, lalu landasan hukum PT Freeport
Indonesia akan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), bukan lagi
berstatus kontrak karya (KK). Disepakati juga penerimaan negara secara agregat
nanti akan lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini. Jika PT
Freeport Indonesia menjalankan perjanjian tersebut, mereka akan menerima
perpanjangan izin operasional hingga tahun 2041 mendatang. Tahapan pencaplokan
saham PT Freeport Indonesia tetap berlangsung sesuai rencana. Prosesnya juga
masih berlangsung sampai saat ini, dan masih didasarkan dari perjanjian awal.
Setelah
proses divestasinya rampung, Indonesia yang saat ini hanya memiliki kurang dari
10 persen saham Freeport Indonesia, akan bertambah menjadi 51 persen.
Sementara, Freeport-McMoRan hanya memegang 49 persen. Saham Indonesia diwakili
oleh Inalum. Induk usaha (holding) BUMN pertambangan dan juga menggandeng
pemerintah daerah, tempat tambang Freeport Indonesia beroperasi yaitu Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) Papua yang akan mendapat jatah saham sebesar 20
persen dari bagian saham Inalum di Freeport Indonesia.
Menteri ESDM
Ignasius Jonan di Gedung DPR RI, Jakarta, (Selasa 5/12/2017) mengatakan sudah
dibuat dasar hukum untuk mengakuisisi saham Freeport Indonesia. Sudah legal
drafting, perjanjian akuisisi untuk capai 51%. Pemerintah akan beli
participating interest Rio Tinto dalam PT Freeport Indoneska sebanyak 40%.
Pengambilalihan 40% participating interest (PI) Rio Tinto selanjutnya
dikonversi menjadi saham. Konversi ini membuat persentase saham pemerintah di
Freeport Indonesia sebesar 9,36% terdelusi menjadi sekitar 5%. Selanjutnya,
9,36% saham Indocopper Investama di Freeport Indonesia juga akan diakuisisi
pemerintah. Persentase saham Indocopper Investama juga akan mengalami delusi
menjadi 5% akibat dikonversinya PI Rio Tinto 40% menjadi saham.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberikan sambutan dalam acara tersebut, (Jumat,
12/1/2018) mengatakan Presiden Joko Widodo telah memberikan target divestasi
saham PT Freeport Indonesia harus rampung bulan Juli 2018. Pemerintah pusat
melaksanakan tanda tangan perjanjian dengan Pemerintah Provinsi Papua dan
Pemerintah Kabupaten Mimika untuk kepemilikan 10 persen setelah divestasi saham
PT Freeport Indonesia dilaksanakan. Porsi 10 persen itu disepakati untuk
menyejahterakan kawasan dan warga Papua yang selama ini terdampak kegiatan
Freeport. Kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia tercapai pada
pada 27 Agustus 2017.
Gubernur
Papua Lukas Enembe di KEMENKEU Jakarta, (Jumat 12/1/2018) mengatakan, hal ini
sangat membanggakan. Terlebih, sejak PTFI di Papua, baru kali ini pemerintah
pusat memberikan kepercayaan pada pemerintah daerah. Intinya bahwa kita
pemerintah provinsi, kabupaten, sejak Freeport ada di Papua, baru pemerintahan
Jokowi yang memberikan kepercayaan pada rakyat Papua. Hal itu merupakan
perhatian pemerintah pusat ke Papua. Terlebih, Papua mendapat imbas langsung
dari kegiatan usaha PTFI. Intinya rakyat di daerah tambang, penduduk asli
wilayah itu kena dampak yang harus diperhatikan.
Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan, penyerahan 10 persen saham PTFI ke Papua
merupakan bentuk perhatian pemerintah ke daerah. Papua bagian daripada otonomi
daerah, bagian daripada otonomi khusus tidak mempermasalahkan, dan jelas
pemerintahan Pak Jokowi-lah memperhatikan Papua. 10 persen itu dari 51% total milik
Indonesia.
Direktur
Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin di Kementerian Keuangan, Jakarta, (Jumat
12/1/2018) mengatakan Pemerintah menargetkan pengambilalihan saham PT Freeport
Indonesia (PTFI) sebesar 51% rampung pada Juni 2018. Tahun 1996 ada tandatangan
antara Freeport Indonesia dan Rio Tinto di mana ada pembagian revenue sharing. Langkah
ini dilakukan sebagai salah satu upaya memuluskan jalan pemerintah dalam
mengakuisisi saham Freeport Indonesia hingga 51%. Proses pengambilalihan 51%
saham Freeport Indonesia dilakukan pemerintah dengan mengakuisisi hak
participating interest (PI) Rio Tinto perusahaan tambang multinasional asal
Australia, yang sebesar 40% dalam pengolahan tambang Grasberg. Pengambilalihan
51% saham Freeport ini juga dilakukan dengan mekanisme korporasi tanpa membebani
APBN dan APBD. Koprorasi Holding BUMN Pertambangan yang dipimpin Inalum dan
bekerjasama dengan BUMD bentukan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah
Kabupaten Mimika yakni PT Papua Divestasi Mandiri. Supaya tidak dipecah-pecah
kepemilikannya. Supaya total kepemilikan Indonesia tetap merupakan mayoritas.
Kalau masuk sendiri-sendiri akibatnya kepemilikan masing-masing bisa lebih
kecil dari kepemilikan dari Freeport McMoran.
Pemerintah
telah menyelesaikan tahap demi tahap proses negosiasi pengambilalihan 51% saham
PT Freeport Indonesia, setelah tahapan penting untuk sepakat memberikan 10%
saham untuk Pemerintah Daerah Papua. Terlaksananya pemberian 10% saham kepada
Papua menjadi tanda bahwa Inalum segera membentuk perusahaan konsorsium bersama
BUMD yang dibentuk oleh Pemrov Papua dan Pemkab Mimika, salah satu tahapan
penting, di mana isu mengenai kepemilikan daerah dan nasional bisa di-solved.
Tahapan selanjutnya, yaitu mengenai struktur transaksi, juga sudah diselesaikan
negosiasinya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan
Kementerian ESDM. Dengan segenap tahapan yang sudah diselesaikan, maka babak
baru yang diperjuangkan mengenai hak dan tanggung jawab (right and responsibility).
Di mana pada tahap ini biasanya menentukan siapa yang bakal menjabat sebagai
apa. Setelah itu, baru masuk pada tahapan perhitungan valuasi divestasi saham
Freeport Indonesia. Jadi, tahapan pertama ini major milestone, sudah berhasil.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, proses pengambilalihan saham melalui
Rio Tinto masih berjalan dan tidak bisa sembarang diinformasikan kepada publik,
mengingat perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbuka di level
global. Namun, 51% saham akan dimiliki Indonesia. Proses untuk mendapatkan 51%
termasuk apakah melalui PI yang nanti dikonversi jadi saham itu adalah proses
yang sedang kami diskusikan dan di dalam proses negosiasi dengan pihak-pihak
terkait. Yang jelas, 51% sesuai instruksi bapak presiden adalah non negotiable,
menuju ke situnya dan timeline-nya akan segera kita umumkan dalam satu paket
begitu sudah selesai.
Direktur
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM),
Bambang Gatot Aryono, di Hotel Dharmawangsa, (Rabu, 16/3/2018) mengatakan Pemerintah
belum bisa memutuskan nilai valuasi saham divestasi yang ditawarkan PT Freeport
Indonesia. Valuasi saham dilakukan oleh Tim Penyelesaian Divestasi yang terdiri
dari lintas instansi. Tim tersebut terdiri dari Kementerian Koordinasi bidang
Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta
Sekretariat Kabinet. Tim Divestasi sudah terbentuk sekal 4 Maret 2016. Tim
lintas kementerian itu masih membahas parameter perhitungan valuasi saham
Freeport. Belum ada kesepakatan parameternya. Parameter yang belum disepakati
terkait perhitungan masa tambang Freeport apakah hingga 2041 atau cukup tahun
2021 saja. Pasalnya, kontrak karya Freeport berakhir pada tahun 2021 dan masih
berhak diperpanjang dua kali yang masing-masing selama 10 tahun. Namun, nilai
saham US$ 1,7 miliar yang ditawarkan Freeport menggunakan umur tambang hingga
2041. Selain itu, yang belum disepakati Tim Divestasi mengenai mekanisme
perhitungan saham apakah menggunakan nilai pasar atau tidak. Saat ini
Pemerintah Indonesia telah menguasai 9,36% saham Freeport. Tahun ini Freeport
wajib melepaskan 10,64% lagi sahamnya. Sementara, sisa saham sebesar 10% lagi
wajib dilepas hingga 2019.
Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno saat halalbihalal, (Sabtu, 30/6/
2018) mengatakan dalam negosiasi itu, kedua belah pihak sepakat akan membentuk
perusahaan patungan (joint venture). Sementara penandantanganan perjanjian
pembentukan perusahaan patungan selesai dua pekan lagi, beberapa hal harus
diselesaikan, seperti perpajakan dan lingkungan hidup yang selama ini dilakukan
Freeport Indonesia. Perusahaan patungan yang diharapkan bisa dikelola secara
transparan dan profesional tersebut dapat memberikan manfaat kepada pemegang
saham dan masyarakat setempat. Tanggung jawab sosial (Corporate Social
Responsibility/CSR) juga harus ditingkatkan. Proses divestasi sudah memasuki
tahap final dan sudah ada kesepakatan mengenai nilai transaksinya. Angka
tawaran ini juga dikatannya. Nilai final negosisasi yang sudah diajukan ke
Presiden Joko Widodo terakhir hampir US$ 4 miliar lah, antara US$ 3,5 miliar ke
US$ 4 miliar.
Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno di Jakarta (Rabu, 4/7) mengatakan
Freeport Indonesia akan menjadi perusahaan patungan (joint venture) Indonesia
dan Freeport-McMoRan. Kesepakatan usaha bersama (Joint Venture Agreement) itu
untuk me-manage PT Freeport Indonesia. Deputi Bidang Usaha Pertambangan,
Industri Strategis, dan Media, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno
mengatakan, pendanaan dari akuisisi ini berasal dari Konsorsium Inalum.
Awal Peluang
Divestasi
Berdasarkan
PP Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas
PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Tambang
(Minerba), Freeport harus menawarkan sahamnya kepada pemerintah, setahun
setelah PP diterbitkan pada 14 Oktober 2014. Jadi, Freeport harus melakukan
divestasi saham mulai 14 Oktober 2015. Namun, pemerintah memberikan tenggat
waktu 90 hari bagi Freeport untuk mengajukan penawaran saham atau berakhir pada
14 Januari 2016. Beleid tersebut menitahkan, hingga tahun 2019 Freeport harus
melakukan divestasi saham sebesar 30%.
Pada 14
Januari 2016, PT Freeport Indonesia telah mengajukan penawaran resmi divestasi
saham kepada pemerintah Indonesia. Tanggal tersebut merupakan deadline atau
batas akhir bagi Freeport Indonesia untuk mengajukan penawaran divestasi saham.
Hal itu sesuai
Pada PP
Nomor 77 Tahun 2014, pemerintah Indonesia harus memberikan jawaban atas
penawaran saham yang diajukan Freeport Indonesia dalam waktu 60 hari. Artinya,
pada 14 Maret 2016 atau terhitung sejak 14 Januari 2016, pemerintah harus
memberikan keputusan terkait penawaran divestasi saham yang disodorkan
Freeport. Namun, menilik pada pernyataan Bambang Gatot, pemerintah sepertinya
tidak bisa memberikan jawaban sesuai ketentuan PP 77/2014 atas penawaran saham
10,64% yang diajukan Freeport Indonesia. Persoalannya, nilai penawaran yang
dilayangkan produsen tambang emas asal Amerika Serikat (AS) itu cukup
fantastis. Di dalam surat penawaran tersebut, Freeport menyampaikan, saham 100%
FI seharga US$ 16,2 miliar atau sekitar Rp 225,18 triliun dengan hitungan kurs
Rp 13.900 per dollar AS. Dengan demikian, nilai saham divestasi sebesar 10,64%
kira-kira US$ 1,72 miliar atau Rp 23,91 triliun.
Deputi
Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Aloysius Kiik Ro (KONTAN, Rabu, 16/3/2018) mengatakan,
Kementerian BUMN sudah memiliki hitungan sendiri mengenai harga wajar Freeport
terhitung sampai kontraknya berakhir. Sudah ada hitungannya. Yang pasti pembeli
harus nawar murah dan penjual bisa nawar mahal. Maka jika kajian hasil
divestasi sudah ditentukan, akan diberikan kesempatan kepada BUMN pertambangan
untuk mengelola divestasi saham Freeport tersebut seperti PT Indonsia Asahan
Alumilunium (Inalum), PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam (PTBA), dan PT
Timah (Tbk) yang tergabung dalam konsorsium pertambangan. Siapa-siapa saja yang
akan mengelola sesuai dengan bidangnya, memang urutannya Pemerintah dulu lalu
BUMN. Penawaran itu biasanya 60 hari setelah tim dibentuk.
Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil, (KONTAN, Jumat,
15/1/2018) mengatakan pemerintah kemungkinan tidak akan membeli saham yang
ditawarkan Freeport Indonesia. Alasannya, pemerintah saat ini merasa tidak
punya dana untuk membeli saham anak usaha Freeport McMoran tersebut. Kalaupun
punya uang, pemerintah juga tidak akan membeli. Uang akan digunakan untuk
membangun infrastruktur. Karena itu, pemerintah menyerahkan pembelian saham
Freeport pada BUMN. Tentu sebelum melakukan itu, harga juga harus dievaluasi
kembali. Namun, jika memutuskan membeli 10,64% saham Freeport, maka kepemilikan
saham pemerintah Indonesia di Freeport bakal mencapai 20%.
Saham pemerintah
Indonesia sebanyak 9,36% di Freeport sebelumnya diperoleh sejak Kontrak Karya
(KK) generasi pertama Freeport ditandatangani di masa rezim Soeharto pada tahun
1967. Demi menguasai ladang emas Grasberg di tanah Papua, Freeport “rela” mengabulkan
sejumlah tuntutan Pemerintah Soeharto di dalam kontrak, seperti kenaikan pajak,
pembangunan smelter, dan divestasi saham secara bertahap hingga 51% kepada
perusahaan nasional. Jadi, sebelum Kontrak Karya perpanjangan itu
ditandatangani, sebanyak 90,64% saham PT Freeport Indonesia dimiliki oleh
Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Sisanya sebesar 9,36% dimiliki oleh
pemerintah Indonesia.
Peluang pemerintah
untuk upaya memperbesar porsi kepemilikan saham Freeport terbuka ketika
pemerintah meneken kontrak karya baru Freeport pada 30 Desember 1991. Sejak
perpanjangan KK Freeport pada 1991, saham perusahaan tambang itu menjadi
incaran investor.
Pemilik
usaha Bakrie Group, Aburizal Bakrie, lewat entitas bisnis Bakrie Brothers, berhasil
meneken kesepakatan “pembelian” 10% saham Freeport. Kesepakatan itu dilakukan
hanya selang sehari setelah KK Freeport diperpanjang Pemerintahan Soeharto pada
Desember 1991. Berdasarkan riset KONTAN, Bakrie Brothers menguasai saham
Freeport senilai US$ 213 juta. Namun, mantan Menteri Koordinator Perekonomian
di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya membayar US$ 40 juta.
Sisanya sebesar US$ 173 juta berasal dari pinjaman Freeport. Setahun kemudian,
Ical justru melego kembali 4,9% sahamnya kepada Freeport melalui PT Indocopper
Investasma. Saat itu, Freeport membeli 49% saham Indocopper senilai US$ 211,9
juta di pasar modal. Pada 2002, Freeport membeli 51% saham yang tersisa di
Indocopper dan menarik perusahaan itu dari lantai bursa. Alhasil, Freeport
McMoRan kembali menguasai 90,64% saham Freeport Indonesia meski mengklaim telah
melepas 18,72% sahamnya kepada pemerintah (9,36%) dan Indocopper (9,36%).
Sebelum
dikuasai 100% oleh Freeport, Indocopper sempat dibeli oleh PT Nusamba,
perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh yayasan-yayasan Soeharto (80%), putra
sulung Soeharto, Sigit Harjojudanto (10%), dan Mohamad “Bob” Hasan (10%). Bakrie
melepas 5,1% sahamnya di Indocopper kepada Nusamba seharga US$ 315 juta. Tetapi,
Freeport menanggung US$ 254 juta, sedangkan Nusamba hanya menyetor US$ 61 juta.
Ketika KK
Freeport diperpanjang pada tahun 1991, pada Pasal 24 KK tersebut mewajibkan
Freeport melakukan divestasi dalam dua tahap.
Tahap
pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun
pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban divestasi tahap kedua dimulai tahun
2001, ketika Freeport harus menjual sahamnya sebesar 2% per tahun sampai
kepemilikan nasional menjadi 51%. Jadi, untuk kewajiban divestasi tahap pertama
sudah dilaksanakan. Sebanyak 9,36% saham Freeport telah dijual kepada PT
Indocopper milik Grup Bakrie. Kendati, saham Indocopper itu dibeli kembali oleh
Freeport Mc Moran.
Tahap kedua kewajiban
divestasi urung dilaksanakan karena pada tahun 1994 pemerintahan Soeharto
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20/1994 yang mentebutkan bahwa saham
anak usaha dari perusahaan asing boleh dimiliki oleh pihak asing hingga 100%.
Maka dengan berlakunya peraturan itu menjadi ‘angin segar’ bagi Freeport untuk
mangkir dari kewajiban divestasi.
Berdasarkan
studi dari Deutsche Bank, valuasi 40% PI Rio Tinto sekitar US$ 3,3 miliar atau
sekitar Rp. 45 triliun dengan kurs Rp 13.700. Angka tersebut di bawah harga
pasar yang seharusnya dibayarkan Indonesia nantinya melalui PT Inalum
(Persero).
Pemerintah
sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.24/2012 tentang Kewajiban
Divestasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 51 persen. Kemudian, pemerintah
memperkuatnya dengan Peraturan Menteri (Permen) . ESDM No. 27/2013 tentang Tata
Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham serta Perubahan Penanaman Modal di
Bidang Usaha Pertambangan Minerba. Freeport kerap berlindung dibalik alasan KK
yang bersifat lex specialis untuk menghindar dari kewajiban divestasi minimum
51% saham seperti yang diamanatkan PP No.24/2012.
Menko
Perkonomian Hatta Rajasa di kantornya, Jakarta, mengatakan, Freeport sudah
mengirimkan surat tanggapannya terkait poin-poin yang terdapat dalam
renegosiasi kontrak karya. Perusahaan tambang asal Negeri Paman Sam itu mengaku
tidak siap melepaskan 51 persen sahamnya ke dalam negeri. Dari 51 persen
divestasi yang diminta pemerintah, mereka siap 20 persen. Freeport akan segera
melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Dalam
suratnya, Freeport menyepakati poin renegosiasi, yakni pengembalian lahan,
demikian pula dengan local content. Untuk royalti, mereka juga sudah oke sesuai
Peraturan Pemerintah yang ada.
Dirjen
Mineral Dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) R Sukyar menegaskan, Freeport belum menyepakati besaran divestasi. Belum
ada pembicaraan. Yang jelas kalau dia nambang, harus 51 persen (divestasi).
Kalau dia terintegrasi, menambang, mengolah, memurnikan, divestasinya 40
persen. Itu saja tawaran pemerintah. Freeport masih tidak mau melakukan
divestasi saham. Alasannya, aturan tersebut hanya berlaku untuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Karena itu, pemerintah
mengejar divestasi saham Freeport dari renegosiasi.
Sekjen
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ansari Bukhari mengatakan, industri
strategis harus dikuasai negara sesuai amanat Undang-Undang (UU) Perindustrian.
Dalam Pasal 84 UU Perindustrian dijelaskan, industri strategis adalah industri
yang memenuhi kebutuhan penting bagi kesejahteraan dan menguasai hajat hidup
orang banyak. Karena itu, seharusnya industri tambang dan migas dikuasai negara
karena memberikan kesejahteraan dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Apalagi, migas dan tambang tidak bisa diperbaharui dan cadangannya akan habis.
Karena itu sebaiknya sumber daya alam strategis itu dikuasai negara.
Direktur
Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), Budi Gunadi Sadikin di Gedung
DPR, Jakarta, (Senin, 29/1/2018) menyatakan, untuk menguasai 51 persen saham PT
Freeport Indonesia harus menghadapi proses rumit. Alasannya tidak hanya
melibatkan anak usaha Freeport McMoran itu. Freeport Indonesia menjalin
komitmen dengan beberapa pihak terkait kepemilikan saham. Di antaranya hak
partisipasi dengan Rio Tinto sebesar 40 persen dalam pengelolaan tambang
Grasberg di Papua. Realisasi kondisi kepemilikan PT Freeport Indonesia sekarang
cukup kompleks, karena ada keterkaitan pihak yang lain, enggak hanya Freeport
Indonesia.
Head of
Corporate Communication Inalum Rendi A Witular kepada detikFinance, Jakarta, (Senin,
19/3/2018) mengatakan pada 27 Agustus 2017 lalu, pemerintah dan Freeport
McMoran (FCX) mencapai kesepahaman untuk melepas saham Freeport Indonesia
hingga 51% kepada Indonesia. Selain itu, Freeport Indonesia juga berkomitmen
membangun fasilitas pemurnian mineral alias smelter dalam lima tahun ke depan. Freeport
Indonesia juga bersedia mengubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) dan mendapatkan jaminan operasi, serta pemerintah
akan memberikan jaminan fiskal dan regulasi untuk Freeport Indonesia. Inalum
tidak berdiam diri dan berkhayal dalam ikhtiar untuk menguasai 51% saham
Freeport Indonesia. Sudah banyak melakukan perundingan dengan pihak FCX maupun
Rio Tinto.
Setelah
kesepakatan itu terjadi, pada 24 September 2017 pemerintah, Inalum, dan FCX
melakukan pertemuan di mana FCX menawarkan struktur divestasi ke pemerintah.
Pembahasan terkait struktur divestasi pun berlanjut pada 27 Oktober 2017. Pada
30 Oktober 2017, Kementerian BUMN, Inalum, dan Rio Tinto membahas 40% hak
partisipasi Rio Tinto. Pembahasan serupa pun berlanjut pada 7 November 2017
terkait rencana konversi 40% hak partisipasi menjadi saham. Perundingan
tersebut pun cukup rutin dilakukan di minggu-minggu berikutnya hingga pada
15-17 Desember 2017 disetujui struktur transaksi divestasi saham Freeport
Indonesia.
Kemudian,
pada 12 Januari 2018 pemerintah pusat mengalokasikan 10% dari rencana 51% saham
Freeport Indonesia untuk Pemda Papua dan Mimika. Perundingan terkait seluruh aspek
operasional Freeport Indonesia pun dibahas pada akhir Januari 2018 lalu dengan melibatkan
pemerintah, Inalum, Rio Tinto, dan FCX.
Pada 18
Februari 2018 dilakukan rapat koordinasi antara Inalum dan tim penasihat
keuangan untuk membahas hasil due diligence dan valuasi Freeport Indonesia.
Kemudian pada 28 Februari Inalum melakukan penawaran kepada Rio Tinto terkait
rencana akuisisi hak partisipasi. Pembahasan mengenai divestasi Freeport
Indonesia juga dibahas dalam ratas kabinet di Istana terkait divestasi Freeport
Indonesia.
Freepot Polemik Warisan Orde Baru.
PT. Freeport
Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya
dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.(AS). Perusahaan ini adalah
pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil
emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Mining International, sebuah
majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua,
masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988),
di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Pemegang saham
PT. Freeport Indonesia adalah ; *
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) – 81,28%; * Pemerintah Indonesia –
9,36%; * PT. Indocopper Investama – 9,36%. Bahan Tambang yang dihasilkan adalah
–Tembaga; -Emas; -Silver; -Molybdenum; dan –Rhenium. Freeport berkembang
menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya
memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33
miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB
Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir,
yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah
sebesar 1 miliar dolar.
Jauh sebelum
kedatangan para penjelajah dari Eropa, penduduk asli Papua hanya mengambil
serba sedikit dari alam,” tulis buku Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik
Kompas (2008). Bahkan ketika orang Eropa pertama yang melihat salju di tengah
daratan Papua Kapten Johan Carstensz berlayar ke Papua pada 1623, orang Papua masih
sedikit mengambil dari alam Papua. Hanya babi, sagu dan umbi yang paling banyak
diambil. Ratusan tahun setelah Carstensz dianggap hanya mengigau, sebuah tim
yang dipimpin orang Belanda bernama Hendrikus Albertus Lorentz pun mencoba
mendaki pegunungan bersalju di tengan Papua itu. Tim yang dipimpin Lorentz itu
mengerahkan orang-orang Dayak Kenyah yang dijadikan juru angkut barang dalam
ekspedisi tahun 1909. Orang-orang Dayak yang dari Kalimantan ini direkrut di
Apo Kayan. Dalam ekspedisi orang-orang Belanda setelahnya, yang dipimpin Kapten
Franssen Herderschee dari KNIL, orang-orang Dayak Kenyah, dan juga Kayan
dikerahkan lagi. Orang-orang itu sangat kegirangan saat mereka melihat salju.
Bahkan mereka kepingin membawanya pulang.
Namun bukan
Carstensz atau Lorentz yang akan mengubah lanskap di Papua, melainkan Antonie
Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel yang melakukan
perjalanan pada 1936. Ekspedisi itu tak hanya mendaki puncak tertinggi di
pegunungan tengah Papua yang dinamai Carstenz Pyramid. Yang paling penting
adalah penemuan gunungan tembaga oleh Dozy, seorang ahli geologi. Apa yang
ditemukan Dozy itu tak langsung dilirik banyak pihak. Tiga tahun setelah
ekspedisi ini terjadi Perang Dunia II. Fokus banyak negara hanya tertuju pada
perang. Barulah setelah Perang Dunia II selesai, apa yang ditemukan Dozy
menarik minat sebuah perusahaan tambang dari Amerika bernama Freeport.
Pada 1959,
laporan Dozy itu sampai ke telinga Forbes Wilson, geolog Freeport. Wilson
lantas menindaklanjutinya dengan berangkat ke Papua. Ia tiba pada 1960 dan
terpukau oleh “gundukan harta karun” pada ketinggian 2000 meter di atas
permukaan laut itu. Dia begitu terpesona oleh hamparan bijih tembaga yang
terhampar luas di permukaan tanah. Dalam laporan perjalanannya yang berjudul
The Conquest of Cooper Mountain (1989), Wilson menyebut terdapat bijih besi,
tembaga, perak serta emas. Pulang ke Amerika Serikat, sejumlah batu dari
Ertsberg yang dibawa Wilson, oleh para analis Freeport menyatakan bahwa
penambangan gunung itu bakal amat menguntungkan. Modal awal akan kembali hanya
dalam tiga tahun.
Namun,
Freeport menghadapi jalan buntu: Presiden Republik Indonesia, Sukarno, sedang
pasang sikap keras terhadap kaum kapitalis Barat—menurutnya, merekalah
agen-agen “penjajahan gaya baru.” Belum lagi soal perebutan wilayah di
kepulauan Nusantara antara Indonesia dan Belanda. Saat itu, Sukarno getol
menyerukan Trikora alias Tiga Komando Rakyat: 1) Gagalkan pembentukan negara
boneka Papua buatan Belanda, 2) Kibarkan Sang Merah-Putih di Irian Barat, tanah
air Indonesia, dan 3) Bersiaplah dimobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan
dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Sampai
akhirnya kekuatan politik Sukarno digembosi tentara nasional lewat peristiwa
berdarah 1 Oktober 1965. Kekuasaan, secara berangsur tetapi seksama, pindah ke
tangan Jenderal Soeharto, jenderal Angkatan Darat yang menorehkan tinta emas
bagi sejarah Freeport di Papua. Freeport bersukacita dengan penguasa baru
Indonesia yang pro modal asing ini.
Soeharto
mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman
Modal. UU itu rupanya telah disahkan sejak 10 Januari 1967, disaat mana Sukarno
sebenarnya masih menjadi Presiden, namun kekuasaannya sudah tergerogoti sejak
awal 1966. Sejak 25 Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967, Soeharto adalah Ketua
Presidium Kabinet yang menguasai pemerintahan menyusul keluarnya Surat Perintah
11 Maret 1966. Soeharto baru ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret
1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS.
Pada 7 April
1967, hanya sekitar tiga pekan setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat
presiden, kontrak karya diberikan kepada Freeport selama 30 tahun.
"Freeport
adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim baru
di Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia,"
tulis Denise Leith dalam Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia
(2003).
Dalam Jalan
Baru Untuk Tambang (2009), Simon Felix Sembiring menyebut setelah Freeport, penikmat
dari UU PMA tahun 1967 itu adalah Inco yang menambang nikel di Saroako,
Sulawesi Selatan sejak 1968. Menurut Leith, pada 1970an, saat Freeport
membangun infrastruktur pertambangannya, rezim Soeharto mengemis pembagian
saham. Pejabat-pejabat Indonesia dikabarkan bolak-balik Jakarta-New York demi
urusan itu.
Koran
Indonesia Raya yang dipimpin sastrawan Mochtar Lubis merekam kejadian itu.
“Beritanya kecil saja, tentang Menteri Pertambangan Prof. Soemantri
Brodjonegoro yang berkunjung ke Amerika Serikat atas udangan maskapai Freeport
Sulphur,” tulis Mochtar dalam Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia
Raya (1997). Ia mengatakan bahwa tindakan Soemantri itu (seorang pejabat
negara, atas nama negara, memenuhi undangan perusahaan swasta asing) tidak
patut.
Upaya untuk
mendapatkan saham itu terus berlanjut. Pada 1973, Menteri Pertambangan
pengganti Prof. Soemantri, Mohamad Sadli, diberi tugas “meninjau ulang”
kontrak-kontrak antara pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan swasta,
termasuk Freeport.
Dalam Pelaku
Berkisah (peny. Thee Kian Wie, 2005), Sadli menyatakan bahwa pemerintah kadung
terikat kontrak “generasi pertama” dengan Freeport. Menurut persyaratan kontrak
itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak
(sebesar 35 persen untuk tujuh tahun berikutnya, dan pembebasan segala macam
pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan. “Segera sesudah kontrak
ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi, agar
memberikan hasil lebih banyak keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” tulis Sadli.
Menurut
Denise Leith, rezim Soeharto menginginkan saham sebesar 8,9 persen. Namun,
Freeport tak langsung memenuhi permintaan Soeharto. Alasannya, perusahaan itu
belum untung dan para pembeli mereka di Jepang meminta potongan harga bijih
tembaga. Tanggapan Soeharto bukan main: Ia ikut melindungi Freeport dengan
mengeluarkan kebijakan pembatasan minyak ke Jepang. Karena itulah, kata Leith,
tercipta simbiosis mutualisme antara Freeport dan Indonesia. Dua tahun kemudian,
Freeport memberikan jatah saham sebesar 8,5 persen dan royalti sebesar 1 persen
kepada pemerintah Indonesia.
Merasa perlu
menaruh wakilnya di Jakarta, kantor pusat Freeport di Amerika Serikat menunjuk
Ali Budiardjo sebagai Kepala Perwakilan Freeport Indonesia. Ali adalah pemilik
firma hukum Ali Budiardjo & Associates sekaligus kawan lama mantan Perdana
Menteri Sutan Sjahrir. Sebelumnya, sewaktu Forbes Wilson melobi Soeharto untuk
menambang Ertsberg, Ali jadi penyambung lidahnya. Pada 1974, ia menggantikan
Wilson sebagai Presiden Direktur Freeport.
Hingga 1989,
bijih-bijih tambang dari Ertsberg mengalir melalui pipa sepanjang 115 km ke
Amamapare Freeport, tempat kapal-kapal pengakut menunggu. Menurut catatan
International Bussines Promotion, gunung itu menghasilkan 32 juta ton bijih
sebelum rata dengan tanah. Awalnya, Freeport hanya memiliki konsesi buat
menambang wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, rezim Soeharto memberi izin
perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989, lewat kontrak anyar. Belakangan
diketahui bahwa Freeport menemukan cadangan emas tak jauh dari Ertsberg. Tetapi
kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 telanjur digantikan dengan
Kontrak Karya II yang bakal jalan terus sampai 2021.
Kontrak
karya inilah yang coba diubah oleh Jokowi tahun ini. Pemerintahan Jokowi ingin
mengubah status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK). Tentu saja Freeport tidak tinggal diam. Mereka mengancam akan membawa
Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Namun, perlu
diingat bahwa yang kerap terabaikan dalam kontrak kerjasama investasi asing
adalah pemangku kepentingan terbesar di Negeri ini yaitu rakyat Indonesia.
Semoga Pemerintah kuat dan tetap bijak dalam mengambil keputusan dalam melayani
bangsa Indonesia.
SUMBER :