KULIAH PUBLIK: Selamat, Akhirnya Indonesia Menjadi Pemilik Saham Mayoritas PT Freeport

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Thursday, July 05, 2018

Selamat, Akhirnya Indonesia Menjadi Pemilik Saham Mayoritas PT Freeport


Salah satu kesepakatan divestasi yang dilakukan antara Pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoran adalah saham mayoritas yakni 51% akan dipegang PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dan sisanya Freeport-McMoran. Meski demikina, PT Freeport Indonesia tetap menjadi operator di Tambang Grasberg, Papua.

Dalam perjanjian yang dilaksanakan pada 27 Agustus 2017 silam, PT Freeport Indonesia bersama pemerintah menyepakati sejumlah poin. Pertama, PT Freeport Indonesia sepakat sahamnya sebesar 51 persen dikuasai Indonesia. Kemudian PT Freeport Indonesia sepakat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama lima tahun hingga Oktober 2022, lalu landasan hukum PT Freeport Indonesia akan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), bukan lagi berstatus kontrak karya (KK). Disepakati juga penerimaan negara secara agregat nanti akan lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini. Jika PT Freeport Indonesia menjalankan perjanjian tersebut, mereka akan menerima perpanjangan izin operasional hingga tahun 2041 mendatang. Tahapan pencaplokan saham PT Freeport Indonesia tetap berlangsung sesuai rencana. Prosesnya juga masih berlangsung sampai saat ini, dan masih didasarkan dari perjanjian awal.

Setelah proses divestasinya rampung, Indonesia yang saat ini hanya memiliki kurang dari 10 persen saham Freeport Indonesia, akan bertambah menjadi 51 persen. Sementara, Freeport-McMoRan hanya memegang 49 persen. Saham Indonesia diwakili oleh Inalum. Induk usaha (holding) BUMN pertambangan dan juga menggandeng pemerintah daerah, tempat tambang Freeport Indonesia beroperasi yaitu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Papua yang akan mendapat jatah saham sebesar 20 persen dari bagian saham Inalum di Freeport Indonesia.

Menteri ESDM Ignasius Jonan di Gedung DPR RI, Jakarta, (Selasa 5/12/2017) mengatakan sudah dibuat dasar hukum untuk mengakuisisi saham Freeport Indonesia. Sudah legal drafting, perjanjian akuisisi untuk capai 51%. Pemerintah akan beli participating interest Rio Tinto dalam PT Freeport Indoneska sebanyak 40%. Pengambilalihan 40% participating interest (PI) Rio Tinto selanjutnya dikonversi menjadi saham. Konversi ini membuat persentase saham pemerintah di Freeport Indonesia sebesar 9,36% terdelusi menjadi sekitar 5%. Selanjutnya, 9,36% saham Indocopper Investama di Freeport Indonesia juga akan diakuisisi pemerintah. Persentase saham Indocopper Investama juga akan mengalami delusi menjadi 5% akibat dikonversinya PI Rio Tinto 40% menjadi saham.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberikan sambutan dalam acara tersebut, (Jumat, 12/1/2018) mengatakan Presiden Joko Widodo telah memberikan target divestasi saham PT Freeport Indonesia harus rampung bulan Juli 2018. Pemerintah pusat melaksanakan tanda tangan perjanjian dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika untuk kepemilikan 10 persen setelah divestasi saham PT Freeport Indonesia dilaksanakan. Porsi 10 persen itu disepakati untuk menyejahterakan kawasan dan warga Papua yang selama ini terdampak kegiatan Freeport. Kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia tercapai pada pada 27 Agustus 2017.

Gubernur Papua Lukas Enembe di KEMENKEU Jakarta, (Jumat 12/1/2018) mengatakan, hal ini sangat membanggakan. Terlebih, sejak PTFI di Papua, baru kali ini pemerintah pusat memberikan kepercayaan pada pemerintah daerah. Intinya bahwa kita pemerintah provinsi, kabupaten, sejak Freeport ada di Papua, baru pemerintahan Jokowi yang memberikan kepercayaan pada rakyat Papua. Hal itu merupakan perhatian pemerintah pusat ke Papua. Terlebih, Papua mendapat imbas langsung dari kegiatan usaha PTFI. Intinya rakyat di daerah tambang, penduduk asli wilayah itu kena dampak yang harus diperhatikan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan, penyerahan 10 persen saham PTFI ke Papua merupakan bentuk perhatian pemerintah ke daerah. Papua bagian daripada otonomi daerah, bagian daripada otonomi khusus tidak mempermasalahkan, dan jelas pemerintahan Pak Jokowi-lah memperhatikan Papua. 10 persen itu dari 51% total milik Indonesia.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin di Kementerian Keuangan, Jakarta, (Jumat 12/1/2018) mengatakan Pemerintah menargetkan pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 51% rampung pada Juni 2018. Tahun 1996 ada tandatangan antara Freeport Indonesia dan Rio Tinto di mana ada pembagian revenue sharing. Langkah ini dilakukan sebagai salah satu upaya memuluskan jalan pemerintah dalam mengakuisisi saham Freeport Indonesia hingga 51%. Proses pengambilalihan 51% saham Freeport Indonesia dilakukan pemerintah dengan mengakuisisi hak participating interest (PI) Rio Tinto perusahaan tambang multinasional asal Australia, yang sebesar 40% dalam pengolahan tambang Grasberg. Pengambilalihan 51% saham Freeport ini juga dilakukan dengan mekanisme korporasi tanpa membebani APBN dan APBD. Koprorasi Holding BUMN Pertambangan yang dipimpin Inalum dan bekerjasama dengan BUMD bentukan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika yakni PT Papua Divestasi Mandiri. Supaya tidak dipecah-pecah kepemilikannya. Supaya total kepemilikan Indonesia tetap merupakan mayoritas. Kalau masuk sendiri-sendiri akibatnya kepemilikan masing-masing bisa lebih kecil dari kepemilikan dari Freeport McMoran.

Pemerintah telah menyelesaikan tahap demi tahap proses negosiasi pengambilalihan 51% saham PT Freeport Indonesia, setelah tahapan penting untuk sepakat memberikan 10% saham untuk Pemerintah Daerah Papua. Terlaksananya pemberian 10% saham kepada Papua menjadi tanda bahwa Inalum segera membentuk perusahaan konsorsium bersama BUMD yang dibentuk oleh Pemrov Papua dan Pemkab Mimika, salah satu tahapan penting, di mana isu mengenai kepemilikan daerah dan nasional bisa di-solved. Tahapan selanjutnya, yaitu mengenai struktur transaksi, juga sudah diselesaikan negosiasinya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. Dengan segenap tahapan yang sudah diselesaikan, maka babak baru yang diperjuangkan mengenai hak dan tanggung jawab (right and responsibility). Di mana pada tahap ini biasanya menentukan siapa yang bakal menjabat sebagai apa. Setelah itu, baru masuk pada tahapan perhitungan valuasi divestasi saham Freeport Indonesia. Jadi, tahapan pertama ini major milestone, sudah berhasil.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, proses pengambilalihan saham melalui Rio Tinto masih berjalan dan tidak bisa sembarang diinformasikan kepada publik, mengingat perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbuka di level global. Namun, 51% saham akan dimiliki Indonesia. Proses untuk mendapatkan 51% termasuk apakah melalui PI yang nanti dikonversi jadi saham itu adalah proses yang sedang kami diskusikan dan di dalam proses negosiasi dengan pihak-pihak terkait. Yang jelas, 51% sesuai instruksi bapak presiden adalah non negotiable, menuju ke situnya dan timeline-nya akan segera kita umumkan dalam satu paket begitu sudah selesai.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Aryono, di Hotel Dharmawangsa, (Rabu, 16/3/2018) mengatakan Pemerintah belum bisa memutuskan nilai valuasi saham divestasi yang ditawarkan PT Freeport Indonesia. Valuasi saham dilakukan oleh Tim Penyelesaian Divestasi yang terdiri dari lintas instansi. Tim tersebut terdiri dari Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Sekretariat Kabinet. Tim Divestasi sudah terbentuk sekal 4 Maret 2016. Tim lintas kementerian itu masih membahas parameter perhitungan valuasi saham Freeport. Belum ada kesepakatan parameternya. Parameter yang belum disepakati terkait perhitungan masa tambang Freeport apakah hingga 2041 atau cukup tahun 2021 saja. Pasalnya, kontrak karya Freeport berakhir pada tahun 2021 dan masih berhak diperpanjang dua kali yang masing-masing selama 10 tahun. Namun, nilai saham US$ 1,7 miliar yang ditawarkan Freeport menggunakan umur tambang hingga 2041. Selain itu, yang belum disepakati Tim Divestasi mengenai mekanisme perhitungan saham apakah menggunakan nilai pasar atau tidak. Saat ini Pemerintah Indonesia telah menguasai 9,36% saham Freeport. Tahun ini Freeport wajib melepaskan 10,64% lagi sahamnya. Sementara, sisa saham sebesar 10% lagi wajib dilepas hingga 2019.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno saat halalbihalal, (Sabtu, 30/6/ 2018) mengatakan dalam negosiasi itu, kedua belah pihak sepakat akan membentuk perusahaan patungan (joint venture). Sementara penandantanganan perjanjian pembentukan perusahaan patungan selesai dua pekan lagi, beberapa hal harus diselesaikan, seperti perpajakan dan lingkungan hidup yang selama ini dilakukan Freeport Indonesia. Perusahaan patungan yang diharapkan bisa dikelola secara transparan dan profesional tersebut dapat memberikan manfaat kepada pemegang saham dan masyarakat setempat. Tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) juga harus ditingkatkan. Proses divestasi sudah memasuki tahap final dan sudah ada kesepakatan mengenai nilai transaksinya. Angka tawaran ini juga dikatannya. Nilai final negosisasi yang sudah diajukan ke Presiden Joko Widodo terakhir hampir US$ 4 miliar lah, antara US$ 3,5 miliar ke US$ 4 miliar.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno di Jakarta (Rabu, 4/7) mengatakan Freeport Indonesia akan menjadi perusahaan patungan (joint venture) Indonesia dan Freeport-McMoRan. Kesepakatan usaha bersama (Joint Venture Agreement) itu untuk me-manage PT Freeport Indonesia. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan, pendanaan dari akuisisi ini berasal dari Konsorsium Inalum.

Awal Peluang Divestasi

Berdasarkan PP Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Tambang (Minerba), Freeport harus menawarkan sahamnya kepada pemerintah, setahun setelah PP diterbitkan pada 14 Oktober 2014. Jadi, Freeport harus melakukan divestasi saham mulai 14 Oktober 2015. Namun, pemerintah memberikan tenggat waktu 90 hari bagi Freeport untuk mengajukan penawaran saham atau berakhir pada 14 Januari 2016. Beleid tersebut menitahkan, hingga tahun 2019 Freeport harus melakukan divestasi saham sebesar 30%.

Pada 14 Januari 2016, PT Freeport Indonesia telah mengajukan penawaran resmi divestasi saham kepada pemerintah Indonesia. Tanggal tersebut merupakan deadline atau batas akhir bagi Freeport Indonesia untuk mengajukan penawaran divestasi saham. Hal itu sesuai


Pada PP Nomor 77 Tahun 2014, pemerintah Indonesia harus memberikan jawaban atas penawaran saham yang diajukan Freeport Indonesia dalam waktu 60 hari. Artinya, pada 14 Maret 2016 atau terhitung sejak 14 Januari 2016, pemerintah harus memberikan keputusan terkait penawaran divestasi saham yang disodorkan Freeport. Namun, menilik pada pernyataan Bambang Gatot, pemerintah sepertinya tidak bisa memberikan jawaban sesuai ketentuan PP 77/2014 atas penawaran saham 10,64% yang diajukan Freeport Indonesia. Persoalannya, nilai penawaran yang dilayangkan produsen tambang emas asal Amerika Serikat (AS) itu cukup fantastis. Di dalam surat penawaran tersebut, Freeport menyampaikan, saham 100% FI seharga US$ 16,2 miliar atau sekitar Rp 225,18 triliun dengan hitungan kurs Rp 13.900 per dollar AS. Dengan demikian, nilai saham divestasi sebesar 10,64% kira-kira US$ 1,72 miliar atau Rp 23,91 triliun.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Aloysius Kiik Ro (KONTAN, Rabu, 16/3/2018) mengatakan, Kementerian BUMN sudah memiliki hitungan sendiri mengenai harga wajar Freeport terhitung sampai kontraknya berakhir. Sudah ada hitungannya. Yang pasti pembeli harus nawar murah dan penjual bisa nawar mahal. Maka jika kajian hasil divestasi sudah ditentukan, akan diberikan kesempatan kepada BUMN pertambangan untuk mengelola divestasi saham Freeport tersebut seperti PT Indonsia Asahan Alumilunium (Inalum), PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam (PTBA), dan PT Timah (Tbk) yang tergabung dalam konsorsium pertambangan. Siapa-siapa saja yang akan mengelola sesuai dengan bidangnya, memang urutannya Pemerintah dulu lalu BUMN. Penawaran itu biasanya 60 hari setelah tim dibentuk.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil, (KONTAN, Jumat, 15/1/2018) mengatakan pemerintah kemungkinan tidak akan membeli saham yang ditawarkan Freeport Indonesia. Alasannya, pemerintah saat ini merasa tidak punya dana untuk membeli saham anak usaha Freeport McMoran tersebut. Kalaupun punya uang, pemerintah juga tidak akan membeli. Uang akan digunakan untuk membangun infrastruktur. Karena itu, pemerintah menyerahkan pembelian saham Freeport pada BUMN. Tentu sebelum melakukan itu, harga juga harus dievaluasi kembali. Namun, jika memutuskan membeli 10,64% saham Freeport, maka kepemilikan saham pemerintah Indonesia di Freeport bakal mencapai 20%.

Saham pemerintah Indonesia sebanyak 9,36% di Freeport sebelumnya diperoleh sejak Kontrak Karya (KK) generasi pertama Freeport ditandatangani di masa rezim Soeharto pada tahun 1967. Demi menguasai ladang emas Grasberg di tanah Papua, Freeport “rela” mengabulkan sejumlah tuntutan Pemerintah Soeharto di dalam kontrak, seperti kenaikan pajak, pembangunan smelter, dan divestasi saham secara bertahap hingga 51% kepada perusahaan nasional. Jadi, sebelum Kontrak Karya perpanjangan itu ditandatangani, sebanyak 90,64% saham PT Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Sisanya sebesar 9,36% dimiliki oleh pemerintah Indonesia.

Peluang pemerintah untuk upaya memperbesar porsi kepemilikan saham Freeport terbuka ketika pemerintah meneken kontrak karya baru Freeport pada 30 Desember 1991. Sejak perpanjangan KK Freeport pada 1991, saham perusahaan tambang itu menjadi incaran investor.

Pemilik usaha Bakrie Group, Aburizal Bakrie, lewat entitas bisnis Bakrie Brothers, berhasil meneken kesepakatan “pembelian” 10% saham Freeport. Kesepakatan itu dilakukan hanya selang sehari setelah KK Freeport diperpanjang Pemerintahan Soeharto pada Desember 1991. Berdasarkan riset KONTAN, Bakrie Brothers menguasai saham Freeport senilai US$ 213 juta. Namun, mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya membayar US$ 40 juta. Sisanya sebesar US$ 173 juta berasal dari pinjaman Freeport. Setahun kemudian, Ical justru melego kembali 4,9% sahamnya kepada Freeport melalui PT Indocopper Investasma. Saat itu, Freeport membeli 49% saham Indocopper senilai US$ 211,9 juta di pasar modal. Pada 2002, Freeport membeli 51% saham yang tersisa di Indocopper dan menarik perusahaan itu dari lantai bursa. Alhasil, Freeport McMoRan kembali menguasai 90,64% saham Freeport Indonesia meski mengklaim telah melepas 18,72% sahamnya kepada pemerintah (9,36%) dan Indocopper (9,36%).

Sebelum dikuasai 100% oleh Freeport, Indocopper sempat dibeli oleh PT Nusamba, perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh yayasan-yayasan Soeharto (80%), putra sulung Soeharto, Sigit Harjojudanto (10%), dan Mohamad “Bob” Hasan (10%). Bakrie melepas 5,1% sahamnya di Indocopper kepada Nusamba seharga US$ 315 juta. Tetapi, Freeport menanggung US$ 254 juta, sedangkan Nusamba hanya menyetor US$ 61 juta.

Ketika KK Freeport diperpanjang pada tahun 1991, pada Pasal 24 KK tersebut mewajibkan Freeport melakukan divestasi dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban divestasi tahap kedua dimulai tahun 2001, ketika Freeport harus menjual sahamnya sebesar 2% per tahun sampai kepemilikan nasional menjadi 51%. Jadi, untuk kewajiban divestasi tahap pertama sudah dilaksanakan. Sebanyak 9,36% saham Freeport telah dijual kepada PT Indocopper milik Grup Bakrie. Kendati, saham Indocopper itu dibeli kembali oleh Freeport Mc Moran.
Tahap kedua kewajiban divestasi urung dilaksanakan karena pada tahun 1994 pemerintahan Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20/1994 yang mentebutkan bahwa saham anak usaha dari perusahaan asing boleh dimiliki oleh pihak asing hingga 100%. Maka dengan berlakunya peraturan itu menjadi ‘angin segar’ bagi Freeport untuk mangkir dari kewajiban divestasi.

Berdasarkan studi dari Deutsche Bank, valuasi 40% PI Rio Tinto sekitar US$ 3,3 miliar atau sekitar Rp. 45 triliun dengan kurs Rp 13.700. Angka tersebut di bawah harga pasar yang seharusnya dibayarkan Indonesia nantinya melalui PT Inalum (Persero).

Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.24/2012 tentang Kewajiban Divestasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 51 persen. Kemudian, pemerintah memperkuatnya dengan Peraturan Menteri (Permen) . ESDM No. 27/2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham serta Perubahan Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan Minerba. Freeport kerap berlindung dibalik alasan KK yang bersifat lex specialis untuk menghindar dari kewajiban divestasi minimum 51% saham seperti yang diamanatkan PP No.24/2012.

Menko Perkonomian Hatta Rajasa di kantornya, Jakarta, mengatakan, Freeport sudah mengirimkan surat tanggapannya terkait poin-poin yang terdapat dalam renegosiasi kontrak karya. Perusahaan tambang asal Negeri Paman Sam itu mengaku tidak siap melepaskan 51 persen sahamnya ke dalam negeri. Dari 51 persen divestasi yang diminta pemerintah, mereka siap 20 persen. Freeport akan segera melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Dalam suratnya, Freeport menyepakati poin renegosiasi, yakni pengembalian lahan, demikian pula dengan local content. Untuk royalti, mereka juga sudah oke sesuai Peraturan Pemerintah yang ada.

Dirjen Mineral Dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukyar menegaskan, Freeport belum menyepakati besaran divestasi. Belum ada pembicaraan. Yang jelas kalau dia nambang, harus 51 persen (divestasi). Kalau dia terintegrasi, menambang, mengolah, memurnikan, divestasinya 40 persen. Itu saja tawaran pemerintah. Freeport masih tidak mau melakukan divestasi saham. Alasannya, aturan tersebut hanya berlaku untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Karena itu, pemerintah mengejar divestasi saham Freeport dari renegosiasi.

Sekjen Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ansari Bukhari mengatakan, industri strategis harus dikuasai negara sesuai amanat Undang-Undang (UU) Perindustrian. Dalam Pasal 84 UU Perindustrian dijelaskan, industri strategis adalah industri yang memenuhi kebutuhan penting bagi kesejahteraan dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu, seharusnya industri tambang dan migas dikuasai negara karena memberikan kesejahteraan dan menguasai hajat hidup orang banyak. Apalagi, migas dan tambang tidak bisa diperbaharui dan cadangannya akan habis. Karena itu sebaiknya sumber daya alam strategis itu dikuasai negara.

Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), Budi Gunadi Sadikin di Gedung DPR, Jakarta, (Senin, 29/1/2018) menyatakan, untuk menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia harus menghadapi proses rumit. Alasannya tidak hanya melibatkan anak usaha Freeport McMoran itu. Freeport Indonesia menjalin komitmen dengan beberapa pihak terkait kepemilikan saham. Di antaranya hak partisipasi dengan Rio Tinto sebesar 40 persen dalam pengelolaan tambang Grasberg di Papua. Realisasi kondisi kepemilikan PT Freeport Indonesia sekarang cukup kompleks, karena ada keterkaitan pihak yang lain, enggak hanya Freeport Indonesia.

Head of Corporate Communication Inalum Rendi A Witular kepada detikFinance, Jakarta, (Senin, 19/3/2018) mengatakan pada 27 Agustus 2017 lalu, pemerintah dan Freeport McMoran (FCX) mencapai kesepahaman untuk melepas saham Freeport Indonesia hingga 51% kepada Indonesia. Selain itu, Freeport Indonesia juga berkomitmen membangun fasilitas pemurnian mineral alias smelter dalam lima tahun ke depan. Freeport Indonesia juga bersedia mengubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan mendapatkan jaminan operasi, serta pemerintah akan memberikan jaminan fiskal dan regulasi untuk Freeport Indonesia. Inalum tidak berdiam diri dan berkhayal dalam ikhtiar untuk menguasai 51% saham Freeport Indonesia. Sudah banyak melakukan perundingan dengan pihak FCX maupun Rio Tinto.

Setelah kesepakatan itu terjadi, pada 24 September 2017 pemerintah, Inalum, dan FCX melakukan pertemuan di mana FCX menawarkan struktur divestasi ke pemerintah. Pembahasan terkait struktur divestasi pun berlanjut pada 27 Oktober 2017. Pada 30 Oktober 2017, Kementerian BUMN, Inalum, dan Rio Tinto membahas 40% hak partisipasi Rio Tinto. Pembahasan serupa pun berlanjut pada 7 November 2017 terkait rencana konversi 40% hak partisipasi menjadi saham. Perundingan tersebut pun cukup rutin dilakukan di minggu-minggu berikutnya hingga pada 15-17 Desember 2017 disetujui struktur transaksi divestasi saham Freeport Indonesia.

Kemudian, pada 12 Januari 2018 pemerintah pusat mengalokasikan 10% dari rencana 51% saham Freeport Indonesia untuk Pemda Papua dan Mimika. Perundingan terkait seluruh aspek operasional Freeport Indonesia pun dibahas pada akhir Januari 2018 lalu dengan melibatkan pemerintah, Inalum, Rio Tinto, dan FCX.

Pada 18 Februari 2018 dilakukan rapat koordinasi antara Inalum dan tim penasihat keuangan untuk membahas hasil due diligence dan valuasi Freeport Indonesia. Kemudian pada 28 Februari Inalum melakukan penawaran kepada Rio Tinto terkait rencana akuisisi hak partisipasi. Pembahasan mengenai divestasi Freeport Indonesia juga dibahas dalam ratas kabinet di Istana terkait divestasi Freeport Indonesia.

Freepot Polemik Warisan Orde Baru.

PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.(AS). Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Pemegang saham PT. Freeport Indonesia adalah ; * Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) – 81,28%; * Pemerintah Indonesia – 9,36%; * PT. Indocopper Investama – 9,36%. Bahan Tambang yang dihasilkan adalah –Tembaga; -Emas; -Silver; -Molybdenum; dan –Rhenium. Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.

Jauh sebelum kedatangan para penjelajah dari Eropa, penduduk asli Papua hanya mengambil serba sedikit dari alam,” tulis buku Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik Kompas (2008). Bahkan ketika orang Eropa pertama yang melihat salju di tengah daratan Papua Kapten Johan Carstensz berlayar ke Papua pada 1623, orang Papua masih sedikit mengambil dari alam Papua. Hanya babi, sagu dan umbi yang paling banyak diambil. Ratusan tahun setelah Carstensz dianggap hanya mengigau, sebuah tim yang dipimpin orang Belanda bernama Hendrikus Albertus Lorentz pun mencoba mendaki pegunungan bersalju di tengan Papua itu. Tim yang dipimpin Lorentz itu mengerahkan orang-orang Dayak Kenyah yang dijadikan juru angkut barang dalam ekspedisi tahun 1909. Orang-orang Dayak yang dari Kalimantan ini direkrut di Apo Kayan. Dalam ekspedisi orang-orang Belanda setelahnya, yang dipimpin Kapten Franssen Herderschee dari KNIL, orang-orang Dayak Kenyah, dan juga Kayan dikerahkan lagi. Orang-orang itu sangat kegirangan saat mereka melihat salju. Bahkan mereka kepingin membawanya pulang.

Namun bukan Carstensz atau Lorentz yang akan mengubah lanskap di Papua, melainkan Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel yang melakukan perjalanan pada 1936. Ekspedisi itu tak hanya mendaki puncak tertinggi di pegunungan tengah Papua yang dinamai Carstenz Pyramid. Yang paling penting adalah penemuan gunungan tembaga oleh Dozy, seorang ahli geologi. Apa yang ditemukan Dozy itu tak langsung dilirik banyak pihak. Tiga tahun setelah ekspedisi ini terjadi Perang Dunia II. Fokus banyak negara hanya tertuju pada perang. Barulah setelah Perang Dunia II selesai, apa yang ditemukan Dozy menarik minat sebuah perusahaan tambang dari Amerika bernama Freeport.

Pada 1959, laporan Dozy itu sampai ke telinga Forbes Wilson, geolog Freeport. Wilson lantas menindaklanjutinya dengan berangkat ke Papua. Ia tiba pada 1960 dan terpukau oleh “gundukan harta karun” pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu. Dia begitu terpesona oleh hamparan bijih tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah. Dalam laporan perjalanannya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain (1989), Wilson menyebut terdapat bijih besi, tembaga, perak serta emas. Pulang ke Amerika Serikat, sejumlah batu dari Ertsberg yang dibawa Wilson, oleh para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung itu bakal amat menguntungkan. Modal awal akan kembali hanya dalam tiga tahun.

Namun, Freeport menghadapi jalan buntu: Presiden Republik Indonesia, Sukarno, sedang pasang sikap keras terhadap kaum kapitalis Barat—menurutnya, merekalah agen-agen “penjajahan gaya baru.” Belum lagi soal perebutan wilayah di kepulauan Nusantara antara Indonesia dan Belanda. Saat itu, Sukarno getol menyerukan Trikora alias Tiga Komando Rakyat: 1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, 2) Kibarkan Sang Merah-Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, dan 3) Bersiaplah dimobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Sampai akhirnya kekuatan politik Sukarno digembosi tentara nasional lewat peristiwa berdarah 1 Oktober 1965. Kekuasaan, secara berangsur tetapi seksama, pindah ke tangan Jenderal Soeharto, jenderal Angkatan Darat yang menorehkan tinta emas bagi sejarah Freeport di Papua. Freeport bersukacita dengan penguasa baru Indonesia yang pro modal asing ini.

Soeharto mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman Modal. UU itu rupanya telah disahkan sejak 10 Januari 1967, disaat mana Sukarno sebenarnya masih menjadi Presiden, namun kekuasaannya sudah tergerogoti sejak awal 1966. Sejak 25 Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967, Soeharto adalah Ketua Presidium Kabinet yang menguasai pemerintahan menyusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Soeharto baru ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS.

Pada 7 April 1967, hanya sekitar tiga pekan setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden, kontrak karya diberikan kepada Freeport selama 30 tahun.

"Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim baru di Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia," tulis Denise Leith dalam Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia (2003).

Dalam Jalan Baru Untuk Tambang (2009), Simon Felix Sembiring menyebut setelah Freeport, penikmat dari UU PMA tahun 1967 itu adalah Inco yang menambang nikel di Saroako, Sulawesi Selatan sejak 1968. Menurut Leith, pada 1970an, saat Freeport membangun infrastruktur pertambangannya, rezim Soeharto mengemis pembagian saham. Pejabat-pejabat Indonesia dikabarkan bolak-balik Jakarta-New York demi urusan itu.

Koran Indonesia Raya yang dipimpin sastrawan Mochtar Lubis merekam kejadian itu. “Beritanya kecil saja, tentang Menteri Pertambangan Prof. Soemantri Brodjonegoro yang berkunjung ke Amerika Serikat atas udangan maskapai Freeport Sulphur,” tulis Mochtar dalam Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya (1997). Ia mengatakan bahwa tindakan Soemantri itu (seorang pejabat negara, atas nama negara, memenuhi undangan perusahaan swasta asing) tidak patut.

Upaya untuk mendapatkan saham itu terus berlanjut. Pada 1973, Menteri Pertambangan pengganti Prof. Soemantri, Mohamad Sadli, diberi tugas “meninjau ulang” kontrak-kontrak antara pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk Freeport.

Dalam Pelaku Berkisah (peny. Thee Kian Wie, 2005), Sadli menyatakan bahwa pemerintah kadung terikat kontrak “generasi pertama” dengan Freeport. Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak (sebesar 35 persen untuk tujuh tahun berikutnya, dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan. “Segera sesudah kontrak ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi, agar memberikan hasil lebih banyak keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” tulis Sadli.

Menurut Denise Leith, rezim Soeharto menginginkan saham sebesar 8,9 persen. Namun, Freeport tak langsung memenuhi permintaan Soeharto. Alasannya, perusahaan itu belum untung dan para pembeli mereka di Jepang meminta potongan harga bijih tembaga. Tanggapan Soeharto bukan main: Ia ikut melindungi Freeport dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan minyak ke Jepang. Karena itulah, kata Leith, tercipta simbiosis mutualisme antara Freeport dan Indonesia. Dua tahun kemudian, Freeport memberikan jatah saham sebesar 8,5 persen dan royalti sebesar 1 persen kepada pemerintah Indonesia.

Merasa perlu menaruh wakilnya di Jakarta, kantor pusat Freeport di Amerika Serikat menunjuk Ali Budiardjo sebagai Kepala Perwakilan Freeport Indonesia. Ali adalah pemilik firma hukum Ali Budiardjo & Associates sekaligus kawan lama mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sebelumnya, sewaktu Forbes Wilson melobi Soeharto untuk menambang Ertsberg, Ali jadi penyambung lidahnya. Pada 1974, ia menggantikan Wilson sebagai Presiden Direktur Freeport.

Hingga 1989, bijih-bijih tambang dari Ertsberg mengalir melalui pipa sepanjang 115 km ke Amamapare Freeport, tempat kapal-kapal pengakut menunggu. Menurut catatan International Bussines Promotion, gunung itu menghasilkan 32 juta ton bijih sebelum rata dengan tanah. Awalnya, Freeport hanya memiliki konsesi buat menambang wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, rezim Soeharto memberi izin perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989, lewat kontrak anyar. Belakangan diketahui bahwa Freeport menemukan cadangan emas tak jauh dari Ertsberg. Tetapi kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang bakal jalan terus sampai 2021.

Kontrak karya inilah yang coba diubah oleh Jokowi tahun ini. Pemerintahan Jokowi ingin mengubah status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tentu saja Freeport tidak tinggal diam. Mereka mengancam akan membawa Indonesia ke Arbitrase Internasional.

Namun, perlu diingat bahwa yang kerap terabaikan dalam kontrak kerjasama investasi asing adalah pemangku kepentingan terbesar di Negeri ini yaitu rakyat Indonesia. Semoga Pemerintah kuat dan tetap bijak dalam mengambil keputusan dalam melayani bangsa Indonesia.

SUMBER :

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.