Perang
dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan China kian panas. Perang
dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China dikhawatirkan akan membuat
defisit neraca dagang RI tahun ini semakin lebar. Hal ini diperkirakan akan
berdampak pada kembali terjadinya defisit neraca perdagangan Indonesia. Apalagi
Indonesia baru satu kali mencatat surplus neraca perdagangan, yaitu pada Maret
2018 sebesar US$ 1,09 miliar.
Jumat
(15/6/2018) lalu, Presiden AS Donald Trump menjatuhkan tarif berat sampai 25%
atas produk impor China bernilai US$ 50 miliar. Tarif yang berimbas pada 800
produk penting China itu, termasuk mobil, akan berlaku 6 Juli 2018 mendatang. China
pun diberitakan akan membalas dengan memberlakukan tarif yang sama beratnya
dengan sikap AS, yang berdampak pada 659 produk AS. Produk impor dari AS yang
dibidik sekitar 659 produk bernilai US$ 50 miliar.
Risiko
perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia yakni Amerika Serikat (AS) dan
China menyedot perhatian para ekonom dunia. Ancaman AS untuk mengenakan tarif
impor atas barang-barang China senilai US$ 200 miliar berpotensi memangkas
target pertumbuhan ekonomi China ke depan. Peringatan itu datang di tengah
tanda-tanda bahwa ekonomi negara penyumbang terbesar pertumbuhan global ini
sudah melambat karena perselisihan perdagangan yang berisiko menjadi perang
perdagangan yang berlarut-larut.
Presiden
AS Donald Trump pada Senin (18/6/2018) memerintahkan identifikasi tarif
tambahan 10% atau senilai US$ 200 miliar terhadap barang-barang China. Ini
adalah reaksi Trump karena China menaikkan tarif impor barang AS senilai US$ 50
miliar. AS menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi China yang spektakuler telah
dicapai secara signifikan melalui tindakan, kebijakan, dan praktik agresif yang
berada di luar norma dan aturan global. China menaikkan tarif untuk membalas
kebijakan Trump yang memutuskan untuk merealisasikan pengenaan tarif 25% pada
produk China senilai US$ 50 miliar mulai 6 Juli.
UBS
Group AG seperti diberitakan Bloomberg, memperkirakan, putaran awal tarif impor
senilai US$ 50 miliar dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi China sebesar 10 bps
di tahun pertama. Jika Trump memaksakan tarif lebih dari US$ 100 miliar,
hambatan pada pertumbuhan China bisa sekitar 30 bps hingga 50 bps.
Bursa
saham Asia bergerak cenderung turun pada Kamis (28/6/2018) pukul 8.30 WIB,
indeks Nikkei 225 turun 0,68% ke 22.118. Taiex turun 0,51% ke 10.646. Kospi
turun 0,65% ke 2.326. Straits Times terkoreksi 0,04% ke 3.253 dan FTSE Malaysia
turun 3.252. Sedangkan ASX menguat 0,14%. Hang Seng turun 0,23% ke 28.421.
Indeks Hang Seng masih menguat meski ada kekhawatiran perang dagang Amerika
Serikat-China.
Presiden
AS Donald Trump mengatakan dengan pembatasan akuisisi China atas perusahaan
teknologi AS akan memperkuat keamanan nasional. Asosiasi otomotif AS
memperingatkan bahwa jika AS mengenakan tarif 25% atas kendaraan impor, maka
akan ada penghapusan ratusan ribu pekerjaan di sektor ini. Alhasil, kenaikan
tarif akan mengerek harga kendaraan. Pasar keuangan masih cenderung menahan
diri di tengah perang dagang global yang makin meluas.
Tentang
dampak tarif impor itu, analisis bervariasi dan tergantung pada rincian akhir
dari aplikasi tarif impor itu. Realitas bahwa otoritas China memiliki kekuatan
moneter dan fiskal yang sangat besar yang dapat mereka lepaskan untuk melawan
perlambatan perdagangan juga akan menjadi pengaruh besar.
Chief
Global Strategist Rakuten Securities Mutsumi Kagawa, kepada Reuters mengatakan,
awalnya, investor melihat langkah Trump sebagai taktik negosiasi untuk
mendapatkan kesepakatan lebih baik. Tapi, sekarang investor mulai khawatir
langkah ini akan merusak ekonomi. Potensi perang dagang yang memanas antara
China dan Amerika Serikat (AS) akan berdampak buruk terhadap ekonomi dunia,
termasuk bagi ekonomi China dan AS.
Studi
lembaga riset China yakni National Institution for Finance & Development
(NIFD) menunjukkan ada potensi kepanikan di industri finansial China. Pembuat
kebijakan China semakin khawatir akan terjadi turbulensi dan ketegangan yang meningkat
di pasar keuangan. Sejumlah bahaya di depan mata diantaranya gagal bayar atawa
default surat utang, likuiditas yang mengering dan penurunan pasar finansial di
tengah tren kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS).
Menurut
Bloomberg, NIFD memperingatkan pembelian saham dengan leverage telah mencapai
level seperti di 2015 ketika pasar ambruk dan nilai pasar menguap US$ 5
triliun. "Kami pikir China saat ini seperti panik melihat kondisi sektor
keuangannya," tulis NIFD dalam riset yang sempat diunggah di internet
sebelum kemudian dihapus.
Menurut
NIFD, China harus siap meluncurkan kebijakan campuran fiskal dan kebijakan
untuk menjaga pasar jika terjadi krisis sistemik. Otoritas keuangan China juga harus mengambil
langkah penuh untuk mendukung sektor keuangan jika default terjadi. Goncangan
telah terlihat dari nilai tukar mata
uang yuan yang tertekan serta harga saham yang melorot.
Lembaga
riset pemerintah China yakni Chinese Academy of Agricultural Sciences juga
meluncurkan riset yang menyebut perang dagang bakal menurunkan porsi ekspor
pertanian AS hingga 40%. Pengiriman sejumlah produk pertanian dari Negeri Paman
Sam ke China menurun drastis, seperti produk kacang kedelai, kapas, daging sapi
dan diperkirakan masing-masing turun hingga 50%. Penurunan ekspor AS ke China
mengakibatkan harga keledai impor bisa naik 5,9% dan harga kapas impor naik
7,5%. Dengan kondisi tersebut China makin gencar merajut jalur sutera modern
antarnegara atawa One Belt One Road (OBOR). Harapannya, bisa memenuhi pasokan
kedelai dari negara lain demi memenuhi kebutuhan produk biji-bijian di dalam
negeri.
Ekonom
Eksekutif di Nomura, Takahide Kiuchi, mengatakan, dalam skenario terburuk,
kedua negara dapat berakhir dengan mengenakan tarif tambahan rata-rata sekitar
10% pada semua barang impor dari negara
lain.
Perkiraan
dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), skenario
terburuk dari perang dagang akan mengurangi produk domestik bruto (PDB) AS
sebesar 2,2% dan PDB China sebesar 1,7%.
Direktur
Pelaksana Bank Sentral Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS) Ravi
Menon, seperti dilansir Bloomberg mengingatkan sebuah peringatan keras akan
konsekuensi "mengerikan" terhadap ekonomi global bila friksi
perdagangan saat ini makin meningkat menjadi perang dagang besar-besaran. Dunia
telah jelas bergerak dari ketegangan perdagangan ke konflik perdagangan. Jika
ini meningkat menjadi perang dagang, tiga mesin pertumbuhan ekonomi global
yakni manufaktur, perdagangan, dan investasi, akan mandek. Apalagi setelah AS
mengancam akan memberlakukan tarif impor lebih tinggi pada barang-barang dari
China, Kanada, Uni Eropa, dan negara lainnya, maka kekhawatiran bahwa konflik
perdagangan menyebar semakin meningkat. Ini akan merongrong pertumbuhan ekonomi
global dan melukai negara-negara yang bergantung pada ekspor seperti Singapura.
Perang dagang ini lebih berisiko dibandingkan harga minyak yang makin memanas,
kenaikan suku bunga global dan kurs dollar yang lebih kuat. Dampak langsung
dari tarif impor yang lebih tinggi akan terbatas. Namun jika konflik menyebar,
hasilnya akan parah bagi ekonomi global. Jika konflik perdagangan yang serius
atau perang dagang dengan tarif yang diterapkan di berbagai macam produk, konsekuensinya
akan sangat mengerikan.
Bank
Sentral Singapura memperkirakan pertumbuhan ekonomi Singapura sebesar 2,5%-3,5%
pada tahun ini. MAS yang menggunakan mata uang sebagai instrumen utama
moneternya dibandingkan suku bunga, bergeser ke pengetatan kebijakan moneter
sejak April 2018 karena inflasi meningkat. Jika konflik perdagangan menjadi
jauh lebih serius, maka itu bukan lagi risiko di belakang. Itu menjadi
kenyataan saat ini, dan dalam hal ini, kebijakan moneter harus
memperhitungkannya.
Analis
Monex Investindo Futures Putu Agus Pransuamitra mengatakan, aksi ambil untung
terjadi pada the greenback lantaran dollar AS telah menguat signifikan. Aksi
ambil untung terhadap dollar Amerika Serikat (AS) membuat rupiah rebound. Rabu (4/7/2018),
kurs spot rupiah naik 0,24% ke posisi Rp 14.363 per dollar AS. Adapun kurs
tengah rupiah di Bank Indonesia menanjak 0,52% ke Rp 14.343 per dollar AS. Selain
itu, kemarin pasar keuangan AS libur karena merayakan hari kemerdekaan AS.
Pemerintah
China menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 6,5%, turun dari
realisasi tahun lalu, yaitu 6,9%. Para pejabat pemerintahan China sudah
menjalankan kebijakan dalam upaya menjaga pasar keuangan dari guncangan
sengketa perdagangan dengan AS dan prospek pertumbuhan yang memburuk. Regulator
China menjaga nilai tukar yuan pada tingkat yang jauh lebih kuat dari yang
diharapkan (Rabu, 20/6/2018). Ini menunjukkan upaya untuk membendung
kemerosotan dua hari yang paling curam sejak devaluasi 2015.
Gubernur
Bank Sentral China Yi Gang berjanji untuk menggunakan perangkat kebijakan
moneter "komprehensif" untuk mendukung ekonomi negara. Intervensi
bank sentral dilakukan setelah nilai tukar yuan turun drastis di bawah level
psikologis. Ekuitas perusahaan China juga terus merosot karena bursa saham di
Shanghai Composite Index turun ke level terendahnya selama dua tahun. Pasar
finansial China tertekan setelah Trump melontarkan ancaman tambahan tarif impor
senilai US$ 200 miliar dan menuduh China menjalankan kebijakan yang mengancam
ekonomi dan keamanan nasional AS.
Eskalasi
perselisihan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China mengguncang
pasar saham global. Menurut Chief Executive Officer Goldman Sachs Group Inc.,
Lloyd Blankfein, ancaman Trump lebih ke strategi tawar-menawar. Ketiga indeks
utama di Wall Street ditutup merosot pada perdagangan Selasa (19/6/2018) waktu
setempat.
Mengutip
Bloomberg, Dow Jones Industrial Average berakhir turun 287,26 poin atau 1,15%
menjadi 24.700,21. Indeks S&P 500 mengekor dengan penurunan sebesar 11,18
poin atau 0,40% ke level 2.762,57. Begitu pula dengan Nasdaq Composite tergerus
21,44 poin atau 0,28% menjadi 7.725,59. Indeks acuan saham AS langsung melemah
sejak awal perdagangan, karena perang dagang antara AS dan China kian memanas.
Meski sempat mencoba naik, namun indeks tak mampu berakhir di zona positif.
Dengan penurunan tersebut, kinerja Dow Jones pada tahun ini sudah minus.
Emily
Roland, kepala riset pasar modal di John Hancock Investments, seperti dilansir
Reuters, Rabu Investor tersadar dengan pemikiran bahwa semua retorika dalam
perdagangan bisa lebih dari sekadar taktik negosiasi," kata.
Michael
O’Rourke, kepala strategi pasar di JonesTrading mengatakan mengingat retorika
dari kedua negara tersebut yang memanas belakangan ini, sejumlah investor
menilai penurunan pada saham AS relatif kecil. Pasar AS telah bertindak lebih
kuat daripada pasar ekuitas global. Ini terbilang respons yang tenang. Indeks
volatilitas CBOE, yang mengindikasikan tingkat kekhawatiran di Wall Street,
sempat mencapai 14,68, tertinggi hampir tiga minggu, sebelum turun ke 13,35.
Imbas
perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, berpotensi menurunkan
porsi ekspor pertanian AS hingga di angka 40%. Ini adalah laporan yang
diterbitkan Chinese Academy of Agricultural Sciences, sebuah lembaga riset
pemerintah China. Pengiriman sejumlah produk pertanian dari AS ke China menurun
drastis, seperti produk kacang kedelai, kapas, daging sapi dan diperkirakan
masing-masing turun hingga 50%. Adapun laporan riset ini disebarluaskan melalui
akun Wechat resmi lembaga pertanian China tersebut, pada Selasa (26/7/2018).
Mengutip
Bloomberg Rabu (27/6/2018), penurunan ekspor AS ke China mengakibat harga
keledai impor bisa naik 5,9% dan harga kapas impor naik 7,5%. Kenaikan
tersebut, diperkirakan bakal mempengaruhi harga komoditas pertanian lain
walaupun kecil. Atas hal itu, China justru makin gencar merajut jalur sutera
modern antarnegara One Belt One Road (OBOR). Harapannya, bisa memenuhi pasokan
kedelai dari negara lain demi mendukung kebutuhan produk biji-bijian di dalam
negeri. Meski demikian, Chinese Academy of Agricultural Sciences
merekomendasikan agar pemerintah China dapat menekan harga produk gandum dan
beras, salah satunya melalui subsidi.
Karena
China dikenal sebagai importir produk pertanian terbesar di dunia sejak tahun
2017 maka untuk menyelesaikan sengketa perdagangan itu, diperlukan negoisasi
antara negara yang bisa menguntungkan semua pihak.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2017, ekspor nonmigas Indonesia ke
China mencapai US$ 21,32 miliar atau 13,94% dari total ekspor nonmigas
Indonesia. Jumlah itu tumbuh signifikan, mencapai 41,03% year on year (yoy).
Sementara ekspor nonmigas Indonesia ke AS mencapai US$ 17,14 miliar atau 11,2%
dari total eksppr nonmigas Indonesia. Jumlah itu juga tumbuh 9,29% yoy. Bulan
Agustus-September masih berpotensi defisit US$ 500 juta-US$ 1 miliar. Ada
tekanan juga dari defisit migas seiring harga minyak yang tak terprediksi.
Sejak awal tahun hingga saat ini, neraca dagang Indonesia memang baru satu kali
mencapai surplus pada Maret 2018 sebesar US$ 1,09 miliar.
Pemerintah
harus segera mencari strategi untuk mengalihkan produk ekspor ke pasar lain.
Sebab, beberapa komoditas strategis seperti CPO, tekstil, hingga karet akan
terkena imbas. Di kuartal pertama 2018 saja, pertumbuhan ekspor CPO dan karet
secara tahunan, jeblok. Pasar lain, misalnya Afrika Bagian Tengah dan Selatan,
Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Rusia. Indonesia perlu bekerja
keras untuk masuk ke pasar-pasar tersebut. Sebab selama ini permasalahan
perdagangan Indonesia adalah tidak memiliki perjanjian dagang yang menyebabkan
bea masuk mahal, biaya logistik yang belum efisien, dan atase perdagangan pasif
sehingga market intelligence untuk data kebutuhan pasar masih lemah.
Project
Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan,
perang dagang AS dan China dalam skala global akan merugikan perekonomian
dunia. Tak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka menengah dan
panjang. Beberapa negara bisa untung, jika memang produk ekspornya merupakan
produk substitusi China. Tapi perang dagang berisiko memperbesar defisit neraca
perdagangan Indonesia. Sebabnya pertama, ekspor Indonesia ke China melemah jika
pertumbuhan ekonomi China melambat. Kedua, ada pengalihan beberapa barang
ekspor dari China yang tadinya ke AS menjadi ke Indonesia, seperti baja dan
alumunium. Perkiraan Eric, dampak perang dagang terasa setelah satu kuartal
tarif-tarif impor tersebut diberlakukan.
Ekonom
Bank Permata Josua Pardede melihat, dampak perang dagang terhadap neraca dagang
Indonesia paling cepat terasa tahun depan. Sebab, hingga kini negosiasi masih
terus berlangsung.
Ekonom
Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira
Adhinegara mengatakan, perang dagang akan membuat neraca perdagangan RI kembali
defisit di semester II-2018. Bulan Agustus-September berpotensi defisit US$ 500
juta–US$ 1 miliar. Karena itu pemerintah harus segera mencari strategi
mengalihkan produk ekspor ke pasar lain, seperti Afrika Bagian Tengah dan
Selatan, Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Rusia. Sebab, beberapa
komoditas strategis seperti minyak sawit (CPO), tekstil, hingga karet akan
terkena imbas.
Semoga
Indonesia mampu menghadapi goncangan ekonomi dunia ini.
SUMBER
:
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.