Rasial Antara Saham dan Rumah di Amerika
Peluang & Inklusif Growth Institute pada bulan
Juni 2018 membahas ketidakseimbangan dengan sekumpulan data baru yang
dikembangkan dari survei historis, dan menunjukkan bahwa kekayaan, khususnya,
kepemilikan saham dan rumah, telah menjadi kekuatan utama di balik tren
ketidaksetaraan AS selama 70 tahun.
... Analisis mereka dimulai dengan mengkonfirmasi
temuan para sarjana lain: polarisasi pendapatan meningkat sejak tahun 1970-an,
dengan kerusakan tertentu pada posisi relatif kelas menengah. Ini juga memberi
penerangan baru pada ketidaksetaraan ekonomi antara orang kulit hitam dan kulit
putih dengan mengukur perbedaan besar dalam kekayaan serta penghasilan, dan
tidak ada kemajuan dalam mengurangi kesenjangan itu.
"Ketidaksetaraan hitam-putih ekonomi tetap
besar dan persisten, dan tren ketidaksetaraan kekayaan terbaru untuk semua
orang Amerika dijelaskan oleh aset, bukan pendapatan"
Kontribusi paling baru dari studi ini adalah mengungkapkan
peran tunggal dari komposisi portofolio rumah tangga — kepemilikan berbagai
jenis aset — dalam menentukan tren ketidaksetaraan. Karena sumber utama
kekayaan kelas menengah Amerika adalah kepemilikan rumah, dan kepemilikan aset
utama dari 10 persen teratas adalah kesetaraan, harga relatif dari dua aset
telah menetapkan jalur distribusi kekayaan dan mendorong irisan antara evolusi
pendapatan dan kekayaan.
Singkatnya, ketika harga rumah naik dari tahun 1950
hingga pertengahan tahun 2000-an, kekayaan kelas menengah mempertahankan
kekayaannya sendiri terhadap kekayaan kelas atas bahkan ketika pendapatan kelas
menengah stagnan. Tetapi setelah krisis keuangan, pemulihan pasar saham yang
cepat dan perputaran harga perumahan yang lambat berarti melonjaknya
ketidaksetaraan kekayaan yang bahkan melebihi dekade terakhir dalam
ketidaksetaraan pendapatan. ...
Detail demografi dan rentang waktu 70 tahun dari
basis data baru juga memungkinkan analisis yang ketat atas ketidaksetaraan ras,
era hak-hak pra dan pasca-sipil. Gambar itu mengecewakan. Disparitas pendapatan
saat ini sama besarnya dengan tahun 1950, dengan pendapatan rumah tangga yang
masih setengah dari rumah tangga kulit putih. Kesenjangan ras dalam kekayaan
bahkan lebih luas, dan juga stagnan. Rumah tangga hitam rata-rata memiliki
kurang dari 11 persen kekayaan rumah tangga putih median (sekitar $ 15.000
versus $ 140.000 dalam harga tahun 2016). Para ekonom juga menemukan bahwa
krisis keuangan sangat memukul keluarga kulit hitam.
“Lebih dari
tujuh dekade, di samping tidak ada kemajuan yang telah dibuat dalam menutup
jurang pendapatan hitam-putih. Kesenjangan kekayaan rasial juga sama gigihnya.
... Rumah tangga hitam khas tetap lebih miskin dari 80% rumah tangga kulit
putih. ”
Untuk menjelaskan perbedaan tren dalam ketimpangan
pendapatan dan kekayaan sebelum krisis, para ekonom memanfaatkan kekuatan kunci
dari basis data: Ini mencakup informasi pendapatan dan kekayaan, rumah
tangga-oleh-rumah tangga, dan neraca 70 tahun dengan komposisi portofolio yang
terperinci. Mereka menemukan bahwa 50 persen terbawah sekarang memiliki sedikit
atau kekayaan negatif (yaitu, utang), dan bagiannya turun dari 3 persen dari
total kekayaan pada 1950 menjadi 1,2 persen pada tahun 2016. Untuk setengah
bagian atas, diversifikasi portofolio menentukan tren kekayaan. Data
menunjukkan bahwa rumah adalah aset utama untuk rumah tangga antara ke-50 dan
ke-90 persentil, sedangkan 10 teratas juga memiliki bagian besar dari ekuitas.
Oleh karena itu, kekayaan rumah tangga kelas menengah sangat dipengaruhi oleh
fluktuasi harga rumah, dan 10 persen teratas lebih sensitif terhadap variasi
pasar saham.
Perbedaan dalam kepemilikan aset ini menjelaskan
bagaimana, sebelum krisis, rumah tangga kelas menengah mengalami peningkatan
kekayaan secara paralel dengan peringkat 10 teratas, meskipun pendapatan riil
mereka stagnan dan tabungan tidak berarti. Tetapi gambar berubah secara
dramatis pasca-krisis.
Para ekonom menyimpulkan, dalam "perlombaan
antara pasar saham dan pasar perumahan, 10 persen terkaya, berdasarkan pasar
saham pendakian, menikmati kekayaan pasca-krisis yang melonjak, sementara
kekayaan rumah tangga rata-rata sebagian besar stagnan. Ketika harga rumah
ambruk pada krisis 2008, posisi portofolio yang diuntungkan dari kelas menengah
membawa kerugian kekayaan substansial, sementara rebound cepat di pasar saham
mendorong kekayaan di atas. Perubahan harga relatif antara rumah dan ekuitas
setelah tahun 2007 telah menghasilkan lonjakan terbesar dalam ketidaksetaraan
kekayaan dalam sejarah Amerika pascaperang. ”
Kepemilikan Properti di Indonesia
PEMERINTAH pusat maupun daerah diharapkan bisa
bersama-sama mengembangkan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) atau rumah
susun sederhana milik (rusunami) untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat
perkotaan, terutama di Jakarta.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (Metro TV, Jumat, 14/7/2016)
menyebut, survei ekonomi nasional yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS),
tingkat kepemilikan rumah di Jakarta menduduki peringkat paling rendah, yakni
sekitar 50,16%. Angka tersebut masih jauh lebih rendah ketimbang rata-rata
angka kepemilikan rumah tingkat nasional yang mencapai angka 82,58%. Bicara
tentang properti yang paling utama salah satunya masalah kepemilikan. Melihat
data BPS, tugas pemerintah sangat penting untuk bisa menyediakan perumahan yang
affordable sehingga terjangkau oleh masyarakat khususnya kelas menengah ke
bawah. Kemampuan membeli properti di Indonesia masih didominasi penduduk
berpenghasilan di atas Rp12 juta, sedangkan jumlah penduduk dengan penghasilan
sebesar itu kurang dari 5%. Akibatnya, masyarakat terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta tidak mampu membeli rumah yang harganya ditaksir rata-rata
sudah mencapai Rp480 juta per unit.
Idealnya, pemerintah melakukan kebijakan bidang
perumahan seperti yang berlaku di Singapura. Melalui sistem yang seperti
rusunami, mereka (Singapura) berhasil menjadikan warganya memiliki kemampuan
untuk membeli rumah dan rumahnya itu memang disiapkan oleh negara. Itu yang
mungkin masih kurang dikembangkan di kita.
Di sisi lain, dukungan pemerintah tidak cukup hanya
dari sisi operasional, tetapi dalam kapasitas sebagai regulator. Salah satu
yang menjadi kendala di sektor properti ialah lantaran belum adanya peraturan
yang benar-benar mendukung, baik dari sisi pengembang maupun konsumen. Sebagai
contoh peraturan tentang kepemilikan lahan kosong atau dikenal dengan istilah
land bank. Pemerintah saat ini sedang mendorong terbitnya Peraturan Presiden
(Perpres) tentang land bank yang memasuki tahap akhir. Kebijakan tersebut
dinilai penting karena secara hukum semua tanah pada dasarnya milik negara. Tapi
secara de facto kan tidak demikian. Kita berharap mudah-mudahan (Perpres) tahun
ini segera selesai karena kalau tidak akan terus membuka potensi bagi para
spekulan untuk bermain.
Bukan hanya itu, peraturan mengenai pajak progresif
juga sudah menjadi perbincangan sejak lama. Diharapkan nantinya kebijakan
tersebut bisa mencegah para spekulan dalam memanfaatkan land bank yang selalu
mencari keuntungan besar. Tujuan utamanya supaya orang-orang seperti itu tidak
mendapatkan keuntungan berlebihan. Caranya ya kita tax. Tapi bukan berarti akan
menghalangi perusahaan properti atau orang-orang yang punya land bank luas
untuk berinvestasi perkantoran, industri, atau perumahan," terang Bambang.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan,
dalam Property Report Congress, di Jakarta, (Kamis, 13/10/2016) mengatakan Bappenas
mencatat persentase kepemilikan rumah di Indonesia hanya sebanyak 78,7 persen.
Dalam persentase tersebut perbandingan pemilik rumah yang membangun sendiri
dengan yang membeli dari pengembang jauh berbeda. Sebanyak 71 persen di
antaranya membangun sendiri, hanya 4 persen yang membeli dari pengembang,
artinya potensinya masih besar. Selain itu, masalah backlog kepemilikan rumah
di Indonesia juga, kata Bambang masih besar, yakni sebesar 11,8 juta. Untuk itu
penyediaan perumahan bagi masyarakat menengah bawah khususnya jadi perhatian
pemerintah. Ada dua agenda yang pertama adalah mengurangi defisit rumah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, dengan menyediakan 1 juta rumah tiap tahun
dan memberikan subsidi 1,75 juta unit rumah baru. Yang kedua, tambah Bambang,
pemerintah menargetkan bisa turut meningkatkan kualitas rumah tidak layak
dengan memberi subsidi terhadap 1,5 juta rumah serta mengurangi 38.341 hektare
area kumuh sampai 2019.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanudin (Kompas.com, 25
Agustus 2016) di tengah perayaan Hari Perumahan Nasional Hapernas mengatakan masih
banyak rakyat Indonesia yang belum memiliki rumah. Kendati Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan pada 2015 silam terdapat 82,8 persen masyarakat
Indonesia yang sudah memiliki rumah atau meningkat dari 72 persen saat 2010,
hal itu belum menjadi indikator membaiknya realisasi pemenuhan rumah bagi
rakyat. Tetapi tetap itu hanya menjadi data dan kami beranggapan masih banyak
masyarakat yang belum memiliki rumah sehingga ini yang harus difokuskan.
Hingga saat itu ada beberapa kondisi yang
menghambat realisasi pembangunan perumahan rakyat. Kondisi pertama adalah
kondisi pekerja informal di perkotaan. Syarif menilai bahwa pekerja informal
seperti penjual bakso, pedagang kaki lima, dan lainnya memang tidak memiliki
rumah di kota namun mereka memiliki rumah di daerah asalnya. Mereka urbanisasi,
cari pekerjaan di kota tapi sesungguhnya mereka punya rumah dari hasil
keuntungan dia kerja di kota sehingga ini tidak bisa dikategorikan sebagai
masyarakat yang belum memiliki rumah. Hal itu disebut sebagai pembangunan rumah
swadaya. Saat ini di Indonesia lebih banyak pembangunan rumah swadaya ketimbang
lewat pengembang ataupun bank.
Berdasarkan data, pembangunan rumah swadaya
berjumlah 70 hingga 80 persen dari total rumah yang dibangun. Namun sayangnya,
pembangunan rumah swadaya ini justru kerap luput dari perhatian. Imbasnya
kemudian berpengaruh terhadap raihan pencapaian pembangunan rumah yang ada dari
tahun ke tahun. Tetapi kadang-kadang kita lupa mendata bahwa rumah-rumah di
Indonesia tidak melalui pengembang dan bank tapi bersifat swadaya sehingga
pertumbuhan rumah di Indonesia ini berdasarkan data masih lebih bagus dibanding
tahun-tahun sebelumnya.
Hingga Agustus 2016, realisasi Program Nasional
Pembangunan Sejuta Rumah berdasarkan data dari Kementerian PUPR semester
II-2016 adalah sebanyak 345.501 unit. Masih jauh dari target 1 juta unit, Laporan
dari BTN baru terbangun 220.000 unit, dari APBN sekitar 100.000, pemerintah
daerah 8.500 unit, kemudian Kementerian/Lembaga Transmigrasi 16.923 unit, dan
rumah komersial yang dibangun masyarakat 78 unit.
Kemampuan pengembang Real Estat Indonesia (REI) dan
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dalam
membangun rumah untuk rakyat. REI menargetkan membangun 250.000 sampai dengan
300.000 unit rumah sedangkan Apersi sebanyak 70.000 unit rumah tahun ini. Saya
tanya Apersi-nya, mereka mau bangun 70.000 dan ini naik dari 45.000 target
mereka tahun lalu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin
Nasution mengatakan kendala yang mengadang pemerintah dalam percepatan
pembangunan salah satunya adalah perizinan. Setelah pada Rabu (24/8/2016)
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII tentang perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah. PKE ini diluncurkan untuk mendukung
realisasi Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah yang merupakan bagian
dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Dengan
paket kebijakan ekonomi ini, akan meningkatkan akses masyarakat untuk
mendapatkan rumah. Melalui PKE XIII itu, pemerintah akan menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) yang isinya meliputi penyederhanaan jumlah dan waktu perizinan
pembangunan perumahan. Adanya PKE XIII ini juga menghapus atau mengurangi
berbagai perizinan dan rekomendasi yang diperlukan untuk membangun rumah MBR
dari semula sebanyak 33 izin dan tahapan menjadi 11 izin dan rekomendasi.
Dengan pengurangan perizinan dan tahapan itu, maka waktu pembangunan rumah MBR
yang selama ini rata-rata mencapai 769-981 hari dapat dipercepat menjadi 44
hari.
Kenaikan harga rumah tinggal (perumahan) .
Setiap kuartal Bank Indonesia mengadakan survei ke
mayoritas pengembang properti di 16 daerah/kota Indonesia termasuk:
Jabodetabek-Banten, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Manado, Makassar,
Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Bandar Lampung, Palembang, Padang, Medan,
Batam, dan Balikpapan. Jumlah responden dari survei ini per tahun 2016 meliputi
50 pengembang besar dan 441 pengembang yang tersebar di 15 kantor regional Bank
Indonesia. Data dikumpulkan langsung melalui wawancara tatap muka langsung yang
menyertakan informasi harga rumah, jumlah unit yang dikembangkan dan terjual
dalam kuartal yang bersangkutan. Daerah yang disurvei BI awalnya hanya 12 kota,
sejak 2008 bertambah menjadi 14 kota, dan sejak 2015 menjadi 16 kota. Dengan
bertambahnya daerah ini BI telah melakukan penyesuaian indeks ke belakang.
Sayang data tersebut tidak tersedia secara lengkap di laporan 5 tahun terakhir.
Indeks Properti Bolasalju yang diolah dari
Residential Property Price Index (RPPI) melansir data indeks yang mewakili
perkembangan data harga properti yang dilaporkan BI.
Pada tahun 2012 dan pertengahan pertama tahun 2013
sektor properti Indonesia bertumbuh cepat, hingga pertumbuhan keuntungan para
developer properti Indonesia melonjak tajam (dari 45 perusahaan properti yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012, 26 perusahaan mencatat
pertumbuhan laba bersih lebih dari 50%) dan, jelas, harga properti Indonesia
meningkat sejalan dengan itu (pada umumnya harga properti residensial bertumbuh
hampir 30% per tahun antara 2011 dan 2013).
Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia
semakin kuatir mengenai berkembangnya gelembung properti karena perekonomian
umum sedang melambat namun sektor properti naik sangat tinggi di pertengahan
pertama tahun 2013 . Bank Indonesia mengatakan bahwa pihak BI sudah mendeteksi
pembelian spekulatif dan karenanya mengimplementasikan kebijakan pengetatan
moneter.
Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia
mengetatkan kebijakannya dengan menaikkan persyaratan uang muka minimum dan
memotong pinjaman hipotek untuk kepemilikan rumah kedua. Bank-bank juga
dilarang memberikan pinjaman untuk properti-properti yang masih dalam proses
pembangunan (untuk para pembeli hunian kedua atau lebih). Persyaratan uang muka
yang lebih tinggi (atau rasio loan-to-value yang lebih rendah) diaplikasikan
untuk properti-properti berukuran lebih dari 70 meter persegi, dan karenanya
secara spesifik ditujukan untuk pasar menengah ke atas.
Pada tengah 2014 ketidakjelasan politik (dan
karenanya ketidakjelasan perekonomian juga) menjelang pemilihan Presiden dan
Legislatif, para pengembang Indonesia cenderung menunda proyek-proyek baru, factor
menyebabkan penurunan pasar properti Indonesia. Contohnya, Indeks Harga
Properti Hunian dari Bank Indonesia menurun 6,3% di 2014, turun dari tingkat
pertumbuhan tahunan sebesar 11,5% pada setahun sebelumnya (terlebih lagi
inflasi Indonesia naik 8,4% di 2014, karenanya melebihi kecepatan pertumbuhan
indeks harga propperti). Penurunan terbesar untuk pertumbuhan properti
dirasakan di wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang & Bekasi (Jabodetabek).
Ini juga merupakan akibat dari pasar properti Jakarta (dan juga pasar-pasar
lainnya di kota-kota besar di Jawa seperti Surabaya dan Bandung) telah menjadi
agak jenuh karena pembangunan properti besar-besaran di tahun-tahun sebelumnya.
Pulau-pulau lain, seperti Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan, kini dipandang
sebagai pasar berpotensi besar untuk pembangunan properti (perkotaan) karena
saat ini masih belum banyak dikembangkan.
Pada 2007 sebuah rumah dijual seharga Rp500 juta.
Pada akhir 2016, rumah baru dengan tipe yang sama mungkin dijua seharga Rp1,5
miliar. Jika dihitung dengan kenaikan biasa, kenaikannya adalah 3 kali lipat
atau 200% (disetahunkan 11,61%—bukan rata-rata 20%). Indeks RPPI ini sama dengan
inflasi dan rerata IHSG yang bersifat majemuk, kalkulasi harus dengan
compounding interest, efek bunga majemuk, bukan rata-rata biasa. Tidak semua properti mengalami kenaikan
fenomenal seperti itu. Sifat kenaikan terkait erat lokasi dan pertumbuhan daerah.
Di kota lain yang belum tumbuh, kenaikannya tidak seberapa.
Kesimpulan Indeks Harga Rumah Tinggal (Properti) di
Indonesia; Total akumulasi keuntungan investasi properti di Indonesia dari 2002
hingga 2016 adalah 135,53% untuk waktu 15 tahun; CAGR properti di Indonesia
dari 2002 hingga 2016 adalah 5,88% (rata-rata 5,91%); Total akumulasi
keuntungan investasi properti di Indonesia 10 tahun terakhir adalah 65,16%;
CAGR properti di Indonesia 10 tahun terakhir adalah 4,67% (rata-rata 5,18%). Dari
data yang tersedia dari 2002-2016, keuntungan dari investasi properti tidak
bisa mengalahkan inflasi. Dengan perbandingan 10 tahunan dalam rentang
2007-2016 pun hasilnya masih tidak memadai.
Sebuah survei dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa
penjualan properti hunian di kuartal 1 tahun 2015 mengalami penurunan
signifikan dalam perbandingan quarter-to-quarter (q/q). Hasil dari penjualan di
kuartal pertama tahun 2015 mencatat pertumbuhan 26,6% dibandingkan dengan 40,1%
di kuartal ke-4 tahun 2014. Sementara itu, tingkat pencairan pijaman hipotek di
bank-bank untuk rumah dan apartemen di kuartal 1 tahun 2015 naik hanya 0,12%
(q/q) dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pertumbuhan perekonomian Indonesia melambat sampai
level terendah selama enam tahun terakhir di kuartal 1 tahun 2015 dan karenanya
pihak-pihak berwenang bertekad untuk mengimplementasikan tindakan-tindakan
untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Karena bank sentral tidak punya ruang
untuk memotong BI rate (karena inflasi tinggi, defisit transaksi berjalan yang
lebar dan tekanan-tekanan eksternal yang berat), BI memutuskan untuk menaikkan
rasio LTV untuk pinjaman hipotek rumah mulai dari Juni 2015, karenanya
mengurangi kewajiban uang muka minimum untuk para pembeli rumah pertama. Rasio
LTV maksimum untuk pembelian rumah pertama dinaikkan menjadi 80% (dari
sebelumnya 70%), sementara untuk pembelian rumah kedua rasio LTV dinaikkan
menjadi 70% ( dari sebelumnya 60%). Terakhir, untuk rumah ketiga rasio barunya
adalah 60% (dari sebelumnya 50%). Ini berlaku untuk properti-properti yang
luasnya di atas 70 meter persegi yang dibeli menggunakan pembiayaan
konvensional.
Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa orang-orang
asing akan diizinkan untuk memiliki apartemen-apartemen mewah dengan nilai
minimum Rp 5 miliar, yang berarti Pemerintah perlu merevisi Peraturan
Pemerintah No. 41/1996 tentang Perumahan untuk Warganegara Asing yang Tinggal
di Indonesia yang sekarang masih melarang warganegara asing memiliki properti jenis
apapun di Indonesia. Pada saat ini, orang-orang asing hanya bisa menggunakan
properti melalui pemakaian ‘hak guna’ (bukan ‘hak milik’) untuk periode
maksimum 25 tahun (namun dapat diperbaharui untuk tambahan waktu 20 tahun).
Diprediksi bahwa orang-orang asing akan tetap hanya memiliki ‘hak guna’ setelah
revisi ini namun dengan durasi tak dibatasi dan juga hak untuk dapat
mewariskannya pada para pewaris dari warganegara asing tersebut. Beberapa
analis mengklaim bahwa tindakan ini dapat mendongkrak sektor properti domestik
sebanyak 20%.
Sudahkah punya rumah? Bersyukurlah sebagian besar
masyarakat Indonesia belum punya dan akan kesulitan untuk memiliki.
SUMBER :