KULIAH PUBLIK: Mengapa Memiliki Rumah SelaluTerhambat?

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Thursday, August 02, 2018

Mengapa Memiliki Rumah SelaluTerhambat?


Rasial Antara Saham dan Rumah di Amerika

Peluang & Inklusif Growth Institute pada bulan Juni 2018 membahas ketidakseimbangan dengan sekumpulan data baru yang dikembangkan dari survei historis, dan menunjukkan bahwa kekayaan, khususnya, kepemilikan saham dan rumah, telah menjadi kekuatan utama di balik tren ketidaksetaraan AS selama 70 tahun.

... Analisis mereka dimulai dengan mengkonfirmasi temuan para sarjana lain: polarisasi pendapatan meningkat sejak tahun 1970-an, dengan kerusakan tertentu pada posisi relatif kelas menengah. Ini juga memberi penerangan baru pada ketidaksetaraan ekonomi antara orang kulit hitam dan kulit putih dengan mengukur perbedaan besar dalam kekayaan serta penghasilan, dan tidak ada kemajuan dalam mengurangi kesenjangan itu.

"Ketidaksetaraan hitam-putih ekonomi tetap besar dan persisten, dan tren ketidaksetaraan kekayaan terbaru untuk semua orang Amerika dijelaskan oleh aset, bukan pendapatan"

Kontribusi paling baru dari studi ini adalah mengungkapkan peran tunggal dari komposisi portofolio rumah tangga — kepemilikan berbagai jenis aset — dalam menentukan tren ketidaksetaraan. Karena sumber utama kekayaan kelas menengah Amerika adalah kepemilikan rumah, dan kepemilikan aset utama dari 10 persen teratas adalah kesetaraan, harga relatif dari dua aset telah menetapkan jalur distribusi kekayaan dan mendorong irisan antara evolusi pendapatan dan kekayaan.

Singkatnya, ketika harga rumah naik dari tahun 1950 hingga pertengahan tahun 2000-an, kekayaan kelas menengah mempertahankan kekayaannya sendiri terhadap kekayaan kelas atas bahkan ketika pendapatan kelas menengah stagnan. Tetapi setelah krisis keuangan, pemulihan pasar saham yang cepat dan perputaran harga perumahan yang lambat berarti melonjaknya ketidaksetaraan kekayaan yang bahkan melebihi dekade terakhir dalam ketidaksetaraan pendapatan. ...

Detail demografi dan rentang waktu 70 tahun dari basis data baru juga memungkinkan analisis yang ketat atas ketidaksetaraan ras, era hak-hak pra dan pasca-sipil. Gambar itu mengecewakan. Disparitas pendapatan saat ini sama besarnya dengan tahun 1950, dengan pendapatan rumah tangga yang masih setengah dari rumah tangga kulit putih. Kesenjangan ras dalam kekayaan bahkan lebih luas, dan juga stagnan. Rumah tangga hitam rata-rata memiliki kurang dari 11 persen kekayaan rumah tangga putih median (sekitar $ 15.000 versus $ 140.000 dalam harga tahun 2016). Para ekonom juga menemukan bahwa krisis keuangan sangat memukul keluarga kulit hitam.

 “Lebih dari tujuh dekade, di samping tidak ada kemajuan yang telah dibuat dalam menutup jurang pendapatan hitam-putih. Kesenjangan kekayaan rasial juga sama gigihnya. ... Rumah tangga hitam khas tetap lebih miskin dari 80% rumah tangga kulit putih. ”

Untuk menjelaskan perbedaan tren dalam ketimpangan pendapatan dan kekayaan sebelum krisis, para ekonom memanfaatkan kekuatan kunci dari basis data: Ini mencakup informasi pendapatan dan kekayaan, rumah tangga-oleh-rumah tangga, dan neraca 70 tahun dengan komposisi portofolio yang terperinci. Mereka menemukan bahwa 50 persen terbawah sekarang memiliki sedikit atau kekayaan negatif (yaitu, utang), dan bagiannya turun dari 3 persen dari total kekayaan pada 1950 menjadi 1,2 persen pada tahun 2016. Untuk setengah bagian atas, diversifikasi portofolio menentukan tren kekayaan. Data menunjukkan bahwa rumah adalah aset utama untuk rumah tangga antara ke-50 dan ke-90 persentil, sedangkan 10 teratas juga memiliki bagian besar dari ekuitas. Oleh karena itu, kekayaan rumah tangga kelas menengah sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga rumah, dan 10 persen teratas lebih sensitif terhadap variasi pasar saham.

Perbedaan dalam kepemilikan aset ini menjelaskan bagaimana, sebelum krisis, rumah tangga kelas menengah mengalami peningkatan kekayaan secara paralel dengan peringkat 10 teratas, meskipun pendapatan riil mereka stagnan dan tabungan tidak berarti. Tetapi gambar berubah secara dramatis pasca-krisis.

Para ekonom menyimpulkan, dalam "perlombaan antara pasar saham dan pasar perumahan, 10 persen terkaya, berdasarkan pasar saham pendakian, menikmati kekayaan pasca-krisis yang melonjak, sementara kekayaan rumah tangga rata-rata sebagian besar stagnan. Ketika harga rumah ambruk pada krisis 2008, posisi portofolio yang diuntungkan dari kelas menengah membawa kerugian kekayaan substansial, sementara rebound cepat di pasar saham mendorong kekayaan di atas. Perubahan harga relatif antara rumah dan ekuitas setelah tahun 2007 telah menghasilkan lonjakan terbesar dalam ketidaksetaraan kekayaan dalam sejarah Amerika pascaperang. ”

Kepemilikan Properti di Indonesia

PEMERINTAH pusat maupun daerah diharapkan bisa bersama-sama mengembangkan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) atau rumah susun sederhana milik (rusunami) untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat perkotaan, terutama di Jakarta.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (Metro TV, Jumat, 14/7/2016) menyebut, survei ekonomi nasional yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kepemilikan rumah di Jakarta menduduki peringkat paling rendah, yakni sekitar 50,16%. Angka tersebut masih jauh lebih rendah ketimbang rata-rata angka kepemilikan rumah tingkat nasional yang mencapai angka 82,58%. Bicara tentang properti yang paling utama salah satunya masalah kepemilikan. Melihat data BPS, tugas pemerintah sangat penting untuk bisa menyediakan perumahan yang affordable sehingga terjangkau oleh masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah. Kemampuan membeli properti di Indonesia masih didominasi penduduk berpenghasilan di atas Rp12 juta, sedangkan jumlah penduduk dengan penghasilan sebesar itu kurang dari 5%. Akibatnya, masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta tidak mampu membeli rumah yang harganya ditaksir rata-rata sudah mencapai Rp480 juta per unit.

Idealnya, pemerintah melakukan kebijakan bidang perumahan seperti yang berlaku di Singapura. Melalui sistem yang seperti rusunami, mereka (Singapura) berhasil menjadikan warganya memiliki kemampuan untuk membeli rumah dan rumahnya itu memang disiapkan oleh negara. Itu yang mungkin masih kurang dikembangkan di kita.

Di sisi lain, dukungan pemerintah tidak cukup hanya dari sisi operasional, tetapi dalam kapasitas sebagai regulator. Salah satu yang menjadi kendala di sektor properti ialah lantaran belum adanya peraturan yang benar-benar mendukung, baik dari sisi pengembang maupun konsumen. Sebagai contoh peraturan tentang kepemilikan lahan kosong atau dikenal dengan istilah land bank. Pemerintah saat ini sedang mendorong terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang land bank yang memasuki tahap akhir. Kebijakan tersebut dinilai penting karena secara hukum semua tanah pada dasarnya milik negara. Tapi secara de facto kan tidak demikian. Kita berharap mudah-mudahan (Perpres) tahun ini segera selesai karena kalau tidak akan terus membuka potensi bagi para spekulan untuk bermain.
Bukan hanya itu, peraturan mengenai pajak progresif juga sudah menjadi perbincangan sejak lama. Diharapkan nantinya kebijakan tersebut bisa mencegah para spekulan dalam memanfaatkan land bank yang selalu mencari keuntungan besar. Tujuan utamanya supaya orang-orang seperti itu tidak mendapatkan keuntungan berlebihan. Caranya ya kita tax. Tapi bukan berarti akan menghalangi perusahaan properti atau orang-orang yang punya land bank luas untuk berinvestasi perkantoran, industri, atau perumahan," terang Bambang.

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, dalam Property Report Congress, di Jakarta, (Kamis, 13/10/2016) mengatakan Bappenas mencatat persentase kepemilikan rumah di Indonesia hanya sebanyak 78,7 persen. Dalam persentase tersebut perbandingan pemilik rumah yang membangun sendiri dengan yang membeli dari pengembang jauh berbeda. Sebanyak 71 persen di antaranya membangun sendiri, hanya 4 persen yang membeli dari pengembang, artinya potensinya masih besar. Selain itu, masalah backlog kepemilikan rumah di Indonesia juga, kata Bambang masih besar, yakni sebesar 11,8 juta. Untuk itu penyediaan perumahan bagi masyarakat menengah bawah khususnya jadi perhatian pemerintah. Ada dua agenda yang pertama adalah mengurangi defisit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan menyediakan 1 juta rumah tiap tahun dan memberikan subsidi 1,75 juta unit rumah baru. Yang kedua, tambah Bambang, pemerintah menargetkan bisa turut meningkatkan kualitas rumah tidak layak dengan memberi subsidi terhadap 1,5 juta rumah serta mengurangi 38.341 hektare area kumuh sampai 2019.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanudin (Kompas.com, 25 Agustus 2016) di tengah perayaan Hari Perumahan Nasional Hapernas mengatakan masih banyak rakyat Indonesia yang belum memiliki rumah. Kendati Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada 2015 silam terdapat 82,8 persen masyarakat Indonesia yang sudah memiliki rumah atau meningkat dari 72 persen saat 2010, hal itu belum menjadi indikator membaiknya realisasi pemenuhan rumah bagi rakyat. Tetapi tetap itu hanya menjadi data dan kami beranggapan masih banyak masyarakat yang belum memiliki rumah sehingga ini yang harus difokuskan.

Hingga saat itu ada beberapa kondisi yang menghambat realisasi pembangunan perumahan rakyat. Kondisi pertama adalah kondisi pekerja informal di perkotaan. Syarif menilai bahwa pekerja informal seperti penjual bakso, pedagang kaki lima, dan lainnya memang tidak memiliki rumah di kota namun mereka memiliki rumah di daerah asalnya. Mereka urbanisasi, cari pekerjaan di kota tapi sesungguhnya mereka punya rumah dari hasil keuntungan dia kerja di kota sehingga ini tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat yang belum memiliki rumah. Hal itu disebut sebagai pembangunan rumah swadaya. Saat ini di Indonesia lebih banyak pembangunan rumah swadaya ketimbang lewat pengembang ataupun bank.

Berdasarkan data, pembangunan rumah swadaya berjumlah 70 hingga 80 persen dari total rumah yang dibangun. Namun sayangnya, pembangunan rumah swadaya ini justru kerap luput dari perhatian. Imbasnya kemudian berpengaruh terhadap raihan pencapaian pembangunan rumah yang ada dari tahun ke tahun. Tetapi kadang-kadang kita lupa mendata bahwa rumah-rumah di Indonesia tidak melalui pengembang dan bank tapi bersifat swadaya sehingga pertumbuhan rumah di Indonesia ini berdasarkan data masih lebih bagus dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Hingga Agustus 2016, realisasi Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah berdasarkan data dari Kementerian PUPR semester II-2016 adalah sebanyak 345.501 unit. Masih jauh dari target 1 juta unit, Laporan dari BTN baru terbangun 220.000 unit, dari APBN sekitar 100.000, pemerintah daerah 8.500 unit, kemudian Kementerian/Lembaga Transmigrasi 16.923 unit, dan rumah komersial yang dibangun masyarakat 78 unit.

Kemampuan pengembang Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dalam membangun rumah untuk rakyat. REI menargetkan membangun 250.000 sampai dengan 300.000 unit rumah sedangkan Apersi sebanyak 70.000 unit rumah tahun ini. Saya tanya Apersi-nya, mereka mau bangun 70.000 dan ini naik dari 45.000 target mereka tahun lalu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan kendala yang mengadang pemerintah dalam percepatan pembangunan salah satunya adalah perizinan. Setelah pada Rabu (24/8/2016) pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII tentang perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. PKE ini diluncurkan untuk mendukung realisasi Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah yang merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Dengan paket kebijakan ekonomi ini, akan meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan rumah. Melalui PKE XIII itu, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang isinya meliputi penyederhanaan jumlah dan waktu perizinan pembangunan perumahan. Adanya PKE XIII ini juga menghapus atau mengurangi berbagai perizinan dan rekomendasi yang diperlukan untuk membangun rumah MBR dari semula sebanyak 33 izin dan tahapan menjadi 11 izin dan rekomendasi. Dengan pengurangan perizinan dan tahapan itu, maka waktu pembangunan rumah MBR yang selama ini rata-rata mencapai 769-981 hari dapat dipercepat menjadi 44 hari.

Kenaikan harga rumah tinggal (perumahan) .

Setiap kuartal Bank Indonesia mengadakan survei ke mayoritas pengembang properti di 16 daerah/kota Indonesia termasuk: Jabodetabek-Banten, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Bandar Lampung, Palembang, Padang, Medan, Batam, dan Balikpapan. Jumlah responden dari survei ini per tahun 2016 meliputi 50 pengembang besar dan 441 pengembang yang tersebar di 15 kantor regional Bank Indonesia. Data dikumpulkan langsung melalui wawancara tatap muka langsung yang menyertakan informasi harga rumah, jumlah unit yang dikembangkan dan terjual dalam kuartal yang bersangkutan. Daerah yang disurvei BI awalnya hanya 12 kota, sejak 2008 bertambah menjadi 14 kota, dan sejak 2015 menjadi 16 kota. Dengan bertambahnya daerah ini BI telah melakukan penyesuaian indeks ke belakang. Sayang data tersebut tidak tersedia secara lengkap di laporan 5 tahun terakhir.

Indeks Properti Bolasalju yang diolah dari Residential Property Price Index (RPPI) melansir data indeks yang mewakili perkembangan data harga properti yang dilaporkan BI.

Pada tahun 2012 dan pertengahan pertama tahun 2013 sektor properti Indonesia bertumbuh cepat, hingga pertumbuhan keuntungan para developer properti Indonesia melonjak tajam (dari 45 perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012, 26 perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih lebih dari 50%) dan, jelas, harga properti Indonesia meningkat sejalan dengan itu (pada umumnya harga properti residensial bertumbuh hampir 30% per tahun antara 2011 dan 2013).
Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia semakin kuatir mengenai berkembangnya gelembung properti karena perekonomian umum sedang melambat namun sektor properti naik sangat tinggi di pertengahan pertama tahun 2013 . Bank Indonesia mengatakan bahwa pihak BI sudah mendeteksi pembelian spekulatif dan karenanya mengimplementasikan kebijakan pengetatan moneter.

Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia mengetatkan kebijakannya dengan menaikkan persyaratan uang muka minimum dan memotong pinjaman hipotek untuk kepemilikan rumah kedua. Bank-bank juga dilarang memberikan pinjaman untuk properti-properti yang masih dalam proses pembangunan (untuk para pembeli hunian kedua atau lebih). Persyaratan uang muka yang lebih tinggi (atau rasio loan-to-value yang lebih rendah) diaplikasikan untuk properti-properti berukuran lebih dari 70 meter persegi, dan karenanya secara spesifik ditujukan untuk pasar menengah ke atas.

Pada tengah 2014 ketidakjelasan politik (dan karenanya ketidakjelasan perekonomian juga) menjelang pemilihan Presiden dan Legislatif, para pengembang Indonesia cenderung menunda proyek-proyek baru, factor menyebabkan penurunan pasar properti Indonesia. Contohnya, Indeks Harga Properti Hunian dari Bank Indonesia menurun 6,3% di 2014, turun dari tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 11,5% pada setahun sebelumnya (terlebih lagi inflasi Indonesia naik 8,4% di 2014, karenanya melebihi kecepatan pertumbuhan indeks harga propperti). Penurunan terbesar untuk pertumbuhan properti dirasakan di wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang & Bekasi (Jabodetabek). Ini juga merupakan akibat dari pasar properti Jakarta (dan juga pasar-pasar lainnya di kota-kota besar di Jawa seperti Surabaya dan Bandung) telah menjadi agak jenuh karena pembangunan properti besar-besaran di tahun-tahun sebelumnya. Pulau-pulau lain, seperti Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan, kini dipandang sebagai pasar berpotensi besar untuk pembangunan properti (perkotaan) karena saat ini masih belum banyak dikembangkan.

Pada 2007 sebuah rumah dijual seharga Rp500 juta. Pada akhir 2016, rumah baru dengan tipe yang sama mungkin dijua seharga Rp1,5 miliar. Jika dihitung dengan kenaikan biasa, kenaikannya adalah 3 kali lipat atau 200% (disetahunkan 11,61%—bukan rata-rata 20%). Indeks RPPI ini sama dengan inflasi dan rerata IHSG yang bersifat majemuk, kalkulasi harus dengan compounding interest, efek bunga majemuk, bukan rata-rata biasa.  Tidak semua properti mengalami kenaikan fenomenal seperti itu. Sifat kenaikan terkait erat lokasi dan pertumbuhan daerah. Di kota lain yang belum tumbuh, kenaikannya tidak seberapa.

Kesimpulan Indeks Harga Rumah Tinggal (Properti) di Indonesia; Total akumulasi keuntungan investasi properti di Indonesia dari 2002 hingga 2016 adalah 135,53% untuk waktu 15 tahun; CAGR properti di Indonesia dari 2002 hingga 2016 adalah 5,88% (rata-rata 5,91%); Total akumulasi keuntungan investasi properti di Indonesia 10 tahun terakhir adalah 65,16%; CAGR properti di Indonesia 10 tahun terakhir adalah 4,67% (rata-rata 5,18%). Dari data yang tersedia dari 2002-2016, keuntungan dari investasi properti tidak bisa mengalahkan inflasi. Dengan perbandingan 10 tahunan dalam rentang 2007-2016 pun hasilnya masih tidak memadai.

Sebuah survei dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa penjualan properti hunian di kuartal 1 tahun 2015 mengalami penurunan signifikan dalam perbandingan quarter-to-quarter (q/q). Hasil dari penjualan di kuartal pertama tahun 2015 mencatat pertumbuhan 26,6% dibandingkan dengan 40,1% di kuartal ke-4 tahun 2014. Sementara itu, tingkat pencairan pijaman hipotek di bank-bank untuk rumah dan apartemen di kuartal 1 tahun 2015 naik hanya 0,12% (q/q) dibandingkan kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan perekonomian Indonesia melambat sampai level terendah selama enam tahun terakhir di kuartal 1 tahun 2015 dan karenanya pihak-pihak berwenang bertekad untuk mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Karena bank sentral tidak punya ruang untuk memotong BI rate (karena inflasi tinggi, defisit transaksi berjalan yang lebar dan tekanan-tekanan eksternal yang berat), BI memutuskan untuk menaikkan rasio LTV untuk pinjaman hipotek rumah mulai dari Juni 2015, karenanya mengurangi kewajiban uang muka minimum untuk para pembeli rumah pertama. Rasio LTV maksimum untuk pembelian rumah pertama dinaikkan menjadi 80% (dari sebelumnya 70%), sementara untuk pembelian rumah kedua rasio LTV dinaikkan menjadi 70% ( dari sebelumnya 60%). Terakhir, untuk rumah ketiga rasio barunya adalah 60% (dari sebelumnya 50%). Ini berlaku untuk properti-properti yang luasnya di atas 70 meter persegi yang dibeli menggunakan pembiayaan konvensional.

Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa orang-orang asing akan diizinkan untuk memiliki apartemen-apartemen mewah dengan nilai minimum Rp 5 miliar, yang berarti Pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang Perumahan untuk Warganegara Asing yang Tinggal di Indonesia yang sekarang masih melarang warganegara asing memiliki properti jenis apapun di Indonesia. Pada saat ini, orang-orang asing hanya bisa menggunakan properti melalui pemakaian ‘hak guna’ (bukan ‘hak milik’) untuk periode maksimum 25 tahun (namun dapat diperbaharui untuk tambahan waktu 20 tahun). Diprediksi bahwa orang-orang asing akan tetap hanya memiliki ‘hak guna’ setelah revisi ini namun dengan durasi tak dibatasi dan juga hak untuk dapat mewariskannya pada para pewaris dari warganegara asing tersebut. Beberapa analis mengklaim bahwa tindakan ini dapat mendongkrak sektor properti domestik sebanyak 20%.

Sudahkah punya rumah? Bersyukurlah sebagian besar masyarakat Indonesia belum punya dan akan kesulitan untuk memiliki.


SUMBER :

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.