KULIAH PUBLIK: Perpajakan

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Showing posts with label Perpajakan. Show all posts
Showing posts with label Perpajakan. Show all posts

Sunday, June 09, 2019

Cara G20 Mengejar Pajak Perusahaan Internet Raksasa Dunia

G20 (atau Kelompok Dua Puluh) adalah forum internasional untuk pemerintah dan gubernur bank sentral dari 19 negara dan Uni Eropa. Didirikan pada tahun 1999 dengan tujuan untuk membahas kebijakan yang berkaitan dengan promosi stabilitas keuangan internasional, telah memperluas agendanya sejak 2008 dan kepala pemerintahan atau kepala negara, serta menteri keuangan dan menteri luar negeri, telah secara berkala memberikan di puncak sejak itu. Ia berupaya mengatasi masalah yang melampaui tanggung jawab organisasi manapun.

G20 sejatinya sudah menugaskan Organisation for Economic Co-operation and Development [OECD] untuk melihat kembali kepatuhan pajak dari perusahaan internet yang mengambil untung besar di negara-negara dengan hukum pajak yang cukup longgar, seperti di Irlandia. Sebab, perusahaan tersebut diduga tidak membayar pajak sama sekali, meski mendapatkan keuntungan yang besar.

Kepala OECD Angel Gurria mengatakan hasil penugasan dari G20 sejatinya sudah menghasilkan peta jalan terkait solusi pengejaran pajak perusahaan internet dalam jangka panjang mulai 2020. Peta jalan itu telah disepakati oleh 129 negara. Namun, proses pengenaan pajak belum juga diimplementasikan.

Sebelumnya, para menteri keuangan yang menjadi perwakilan masing-masing negara memang telah membicarakan topik pengenaan pajak bagi Google, Facebook, dan perusahaan internet lainnya di dunia.

Pelbagai negara anggota forum G20 kembali membahas cara untuk memajaki perusahaan internet raksasa, seperti Google dan Facebook. Topik tersebut dibahas di pertemuan rutin yang bertajuk G20 Ministerial Symposium on International Taxation digelar di Fukuoka, Jepang pada Sabtu (8/6/2019) waktu setempat. Dari pertemuan itu, mayoritas menteri keuangan yang mewakili negaranya masing-masing turut mempertimbangkan untuk mengejar pajak perusahaan internet dari tiap perusahaan yang tersebar di seluruh dunia.

Dalam pertemuan tersebut, turut menjadi panelis, yaitu Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria, Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, dan Menteri Keuangan China Liu Kun. Kemudian juga hadir, Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Inggris Phillip Hammond, dan Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin.

Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire meminta para negara anggota G20 segera menindaklanjuti peta jalan tersebut dengan lebih serius.
"Kita harus bergegas. Jadwal yang tepat adalah menemukan hasil kompromi pada akhir tahun ini," ungkapnya dalam diskusi dengan para pejabat G20.
Pandangan Le Maire juga diamini oleh Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond. Ia ingin pungutan pajak terhadap perusahaan internet segera dilakukan sebagai bentuk keadilan bagi perusahaan-perusahaan di sektor lain yang sudah menaati ketentuan perpajakan. Artinya, pengenaan pajak tidak hanya menyasar pada bisnis di kantor pusat perusahaan internet saja.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin berpandangan keinginan Perancis dan Inggris untuk segera memungut pajak Google dan Facebook sejatinya masih terhambat dari kesiapan konsensus yang bisa merumuskan hukum untuk jenis pajak tersebut. Sebab, para pejabat harus pula memikirkan dampak pengenaan pajak bagi perusahaan internet terhadap perusahaan di sektor lain. Meski begitu, ia mengaku cukup menghargai isu yang digawangi oleh kedua negara.
"Kami tidak mencari cara untuk menulis ulang seluruh kode pajak, tetapi kami perlu melihat keseimbangan antara apa yang mungkin menjadi masalah dalam digital dan bagaimana lingkungan baru ini akan mempengaruhi perusahaan non digital," ungkapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Instagram pribadinya, @smindrawati usai menghadiri pertemuan negara-negara anggota forum G20, mengungkap cara untuk menagih pungutan pajak dari perusahaan internet raksasa, seperti Google, Facebook, dan lainnya. Caranya, dengan mematangkan definisi perusahaan internet sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) hingga formula dan dasar perhitungan pungutan pajak.

Cara utama untuk mengenakan kewajiban pajak bagi perusahaan internet adalah dengan meredefinisikan status Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi perusahaan tersebut. Sebab, status itu membuat pemerintah bisa mengenakan pajak atas operasional bisnis perusahaan di negara lain. Sekalipun, kantor pusatnya tidak di negara tersebut. Misalnya, Google berkantor pusat di Amerika Serikat, namun melakukan operasional bisnis di Indonesia, maka otoritas pajak di Tanah Air bisa memajaki Google karena sudah berstatus BUT.
"Salah satu aspek perpajakan adalah tidak hanya berdasarkan kehadiran secara fisik dari para pengusaha yang melakukan kegiatan di Indonesia. Oleh karena itu, saat ini prioritas tertinggi adalah melakukan redefinisi dari BUT," tulis Sri Mulyani.

Cara lain, adalah dengan membentuk formulasi kebijakan bersama yang disepakati oleh antar negara-negara G20. Formulasi kebijakan itu berisi soal perhitungan kualitatif mengenai persentase pasti dari tarif pajak bagi perusahaan internet.

Kemudian, katanya, perlu juga untuk mendefinisikan ketentuan hukum terkait kebijakan pengenaan pajak rendah atau bahkan tanpa pajak sama sekali. Sebab, kebijakan ini diterapkan oleh negara tertentu dan menjadi penghambat langkah untuk pengenaan pajak bagi perusaahan internet secara serempak.
"Tantangan lain adalah bagaimana mendefinisikan low or no tax jurisdictions dan juga bagaimana mengalokasikan hak pemajakan, terutama formula dan dasar perhitungannya," terangnya.

Sri Mulyani juga menekankan pentingnya kemajuan dalam hal pengenaan pajak bagi perusahaan internet. Pasalnya, pengguna internet di seluruh dunia terus meningkat dari waktu ke waktu. Begitu pula di Indonesia.

Akan sukses kah? Kita simak fakta selanjutnya

Sumber : www.cnnindonesia.com

Thursday, February 21, 2019

Beberapa Poin Yang Perlu Dipahami Dalam Peraturan Tentang Pajak eCommerse Tahun 2018


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan peraturan tentang kebijakan pembayaran pajak bagi para pelaku e-commerce di Indonesia, termasuk pembuat konten di media sosial (Selebgram) dan YouTuber. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah tidak menetapkan jenis atau besar pajak yang akan dikenakan. Namun, pemerintah memberikan penjelasan prosedur pemajakan untuk mendorong para pelaku usaha untuk taat pajak. Peraturan menteri ini diterapkan dengan tujuan memberikan perlakuan yang setara antara pelaku usaha elektronik maupun konvensional.

Beberapa poin yang perlu dipahami dalam peraturan itu adalah

1. Pedagang elektronik
Pedagang yang menjajakan barang atau jasanya di marketplace, diminta untuk memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada penyedia marketplace. Jika belum memiliki NPWP, maka dapat segera mengurus kepemilikannya atau melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada platform marketplace yang bersangkutan.
2. Bagi pedagang online lain yang membuka lapaknya di luar marketplace, wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum.
3. Bagi pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace:
a. Memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada pihak penyedia platform marketplace.
b. Apabila belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau (2) memberitahukan Nomor Induk Kependudukan kepada penyedia platform marketplace.
c. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5 persen dari omzet untuk UMKM atau pelaku usaha dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun.
d. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak bila omzet melebihi Rp 4,8 miliar setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.
e. Pedagang yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar melaksanakan kewajiban PPh yang berlaku.
4. Penyedia platform marketplace
Sama halnya dengan pedagang, marketplace juga harus memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP.
5. Marketplace juga diminta untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN juga PPh terkait penyediaan platform kepada pedagang dan penjualan barang dagangan milik marketplace itu sendiri.
6. Marketplace juga bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform.
7. Peraturan ini akan diberlakukan mulai 1 April 2019 mendatang. Di masa sebelumnya, Kemenkeu akan aktif melakukan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait agar imbauan yang dituangkan dalam Permen ini dapat berjalan lebih efektif.
8. Tak ada pengawasan khusus.
Kabiro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti menyatakan tidak ada pengawasan khusus yang dilakukan saat peraturan ini resmi diberlakukan. "Tidak ada pengawasan khusus, karena sama saja dalam pengawasan dengan jenis bisnis yang lain. Yang beda hanya mekanisme transaksinya," kata Nufransa (Kompas.com, Selasa. 15/1/2019).
Kementerian Keuangan memastikan, ketentuan pajak perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce tidak mewajibkan para pedagang atau penyedia jasa online memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saat mendaftarkan diri di platform marketplace. Hal ini merupakan satu kesepakatan setelah Kementerian Keuangan dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai bertemu dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) pada Senin (14/1/2019).

"Hal tersebut merupakan interpretasi yang tepat dan komprehensif terhadap keseluruhan PMK 210/PMK.010/2018 tersebut," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti dalam keterangan tertulisnya. Bagi yang belum memiliki NPWP, pedagang online yang akan mendaftar ke platform marketplace cukup dengan memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Nufransa menjelaskan diberlakukannya peraturan ini akan ada peningkatan dan pengembangan kapasitas pegawai Ditjen Pajak yang dituntut adaptif, mengikuti perkembangan terkini dari fenomane e-commerce.

Dalam ketentuan umum perpajakan, seseorang yang penghasilannya di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTPK), tidak wajib memiliki NPWP. PTKP yang berlaku saat ini yakni Rp 4,5 juta sebulan atau Rp 54 juta setahun.

Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik menuai polemik, terutama dari kalangan pelaku e-commerce. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) yang menganggap regulasi tersebut dapat menimbulkan dampak negatif di sektor perdagangan berbasis elektronik. idEA meminta penerapan aturan pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce ditunda. Sejauh ini idEA belum menghitung dampak lahirnya kebijakan ini terhadap industri e-commerce. Hanya saja, idEa menyayangkan regulasi ini dikeluarkan pemerintah tanpa dikomunikasikan dengan pelaku e-commerce.

"Keputusan aturan baru ini harus ada studi dampaknya apa, risikonya apa. Menurut hemat kita cukup besar (risiko), makanya lebih baik ditunda dulu," kata Ketua Umum idEA Ignatius Untung.
Sebelumnya terjadi simpang siur bahwa PMK 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik mewajibkan para pedagang online memiliki NPWP. Namun sebenarnya di dalam aturan itu, ada pilihan bagi para pedagang online. IdEa juga telah menyurati Kementerian Keuangan terkait keluarnya PMK tersebut. Ia berharap ada pembahasan dan pembicaraan nantinya bahkan melakukan studi secara kolektif.

Direktur Shopee Indonesia Handika Jahja mengatakan, pihaknya akan mendukung regulasi apapun yang diterapkan pemerintah sepanjang tak merugikan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebagai pelaku e-commerce, Shopee ingin regulasi yang berlaku harus sesuai tujuan utama, yakni pengembangan UMKM. "Dari segi detilnya kita masih omongin seperti apa yang cocok. Tapi semoga rules yang dibuat nanti tidak memundurkan, tapi pasti memajukan UKM di e-commerce," ujar Handika. Namun, Handika enggan menjawab saat ditanya apakah aturan tersebut memberatkan UMKM karena ditarik pajak. Yang pasti, kata dia, aturan tersebut belum tepat diberlakukan saat ini.
Diketahui, dalam salah satu poin di PMK disebutkan bahwa pedagang dan penyedia jasa harus memberitahukan NPWP kepada penyedia platform marketplace dan membayar pajak sesuai ketentuan. Bila UMKM atau omzet di bawah Rp 4,8 miliar setahun, maka tarif PPh-nya hanya 0,5 persen dari omzet. Sedangkan untuk yang beromzet di atas Rp 4,8 miliar dalam setahun, maka harus membayar PPh sesuai ketentuan yang ada. Sementara penyedia platform marketplace wajib memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha juga wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.

Selama ini, beberapa kali dilakukan audiensi antara Kemenkeu dengan pelaku e-commerce membahas soal pajak dan pengembangan UMKM. Namun, Handika mengakui bahwa peraturan yang keluar dalam PMK tersebut belum sesuai dengan yang apa dibahas selama ini. Jangan sampai regulasi tersebut membuat UMKM justru meninggalkan e-commerce dan kembali berjualan di media sosial. Karena hal itu menjadi langkah mundur dari segi keekonomian. Sebab, penjualan melalui media sosial tak terjamin keamanannya, baik dari sisi penjual maupun pembeli. Oleh karena itu, Handika berharap masih ada pembahasan lebih lanjut mengenai regulasi untuk mengatur e-commerce dan UMKM mitra. "Kita kan semua pelaku e-commerce mau bareng-bareng juga, kita diskusi supaya ada win-win solution buat semuanya. Utamanya buat UMKM itu sendiri," kata Handika.

Tak mau gaduh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjanjikan, pihaknya tidak akan memungut pajak secara sembarangan, termasuk pajak Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik atau e-commerce.
"Tentu saya sebagai Menteri Keuangan harus terus menjaga iklim investasi sehingga ketakutan tidak perlu terjadi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan, ia ingin membangun dan menata sistem perpajakan di Indonesia namun bukan dengan cara sembarangan bahkan merusak pondasi yang ada. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa Kementerian Keuangan akan menggunakan instrumen fiskal keuangan negara, yang mayoritas dari pengumpulan pajak, secara aktif. "Ini sesuatu yang tidak mudah, saat ini isu mengenai perpajakan e-commerce menjadi salah satu isu yang sedang dibahas secara internasional juga," kata perempuan yang kerap disapa Ani itu.

Menyusul reaksi para pelaku usaha online yang khawatir dengan aturan tersebut, bahkan Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) sempat meminta aturan itu ditunda. "Beberapa saat lalu kami keluarkan PMK 210 dan menimbulkan reaksi. Kami undang idEA. Aspirasinya selalu kami dengar dan konsultasikan, kami memahami model bisnis mereka," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (16/1/2019).

Pertama, Sri Mulyani menegaskan bahwa aturan pajak e-commerce yang ia keluarkan bukanlah untuk memungut pajak online. Tetapi, kata dia, hanya terkait dengan tata caranya saja. Salah satunya yakni terkait ketentuan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sri mengatakan, tidak ada keharusan para pedagang online memiliki NPWP saat mendaftar ke platform marketplace. "Kenapa itu penting? Karena banyak pelaku baru yang disampaikan idEA itu ibu tumah tangga, mahasiswa, murid yang ingin mulai bisnis jadi tidak boleh ada kekhawatiran," kata dia.

Kedua, Sri Mulyani mengatakan bahwa aturan yang ia keluarkan bukan bertujuan untuk memungut pajak. Namun lebih untuk mendukung kegiatan ekonomi, bahkan juga memberi insentif ke pelaku e-commerce. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, ada kekhawatiran pelaku e-commerce yang sudah ada di platform marketplace pindah ke media sosial karena aturan ini.

Ketiga, aturan terkait pajak e-commerce itu akan memberika kemudahan bagi perusahan-perusahaan pengelola platform marketplace. Selama ini kata dia, para pengelola platform marketplace terbebani dengan penyampaiaan informasi kepada berbagai instansi terkait data e-commerce.
Pasca adaya aturan itu, Kementerian Keuangan akan bekerjasama dengan berbagai instansi agar tidak memberikan beban pendataan kepada para platform marketplace. "Jadi bisa dikombinasikan koordinasinya. Bahkan, bentuk penyampaian info akan kami upayakan sesimpel mungkin, jadi tidak perlu ada effort khusus," kata Sri.

Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce)

Baru beberapa hari tahun 2019 berjalan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dinakhodai Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menjadi pembicaraan publik. Sorotan pertama terkait disebutnya nama Sri Mulyani sebagai salah satu kandidat yang cocok menjabat Presiden Bank Dunia yang kosong setelah ditinggal Jim Yong Kim. Rasanya, walaupun hanya wacana, kabar itu masih ramai dibicarakan hingga tulisan ini dibuat pada pekan ketiga Januari 2019. Sedangkan sorotan kedua berkaitan dengan kebijakan perpajakan otoritas fiskal.
Pada 31 Desember 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Adapun latar belakang penerbitan PMK adalah pemerintah memandang perlu lebih memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) sehingga para pelaku usaha dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi yang digunakan (www.setkab.go.id). Namun, tanpa diduga, kebijakan yang direncanakan berlaku pada 1 April 2019 mendatang itu menuai pertanyaan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Banyak alasan disampaikan idEA, yang salah satunya adalah PMK Nomor 210 tersebut dianggap menghambat keberlangsungan market place Indonesia, ketidakadilan karena penjualan via media sosial tak dikenakan pajak, hingga tidak adanya uji publik dan sosialisasi.
Merespons keluhan idEA, pertemuan pun digagas oleh Kementerian Keuangan dan melahirkan lima kesepakatan. Pertama, pedagang atau penyedia jasa tidak wajib memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kesepakatan kedua, PMK Nomor 210/PMK.010/2018 dibuat bukan untuk memenuhi target penerimaan pajak. Ketiga, pelaku usaha tidak akan berpindah ke platform media sosial. Adapun yang keempat adalah untuk mewujudkan kemudahan data pelaporan dan mempermudah proses impor pengiriman barang e-commerce. Sri Mulyani bahkan secara mendadak mengadakan keterangan pers saat hendak mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR/DPD, Rabu (16/1/2019.
Inti dari penjelasan Sri Mulyani bersama Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignasius Untung ternyata tak jauh berbeda dari kesepakatan yang dicapai dua hari sebelumnya. Terselesaikan sementara Terlepas dari diskusi yang ada, bagaimana seharunya kita memaknai pajak e-commerce tersebut? Kita tahu, bahwa potensi besar Indonesia merupakan salah satu kekuatan utama perekonomian di Asia Tenggara. Dengan jumlah kelas menengah yang terus tumbuh, Indonesia menjadi pasar potensial bagi aktivitas perdagangan dan tidak terkecuali untuk perdagangan e-commerce.
Berdasarkan laporan McKinsey Mckinsey bertajuk "The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia's Economic Development" yang dirilis pada Agustus 2018, pasar e-commerce Indonesia pada 2022 akan tumbuh menjadi 55 miliar dollar AS hingga 65 miliar dollar AS. Nilai capaian itu meningkat sekitar delapan kali lipat ketimbang 2017 yang tercatat 8 miliar dollar AS. Pemerintah Indonesia, di bawah kendali Presiden Joko Widodo, bukannya tidak menyadari potensi itu. Kantor presiden didukung lintas kementerian lembaga kemudian menyiapkan sebuah dasar hukum penting dalam merespons pertumbuhan e-commerce.
Pada 21 Juli 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor: 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce). Salah satu aspek krusial dalam perpres tersebut adalah aspek perpajakan. Setelah menunggu lama, pada awal Januari ini, PMK Nomor 210/PMK.010/2018 pun terbit. Walau sempat menghadirkan dinamika antara kalangan pelaku usaha dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, penerbitan peraturan itu patut direspons positif.
Kenapa demikian? Sebab, isu keadilan dan level of playing field yang selama ini menjadi isu antara perdagangan offline dengan e-commerce terselesaikan sementara. Keberadaan PMK Nomor 210/PMK.010/2018 diharapkan dapat menjadi momentum kesetaraan perpajakan di Tanah Air. Namun, patut juga dicatat bahwa masih ada sejumlah catatan penting sebelum peraturan tersebut diberlakukan pada 1 April 2019. Pertama dan paling utama adalah sosialisasi. Jangankan para pelaku usaha e-commerce di tingkat bawah yang notabene mayoritas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), para petinggi perusahaan e-commerce pun belum memahami benar peraturan itu. Oleh karena itu, Ditjen Pajak Kemenkeu perlu menggelar sosialisasi demi sosialisasi agar pemahaman terhadap PMK Nomor 210/PMK.010/2018 merata.
Ragam sosialisasi yang efektif tentu dapat dibicarakan secara bersama-sama. Sosialisasi juga penting agar pelaku usaha yang selama ini berjualan via media sosial bersedia masuk ke dalam e-commerce. Sejalan dengan itu, peraturan teknis tingkat Direktorat Jenderal Pajak juga harus segera disiapkan. Dengan begitu, saat peraturan berlaku, tak ada lagi keraguan dari kedua belah pihak, yaitu fiskus pajak dan pelaku usaha e-commerce. Jalan keluar PMK Nomor 210/PMK. 010/2018 menjadi momentum demi tercapainya keadilan perpajakan. Namun, keberadaan peraturan ini juga menjadi awal dalam pengembangan e-commerce di Tanah Air.
Potensi yang besar dari sisi nilai transaksi selama ini belum diikuti kebijakan yang tepat. Pemicunya adalah data perihal e-commerce yang belum menyatu, walaupun Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memulai pendataan. Padahal, data yang tepat merupakan awal dari kebijakan yang pas pula. Dalam hal ini, peran serta dan sikap proaktif petinggi perusahaan e-commerce menjadi mutlak. Hal itu agar seluruh data e-commerce dapat dikoleksi dan diolah oleh otoritas terbaik dalam melahirkan kebijakan secara tepat.
Tentu, kita masih teringat pesan Presiden Joko Widodo saat menghadiri ulang tahun salah satu perusahaan e-commerce Indonesia. Kepala Negara mendorong agar pelaku UMKM masuk ke dalam ekosistem e-commerce, apalagi jumlah UMKM di Tanah Air begitu besar hingga mencapai 56 juta. Jadi, jangan sampai keberadaan PMK Nomor 210/PMK.010/2018 justru menciutkan nyali pelaku UMKM untuk bergabung ke perusahaan e-commerce. Di titik inilah perlu kehati-hatian menjalankan kebijakan yang tertuang peraturan tersebut. Tentum semua demi kemajuan e-commerce Indonesia!

Penulis : William Henley Pendiri Indosterling Capital
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Memaknai Pajak E-Commerce "