KULIAH PUBLIK: Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce)

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Thursday, February 21, 2019

Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce)

Baru beberapa hari tahun 2019 berjalan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dinakhodai Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menjadi pembicaraan publik. Sorotan pertama terkait disebutnya nama Sri Mulyani sebagai salah satu kandidat yang cocok menjabat Presiden Bank Dunia yang kosong setelah ditinggal Jim Yong Kim. Rasanya, walaupun hanya wacana, kabar itu masih ramai dibicarakan hingga tulisan ini dibuat pada pekan ketiga Januari 2019. Sedangkan sorotan kedua berkaitan dengan kebijakan perpajakan otoritas fiskal.
Pada 31 Desember 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Adapun latar belakang penerbitan PMK adalah pemerintah memandang perlu lebih memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) sehingga para pelaku usaha dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi yang digunakan (www.setkab.go.id). Namun, tanpa diduga, kebijakan yang direncanakan berlaku pada 1 April 2019 mendatang itu menuai pertanyaan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Banyak alasan disampaikan idEA, yang salah satunya adalah PMK Nomor 210 tersebut dianggap menghambat keberlangsungan market place Indonesia, ketidakadilan karena penjualan via media sosial tak dikenakan pajak, hingga tidak adanya uji publik dan sosialisasi.
Merespons keluhan idEA, pertemuan pun digagas oleh Kementerian Keuangan dan melahirkan lima kesepakatan. Pertama, pedagang atau penyedia jasa tidak wajib memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kesepakatan kedua, PMK Nomor 210/PMK.010/2018 dibuat bukan untuk memenuhi target penerimaan pajak. Ketiga, pelaku usaha tidak akan berpindah ke platform media sosial. Adapun yang keempat adalah untuk mewujudkan kemudahan data pelaporan dan mempermudah proses impor pengiriman barang e-commerce. Sri Mulyani bahkan secara mendadak mengadakan keterangan pers saat hendak mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR/DPD, Rabu (16/1/2019.
Inti dari penjelasan Sri Mulyani bersama Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignasius Untung ternyata tak jauh berbeda dari kesepakatan yang dicapai dua hari sebelumnya. Terselesaikan sementara Terlepas dari diskusi yang ada, bagaimana seharunya kita memaknai pajak e-commerce tersebut? Kita tahu, bahwa potensi besar Indonesia merupakan salah satu kekuatan utama perekonomian di Asia Tenggara. Dengan jumlah kelas menengah yang terus tumbuh, Indonesia menjadi pasar potensial bagi aktivitas perdagangan dan tidak terkecuali untuk perdagangan e-commerce.
Berdasarkan laporan McKinsey Mckinsey bertajuk "The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia's Economic Development" yang dirilis pada Agustus 2018, pasar e-commerce Indonesia pada 2022 akan tumbuh menjadi 55 miliar dollar AS hingga 65 miliar dollar AS. Nilai capaian itu meningkat sekitar delapan kali lipat ketimbang 2017 yang tercatat 8 miliar dollar AS. Pemerintah Indonesia, di bawah kendali Presiden Joko Widodo, bukannya tidak menyadari potensi itu. Kantor presiden didukung lintas kementerian lembaga kemudian menyiapkan sebuah dasar hukum penting dalam merespons pertumbuhan e-commerce.
Pada 21 Juli 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor: 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce). Salah satu aspek krusial dalam perpres tersebut adalah aspek perpajakan. Setelah menunggu lama, pada awal Januari ini, PMK Nomor 210/PMK.010/2018 pun terbit. Walau sempat menghadirkan dinamika antara kalangan pelaku usaha dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, penerbitan peraturan itu patut direspons positif.
Kenapa demikian? Sebab, isu keadilan dan level of playing field yang selama ini menjadi isu antara perdagangan offline dengan e-commerce terselesaikan sementara. Keberadaan PMK Nomor 210/PMK.010/2018 diharapkan dapat menjadi momentum kesetaraan perpajakan di Tanah Air. Namun, patut juga dicatat bahwa masih ada sejumlah catatan penting sebelum peraturan tersebut diberlakukan pada 1 April 2019. Pertama dan paling utama adalah sosialisasi. Jangankan para pelaku usaha e-commerce di tingkat bawah yang notabene mayoritas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), para petinggi perusahaan e-commerce pun belum memahami benar peraturan itu. Oleh karena itu, Ditjen Pajak Kemenkeu perlu menggelar sosialisasi demi sosialisasi agar pemahaman terhadap PMK Nomor 210/PMK.010/2018 merata.
Ragam sosialisasi yang efektif tentu dapat dibicarakan secara bersama-sama. Sosialisasi juga penting agar pelaku usaha yang selama ini berjualan via media sosial bersedia masuk ke dalam e-commerce. Sejalan dengan itu, peraturan teknis tingkat Direktorat Jenderal Pajak juga harus segera disiapkan. Dengan begitu, saat peraturan berlaku, tak ada lagi keraguan dari kedua belah pihak, yaitu fiskus pajak dan pelaku usaha e-commerce. Jalan keluar PMK Nomor 210/PMK. 010/2018 menjadi momentum demi tercapainya keadilan perpajakan. Namun, keberadaan peraturan ini juga menjadi awal dalam pengembangan e-commerce di Tanah Air.
Potensi yang besar dari sisi nilai transaksi selama ini belum diikuti kebijakan yang tepat. Pemicunya adalah data perihal e-commerce yang belum menyatu, walaupun Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memulai pendataan. Padahal, data yang tepat merupakan awal dari kebijakan yang pas pula. Dalam hal ini, peran serta dan sikap proaktif petinggi perusahaan e-commerce menjadi mutlak. Hal itu agar seluruh data e-commerce dapat dikoleksi dan diolah oleh otoritas terbaik dalam melahirkan kebijakan secara tepat.
Tentu, kita masih teringat pesan Presiden Joko Widodo saat menghadiri ulang tahun salah satu perusahaan e-commerce Indonesia. Kepala Negara mendorong agar pelaku UMKM masuk ke dalam ekosistem e-commerce, apalagi jumlah UMKM di Tanah Air begitu besar hingga mencapai 56 juta. Jadi, jangan sampai keberadaan PMK Nomor 210/PMK.010/2018 justru menciutkan nyali pelaku UMKM untuk bergabung ke perusahaan e-commerce. Di titik inilah perlu kehati-hatian menjalankan kebijakan yang tertuang peraturan tersebut. Tentum semua demi kemajuan e-commerce Indonesia!

Penulis : William Henley Pendiri Indosterling Capital
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Memaknai Pajak E-Commerce "

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.