KULIAH PUBLIK: Mutual Legal Asisstance (MLA), Langkah Maju Melacak Dana Gelap Milik WNI yang Disimpan di Luar Negeri

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Thursday, February 21, 2019

Mutual Legal Asisstance (MLA), Langkah Maju Melacak Dana Gelap Milik WNI yang Disimpan di Luar Negeri

Mutual Legal Asisstance (MLA)

MLA adalah metode kerja sama antara negara untuk mendapatkan bantuan dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana. MLA umumnya digunakan untuk mendapatkan materi yang tidak dapat diperoleh atas dasar kerja sama polisi, terutama penyelidikan yang membutuhkan cara-cara paksaan. Permintaan dibuat oleh Letter of Request (LOR) internasional resmi. Dalam yurisdiksi hukum perdata, ini juga disebut sebagai 'Komisi Rogatoire'. Bantuan ini biasanya diminta oleh pengadilan atau jaksa penuntut dan juga disebut sebagai 'kerjasama peradilan'.

Negara-negara modern telah mengembangkan mekanisme untuk meminta dan mendapatkan bukti untuk investigasi dan penuntutan pidana. Ketika bukti atau bentuk lain dari bantuan hukum, seperti pernyataan saksi atau layanan dokumen, dibutuhkan dari kedaulatan asing, negara dapat berusaha untuk bekerja sama secara informal melalui agen kepolisian masing-masing atau, sebagai alternatif, menggunakan apa yang biasanya disebut sebagai permintaan untuk "bantuan hukum timbal balik."

Praktek bantuan hukum timbal balik dikembangkan dari sistem rogatory letter berbasis comity, meskipun sekarang jauh lebih umum bagi negara untuk membuat permintaan bantuan hukum timbal balik secara langsung ke Otoritas Pusat yang ditunjuk dalam setiap Dalam praktik kontemporer, permintaan semacam itu mungkin masih dibuat atas dasar timbal balik tetapi juga dapat dibuat sesuai dengan perjanjian bilateral dan multilateral yang mewajibkan negara untuk memberikan bantuan.

Bantuan ini dapat berupa pemeriksaan dan identifikasi orang, tempat dan barang, pemindahan tahanan, dan pemberian bantuan dengan imobilisasi instrumen kegiatan kriminal. Sehubungan dengan yang terakhir, MLAT antara Amerika Serikat dan negara-negara Karibia tidak mencakup penggelapan pajak A.S., dan karena itu tidak efektif ketika diterapkan ke negara-negara Karibia, yang biasanya bertindak sebagai "surga pajak" lepas pantai.

Bantuan dapat ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan rincian perjanjian) karena alasan politik atau keamanan, atau jika tindak pidana yang dimaksud tidak sama-sama dapat dihukum di kedua negara. Beberapa perjanjian mungkin mendorong bantuan dengan bantuan hukum untuk warga negara di negara lain.

Banyak negara dapat memberikan berbagai bantuan hukum timbal balik ke negara-negara lain melalui kementerian kehakiman mereka bahkan tanpa adanya perjanjian, melalui penyelidikan bersama antara penegak hukum di kedua negara, permintaan pengungkapan keadaan darurat, surat rogatory, dll. Di beberapa negara berkembang negara, bagaimanapun, hukum domestik sebenarnya dapat menciptakan hambatan bagi kerjasama penegakan hukum yang efektif dan bantuan hukum timbal balik.
  
Menelusuri Rp 4.600 triliun Harta orang Indonesia di luar negeri?

Pemerintah Indonesia baru saja menandatangani hal yang sangat penting bagi Indonesia, yaitu Mutual Legal Asisstance (MLA) dengan Swiss, salah satu negara yang santer disebut-sebut sebagai “surga pajak”.
Penandatanganan MLA ini merupakan langkah maju yang akan bermanfaat bagi Indonesia. "Terutama dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau. MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss," ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta (Rabu (6/2/2019).

Tax amnesty 2016 menghasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp 4.800 triliun. Terdiri dari Rp 3.800 triliun deklarasi dalam negeri, Rp 1.000 triliun deklarasi luar negeri, dan Rp 145 trilun repatriasi. Menurut Tax Justice Network, setidaknya terdapat sekitar 331 miliar dollar AS (Rp 4.600 triliun) harta orang Indonesia di luar negeri. Berdasarkan hasil dari program Tax Amnesty 2016 lalu, Swiss tidak masuk dalam lima besar negara asal harta deklarasi wajib pajak Indonesia. Padahal, Swiss dikenal sebagai negara surga pajak tertua dan sangat populer di dunia. 5 besar ditempati Singapura, Virgin Islands, Hong Kong, Cayman Islands, dan Australia.
Menurut Yustinus, ada dua kemungkinan, yakni orang Indonesia yang menempatkan dananya di Swiss telah ikut migrasi sebelum Tax Amnesty atau percaya diri tidak akan tersentuh otoritas pajak di Indonesia. "Dengan demikian masih terdapat harta senilai sekitar Rp 3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam pengampunan pajak. Tentu saja hal ini membutuhkan pendalaman," kata dia. Dengan adanya MLA, upaya untuk melacak harta orang Indonesia di Swiss bisa lebih mudah. Terlebih Indonesia juga sudah tergabung ke dalam global Automatic Exchange of Information (AEOI). Suatu kerja sama membuka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan telah diikuti tidak kurang dari 106 negara.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat realisasi pengalihan harta dana wajib pajak peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) dari luar negeri ke dalam negeri, atau dana repatriasi, belum mencapai target. Terdapat selisih sekitar Rp 9 triliun dari target, yang artinya besaran nilai harta tersebut diduga masih berada di luar negeri. "Di data laporan repatriasi, targetnya Rp 147 triliun. Realisasi di data kami sementara Rp 138 triliun. Selisih 9 triliun sedang kami telusuri siapa-siapa saja wajib pajaknya," kata Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan melalui konferensi pers di kantor pusat DJP, Jakarta Pusat, Jumat (5/1/2018). Robert memastikan untuk segera menindaklanjuti temuan tersebut. Repatriasi sebelumnya ditegaskan sebagai komitmen sekaligus kewajiban peserta tax amnesty.
Dengan demikian, harta yang tadinya berada di luar negeri bisa kembali ke dalam negeri dan ditempatkan dalam instrumen investasi sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah nanti mendapati data wajib pajak yang bersangkutan, Robert memastikan untuk memprosesnya sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 18 Undang-Undang Tax Amnesty, mengatur tentang wajib pajak yang terbukti masih menyembunyikan hartanya, terancam sanksi pengenaan pajak dengan tarif hingga 30 persen dan denda 200 persen.

Dana Repatriasi Di Dalam Negeri

Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini, kondisi ekonomi yang stabil di dalam negeri bisa membuat dana repatriasi ratusan triliun tidak akan meninggalkan Indonesia. "Kami lihat dalam situasi ekononi Indonesia masih sangat baik, kondisi pertumbuhannya tinggi dengan inflasi yang terjaga. Juga memberikan return invesment itu relatif baik dibandingkan negara lain, jadi opsi (dana repatriasi) untuk tetap disini masih sangat besar," ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Sebagaimana diketahui, menyusul habisnya waktu kewajiban menyimpan dana tersebut di dalam negeri yang hanya 3 tahun, para pengusaha bisa kembali membawa dana repatriasi tax amnesty ke luar negeri pada akhir 2019 nanti. Meski begitu, menurut Sri Mulyani, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, terus melalukan pemantauan dana repatriasi hasil tax amnesty pada 2016 lalu itu. Sebagian besar, dana tersebut sudah diinvestasikan oleh pemiliknya, termasuk investasi yang masih berafiliasi dengan kelompok usaha pengusaha itu sendiri. "Ini yang akan terus kami komunikasikan. Kami akan melihat perpanjangan dana repatriasi di dalam instrumen investasi kami bersama sama OJK dan Pak Gubernur BI nanti apa yang akan kami lakukan," kata Sri.

Menurut Direktorat Jenderal Pajak, sebanyak 120 negara sepakat menjalin kerja sama pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2018. Sejauh ini sudah ada 65 negara yang memberikan informasi terkait harta warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan, pihaknya sedang melakukan penyisiran terkait data-data kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri. "Sedang kami godok terus dari 2018. Mulai membuka source datanya. Sedang kami lakukan proses identification dari data tersebut sehingga ketemu nama NPWP yang tepat. Kami punya prinsip bahwa melakukan klarifikasi data memanfaatkan data wajib pajak itu perlu dilakukan hati-hati. Jadi, kami enggak mau datanya belum clean," ujarnya Selasa (19/2/2019).

Ditjen Pajak tak mau sembarangan mengidentifikasi data harta kekayaan WNI tersebut, penyisiran dipastikan tetap hati-hati. Hal ini dinilai penting sehingga identifikasi bisa lebih akurat. Bagi wajib pajak, hal ini juga tak akan membuat suasana menjadi gaduh. Setelah segala proses itu rampung dan Ditjen Pajak yakin dengan data tesebut, data itu akan disampaikan kepada wajib pajak untuk diuji oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Robert tidak menyebut berapa banyak harta WNI yang diberikan kepada Ditjen Pajak. Ia mengatakan tak terlalu tertarik dengan angkanya. Meski begitu, menurut Ditjen Pajak, akan lebih senang jika harta WNI di luar negeri tersebut sudah dimasukkan oleh wajib pajak di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Dengan begitu, harta-harta itu sudah turut dilaporkan kepada negara.

Menarik untuk diikuti, karena kerjasama ini tentu akan menambah sumber pendapatan Pajak bagi Negara.

SUMBER : kompas.com

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.