Mutual
Legal Asisstance (MLA)
MLA
adalah metode kerja sama antara negara untuk mendapatkan bantuan dalam
penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana. MLA umumnya digunakan untuk
mendapatkan materi yang tidak dapat diperoleh atas dasar kerja sama polisi,
terutama penyelidikan yang membutuhkan cara-cara paksaan. Permintaan dibuat
oleh Letter of Request (LOR) internasional resmi. Dalam yurisdiksi hukum
perdata, ini juga disebut sebagai 'Komisi Rogatoire'. Bantuan ini biasanya
diminta oleh pengadilan atau jaksa penuntut dan juga disebut sebagai 'kerjasama
peradilan'.
Negara-negara
modern telah mengembangkan mekanisme untuk meminta dan mendapatkan bukti untuk
investigasi dan penuntutan pidana. Ketika bukti atau bentuk lain dari bantuan
hukum, seperti pernyataan saksi atau layanan dokumen, dibutuhkan dari
kedaulatan asing, negara dapat berusaha untuk bekerja sama secara informal
melalui agen kepolisian masing-masing atau, sebagai alternatif, menggunakan apa
yang biasanya disebut sebagai permintaan untuk "bantuan hukum timbal
balik."
Praktek
bantuan hukum timbal balik dikembangkan dari sistem rogatory letter berbasis
comity, meskipun sekarang jauh lebih umum bagi negara untuk membuat permintaan
bantuan hukum timbal balik secara langsung ke Otoritas Pusat yang ditunjuk
dalam setiap Dalam praktik kontemporer, permintaan semacam itu mungkin masih
dibuat atas dasar timbal balik tetapi juga dapat dibuat sesuai dengan perjanjian
bilateral dan multilateral yang mewajibkan negara untuk memberikan bantuan.
Bantuan
ini dapat berupa pemeriksaan dan identifikasi orang, tempat dan barang,
pemindahan tahanan, dan pemberian bantuan dengan imobilisasi instrumen kegiatan
kriminal. Sehubungan dengan yang terakhir, MLAT antara Amerika Serikat dan
negara-negara Karibia tidak mencakup penggelapan pajak A.S., dan karena itu
tidak efektif ketika diterapkan ke negara-negara Karibia, yang biasanya
bertindak sebagai "surga pajak" lepas pantai.
Bantuan
dapat ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan rincian perjanjian) karena
alasan politik atau keamanan, atau jika tindak pidana yang dimaksud tidak
sama-sama dapat dihukum di kedua negara. Beberapa perjanjian mungkin mendorong
bantuan dengan bantuan hukum untuk warga negara di negara lain.
Banyak
negara dapat memberikan berbagai bantuan hukum timbal balik ke negara-negara
lain melalui kementerian kehakiman mereka bahkan tanpa adanya perjanjian,
melalui penyelidikan bersama antara penegak hukum di kedua negara, permintaan
pengungkapan keadaan darurat, surat rogatory, dll. Di beberapa negara
berkembang negara, bagaimanapun, hukum domestik sebenarnya dapat menciptakan
hambatan bagi kerjasama penegakan hukum yang efektif dan bantuan hukum timbal
balik.
Menelusuri
Rp 4.600 triliun Harta orang Indonesia di luar negeri?
Pemerintah
Indonesia baru saja menandatangani hal yang sangat penting bagi Indonesia,
yaitu Mutual Legal Asisstance (MLA) dengan Swiss, salah satu negara yang santer
disebut-sebut sebagai “surga pajak”.
Penandatanganan
MLA ini merupakan langkah maju yang akan bermanfaat bagi Indonesia. "Terutama
dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi,
pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena
kendala keterbatasan akses dan daya jangkau. MLA ini akan memungkinkan bantuan
pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan
di Swiss," ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis
(CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta (Rabu (6/2/2019).
Tax
amnesty 2016 menghasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp 4.800 triliun.
Terdiri dari Rp 3.800 triliun deklarasi dalam negeri, Rp 1.000 triliun
deklarasi luar negeri, dan Rp 145 trilun repatriasi. Menurut Tax Justice
Network, setidaknya terdapat sekitar 331 miliar dollar AS (Rp 4.600 triliun)
harta orang Indonesia di luar negeri. Berdasarkan hasil dari program Tax
Amnesty 2016 lalu, Swiss tidak masuk dalam lima besar negara asal harta
deklarasi wajib pajak Indonesia. Padahal, Swiss dikenal sebagai negara surga
pajak tertua dan sangat populer di dunia. 5 besar ditempati Singapura, Virgin
Islands, Hong Kong, Cayman Islands, dan Australia.
Menurut
Yustinus, ada dua kemungkinan, yakni orang Indonesia yang menempatkan dananya
di Swiss telah ikut migrasi sebelum Tax Amnesty atau percaya diri tidak akan
tersentuh otoritas pajak di Indonesia. "Dengan demikian masih terdapat
harta senilai sekitar Rp 3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam
pengampunan pajak. Tentu saja hal ini membutuhkan pendalaman," kata dia.
Dengan adanya MLA, upaya untuk melacak harta orang Indonesia di Swiss bisa
lebih mudah. Terlebih Indonesia juga sudah tergabung ke dalam global Automatic
Exchange of Information (AEOI). Suatu kerja sama membuka akses informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan dan telah diikuti tidak kurang dari 106
negara.
Sebelumnya,
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat realisasi
pengalihan harta dana wajib pajak peserta program pengampunan pajak (tax
amnesty) dari luar negeri ke dalam negeri, atau dana repatriasi, belum mencapai
target. Terdapat selisih sekitar Rp 9 triliun dari target, yang artinya besaran
nilai harta tersebut diduga masih berada di luar negeri. "Di data laporan
repatriasi, targetnya Rp 147 triliun. Realisasi di data kami sementara Rp 138
triliun. Selisih 9 triliun sedang kami telusuri siapa-siapa saja wajib pajaknya,"
kata Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan melalui konferensi pers di kantor
pusat DJP, Jakarta Pusat, Jumat (5/1/2018). Robert memastikan untuk segera menindaklanjuti
temuan tersebut. Repatriasi sebelumnya ditegaskan sebagai komitmen sekaligus
kewajiban peserta tax amnesty.
Dengan
demikian, harta yang tadinya berada di luar negeri bisa kembali ke dalam negeri
dan ditempatkan dalam instrumen investasi sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah
nanti mendapati data wajib pajak yang bersangkutan, Robert memastikan untuk
memprosesnya sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud adalah
Pasal 18 Undang-Undang Tax Amnesty, mengatur tentang wajib pajak yang terbukti
masih menyembunyikan hartanya, terancam sanksi pengenaan pajak dengan tarif
hingga 30 persen dan denda 200 persen.
Dana
Repatriasi Di Dalam Negeri
Menteri
Keuangan Sri Mulyani meyakini, kondisi ekonomi yang stabil di dalam negeri bisa
membuat dana repatriasi ratusan triliun tidak akan meninggalkan Indonesia.
"Kami lihat dalam situasi ekononi Indonesia masih sangat baik, kondisi
pertumbuhannya tinggi dengan inflasi yang terjaga. Juga memberikan return
invesment itu relatif baik dibandingkan negara lain, jadi opsi (dana
repatriasi) untuk tetap disini masih sangat besar," ujarnya di Kantor
Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Sebagaimana
diketahui, menyusul habisnya waktu kewajiban menyimpan dana tersebut di dalam
negeri yang hanya 3 tahun, para pengusaha bisa kembali membawa dana repatriasi
tax amnesty ke luar negeri pada akhir 2019 nanti. Meski begitu, menurut Sri Mulyani,
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, terus melalukan pemantauan dana
repatriasi hasil tax amnesty pada 2016 lalu itu. Sebagian besar, dana tersebut
sudah diinvestasikan oleh pemiliknya, termasuk investasi yang masih berafiliasi
dengan kelompok usaha pengusaha itu sendiri. "Ini yang akan terus kami
komunikasikan. Kami akan melihat perpanjangan dana repatriasi di dalam
instrumen investasi kami bersama sama OJK dan Pak Gubernur BI nanti apa yang
akan kami lakukan," kata Sri.
Menurut
Direktorat Jenderal Pajak, sebanyak 120 negara sepakat menjalin kerja sama
pertukaran informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI)
pada 2018. Sejauh ini sudah ada 65 negara yang memberikan informasi terkait
harta warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Dirjen
Pajak Robert Pakpahan mengatakan, pihaknya sedang melakukan penyisiran terkait
data-data kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri. "Sedang kami godok
terus dari 2018. Mulai membuka source datanya. Sedang kami lakukan proses
identification dari data tersebut sehingga ketemu nama NPWP yang tepat. Kami
punya prinsip bahwa melakukan klarifikasi data memanfaatkan data wajib pajak
itu perlu dilakukan hati-hati. Jadi, kami enggak mau datanya belum clean,"
ujarnya Selasa (19/2/2019).
Ditjen
Pajak tak mau sembarangan mengidentifikasi data harta kekayaan WNI tersebut, penyisiran
dipastikan tetap hati-hati. Hal ini dinilai penting sehingga identifikasi bisa
lebih akurat. Bagi wajib pajak, hal ini juga tak akan membuat suasana menjadi
gaduh. Setelah segala proses itu rampung dan Ditjen Pajak yakin dengan data
tesebut, data itu akan disampaikan kepada wajib pajak untuk diuji oleh Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Robert tidak menyebut berapa banyak harta WNI
yang diberikan kepada Ditjen Pajak. Ia mengatakan tak terlalu tertarik dengan
angkanya. Meski begitu, menurut Ditjen Pajak, akan lebih senang jika harta WNI
di luar negeri tersebut sudah dimasukkan oleh wajib pajak di Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT). Dengan begitu, harta-harta itu sudah turut
dilaporkan kepada negara.
Menarik
untuk diikuti, karena kerjasama ini tentu akan menambah sumber pendapatan Pajak
bagi Negara.
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.