Operasi Abu-abu
Kehadiran lembaga pinjaman berbasis online lewat
teknologi finansial (tekfin) saat ini semakin menambah urgensi pentingnya
perlindungan terhadap data pribadi. Kehadiran tekfin yang seharusnya bisa
menjadi alternatif masyarakat dalam mengakses kebutuhan finansial justru
tercemar karena adanya kasus-kasus yang mengatasnamakan/ mengakui perusahaannya
sebagai perusaahaan tekfin, padahal basis usaha mereka sangat erat kaitannya
dengan praktik pinjaman yang menarik bunga tinggi. Kebanyakan pinjaman berbasis
online ini bergerak di jasa peer-to-peer lending (P2P Lending), beroperasi
secara ilegal dan tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Idealnya, kelahiran fintech bisa mendisrupsi peran
agen. Skema penyaluran pinjaman bisa langsung antara kreditur (P2P lending)
dengan debitur, tidak melibatkan offline channel. Namun, pada segmen pasar
seperti UMKM masih belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan skema seperti itu. Selain
agen, disebutkan bahwa hampir semua fintech memiliki perantara seperti lending
partner, contohnya koperasi. Melalui skema inilah online lender atau investor
mendistribusikan dana melalui rekanannya, seperti agen, baik berbentuk koperasi
atau badan usaha lainnya
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), Nurhaida menyebutkan peran agen dalam menggarap UMKM masih penting. UMKM
masih belum mengenal teknologi dengan baik, oleh karena itu pencarian informasi
belum menggunakan situs atau media sosial. Nah, pada gap inilah bisa diisi oleh
peran agen. Perusahaan financial technology (fintech) tetap membutuhkan agen
atau offline channel dalam menggarap pasar usaha mikro kecil menengah (UMKM)
untuk saat ini. Bisa jadi ini pula yang membuat banyak perusahaan fintech,
seperti peer to peer (P2P) lending lebih memilih pasar pinjaman darurat yang
cenderung pinjaman konsumer, bukan pinjaman produktif.
Bagaimanapun juga, UMKM adalah pasar yang gemuk
untuk lembaga jasa keuangan. Pasar ini sangat layak digarap. Nurhaida
memaparkan, sebanyak 70% UMKM masih belum memiliki akses pembiayaan di
Indonesia. Hanya 30% dari jumlah UMKM di Indonesia yang sudah bisa akses
keuangan, baik melalui bank dan nonbank. Pembiayaan menjadi salah satu faktor
penting bagi UMKM karena bagian dari darah pengembangan bisnis atau naik kelas
ke level yang lebih tinggi.
Bank atau nonbank tidak bisa membiayai karena
beberapa hal. Letak UMKM yang di pelosok Tanah Air tidak memungkinkan dijangkau
oleh bank dan nonbank. Bila pun akan digarap akan memakan biaya yang sangat
besar. Problem UMKM yang tidak memiliki administrasi pendirian usaha, laporan
keuangan, dan lain-lain menjadi faktor pengganjal untuk melenggangkantongi
pinjaman. Dan satu lagi, faktor agunan menjadi paling banyak dihadapi oleh
UMKM. Banyak UMKM yang tidak memiliki agunan sebagaimana yang lazim
diprasyaratkan bank dalam pengajuan pinjaman.
Bank versus
Fintech
Belakangan ini memang kehadiran fintech dianggap
sebagai disruptor bagi pelaku institusi keuangan yang ada. Di sisi lain,
kehadiran fintech yang masih memiliki keterbatasan akses langsung pada
instrumen pasar modal, membuka peluang bagi institusi keuangan untuk
berkolaborasi dan membawa dampak positif bagi kedua belah pihak.
"Sudah waktunya bagi institusi keuangan,
khususnya broker untuk membuka diri dengan bermitra dan berinovasi bersama
fintech. Tidak dapat dihindari, kolaborasi adalah kata kunci bagi fintech dan
institusi keuangan. Hadirnya open API menjadi jembatan bagi perusahaan fintech
untuk memberikan layanan investasi terintegrasi. Kini nasabah dapat menikmati
investment journey yang cukup dari aplikasi yang disediakan perusahaan fintech.
Melalui hal tersebut, perusahaan fintech tidak harus memikirkan investasi
khusus dalam membangun ekosistem pasar modal yang menjadikan aplikasinya
sebagai one stop solution bagi nasabahnya. Nasabah pun tidak perlu repot lagi
mencari aplikasi broker untuk memenuhi kebutuhan investasinya," ungkap Idah
Tjung dalam acara Fintech and Financial Institutions: Collaboration through
Open API yang digagas Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) di Jakarta, Jumat
(24/5/2019).
Aspek Penting
Bagi Para Pelaku Fintech
Dalam paparan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
dibawakan oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Nurhaida belum lama ini,
terpapar analisis mengenai aspek perlindungan konsumen pada layanan financial
technology (fintech). Aspek-aspek ini harus menjadi pertimbangan dasar saat
akan menggunakan jasa atau produk fintech. Baik peer to peer (P2P) lending
ataupun fintech lainnya. Bila tidak ada aspek-aspek tersebut pada fintech,
masyarakat lebih baik menjaga jarak alias menjauh saja dari perusahaan fintech
tersebut. Ada empat aspek yang harus menjadi perhatian para pelaku fintech di
Indonesia. Ini pun harus dipahami dan dijadikan pertimbangan oleh masyarakat
saat ingin menggunakan fintech.
Pertama, kelengkapan informasi dan transparansi
produk atau layanan. Kelengkapan tersebut antara lain meliputi penyediaan
informasi secara lengkap terkait produk yang ditawarkan. Termasuk saat ada
pembaruan pada produk, harus diinformasikan secara gamblang kepada masyarakat.
Penting juga menjadi perhatian bagi perusahaan fintech menyediakan kanal
informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. Aspek informasi yang harus
disampaikan, antara lain biaya, kewajiban konsumen, syarat dan ketentuan, serta
penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Tak terkecuali saat
berkomunikasi melalui iklan atau pemasaran produk atau jasa dengan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami.
Kedua, penanganan pengaduan dan penyelesaian
sengketa konsumen. Dalam masalah pengaduan dan sengketa, sudah semestinya
fintech menyediakan jalur atau kanal kontak penerimaan pengaduan. Perusahaan
fintech harusnya menyediakan unit atau fungsi serta prosedur standar penanganan
pengaduan konsumen.
Ketiga. Tak kalah penting menyediakan informasi
mekanisme alternatif penyelesaian sengketa. Masyarakat perlu berpikir seribu
kali apabila perusahaan fintech tidak memiliki hal-hal tersebut. Selain kedua
aspek tersebut, aspek ketiga yang harus menjadi pertimbangan masyarakat adalah
keandalan sistem layanan. Dalam aspek ini, perusahaan fintech harus memiliki
sistem keamanan dan aplikasi yang aman dan tersertifikasi.
Keempat. Tak hanya berhenti sampai di situ,
penyedia jasa keuangan berbasis teknologi harus selalu melakukan pemeriksaan
dan penyempurnaan sistem secara berkesinambungan. Memang aspek ini tidak mudah
"diraba" oleh konsumen. Namun, hal ini bisa ditanyakan ke perusahaan
fintech, dan yang paling mudah dirasakan adalah perubahan atau penambahan
fitur-fitur yang disediakan. Ini juga jadi isu yang sangat penting dan
belakangan menjadi sorotan, yakni data pribadi konsumen. Oleh karena itu, aspek
perlindungan terhadap data pribadi (cyber security) harus bisa digaransi oleh
perusahaan fintech. Konsumen memiliki hak untuk meminta penjelasan soal
penggunaan informasi dan data yang diberikan. Di sisi penyedia fintech, mereka
wajib melakukan enkripsi data yang berkaitan dengan konsumen. Data pribadi
nasabah bisa dijamin keamanannya, termasuk manajemen akses data yang bisa
memitigasi kebocoran data.
Fintech Berpotensi
Mengganggu System Keuangan
Seperti dikutip dari laman Reuters, menurut Managing
Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, kemunculan
raksasa teknologi menggunakan big data dan artificial intelligence akan
menyebabkan disrupsi signifikan bagi sistem finansial dunia. Lagarde punya
pandangan yang pro status quo. Alih-alih melihat financial technology (fintech)
sebagai alat pemerataan, sebagaimana banyak dilihat oleh para ahli IT, Lagarde
justru takut fintech akan mengganggu stabilitas sistem finansial, yang dikuasai
oleh para pemain besar Barat.
"Disrupsi yang signifikan bagi lanskap
finansial akan datang dari perusahaan big tech raksasa," kata Lagarde.
Perusahaan-perusahaan ini, menurut Lagarde, yang
akan menggunakan big data konsumen untuk menawarkan produk-produk keuangan
sesuai kebutuhan. Bukan hanya big data, perusahaan-perusahaan ini juga akan
menggunakan artificial intelligence. Hal ini dikatakan Lagarde pada acara
simposium pada teknologi finansial yang diadakan di sela-sela acara pertemuan
menkeu G20 di Fukuoka, Jepang.
Menurut Lagarde, titik pentingnya adalah walaupun
di satu sisi inovasi ini akan memodernisasi pasar finansial, tapi hal ini juga
bisa membuat pasar keuangan menjadi tidak stabil.
"Karena pasar keuangan akan menjadi di bawah
pengendalian sedikit raksasa teknologi. Contoh China. Sekitar lima tahun China pertumbuhan teknologi finansial luar biasa,
jutaan bisa masuk ke produk finansial dan tercipta lapangan kerja baru. Tapi
hal ini menyebabkan hanya dua perusahaan yang mengontrol 90% dari mobile
payment," tegasnya.
Karena itu Lagarde mengajak para regulator di negara
G20 untuk sama-sama memperhatikan hal ini, dan memberikan regulasi secara
tepat. Agar, di satu sisi tidak menganggu stabilitas sistem finansial. Di sisi
lain, tetap membiarkan inovasi berkembang.
Konsumen Indonesia
Belum Terlindungi Hukum
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies
(CIPS) Galuh Octania menyebut pemerintah perlu mendorong dan mengefektifkan
perlindungan atas data pribadi. Di saat yang bersamaan, pemerintah juga terus
menggalakan transaksi keuangan digital dan mendorong terwujudnya cashless
society di mana peredaran uang secara fisik dibatasi. Namun minimnya penegakan
hukum atas kasus penyalahgunaan data pribadi juga menjadi hambatan. RUU
Perlindungan Data Pribadi harus segera difinalisasikan. Urgensi perlindungan
data pribadi di era globalisasi seperti sekarang ini merupakan hal yang sangat
penting mengingat informasi dapat dengan mudah diakses, disimpan dan disebarkan
oleh siapapun.
“Namun pengesahan RUU ini juga tidak akan efektif
kalau tidak diikuti oleh adanya penegakan hukum yang konkret untuk menimbulkan
efek jera dan juga menjaga ekosistem bisnis supaya kondusif. Pengesahan RUU ini
juga idealnya harus melihat semua aspek yang berkaitan dengan proteksi data
pribadi masyarakat,” terang Galuh.
Galuh mengungkapkan, praktek pinjaman-pinjaman
berbasis online tersebut sangat rawan terhadap praktik jual beli data pribadi.
Selain karena mudahnya peminjam memberikan data pribadinya supaya mendapatkan
pinjaman, masyarakat juga belum
mendapatkan edukasi yang memadai mengenai pentingnya perlindungan atas data
pribadi.
“Kondisi ini diperparah dengan munculnya cara-cara
penagihan hutang yang memungkinkan perusahaan mengakses data pribadi si
peminjam untuk menagih hutang lewat kerabat, teman, maupun kolega yang terdapat
dalam kontak-kontak tersebut. Buntutnya, hal ini dapat berakhir pada ancaman
dan kekerasan kepada si peminjam,” jelasnya.
Walaupun OJK sudah melarang penyelenggara pinjaman
untuk mengakses kontak dan informasi pribadi peminjam, namun peraturan tersebut
terbatas hanya untuk mengatur para perusahaan yang sudah terdaftar secara
legal. Faktanya, kebanyakan penyalahgunaan data justru dilakukan oleh
perusahan-perusahaan yang tidak terdaftar sehingga OJK tidak mempunyai
kewenangan untuk menindaklanjuti. Kurangnya penegakan hukum yang jelas salah
satunya di kebocoran data pinjaman berbasis online ilegal inilah yang dapat
dipertimbangkan dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Solusi terhadap
permasalahan perlindungan data pinjaman online baik legal maupun ilegal dapat
dijabarkan dengan ketentuan yang jelas. Di satu sisi, edukasi terhadap
masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memberikan data pribadi juga penting
untuk dilakukan.
Bank Indonesia (BI) akan mendorong digital open
banking melalui standardisasi teknologi API (Application Programming Interface)
terbuka (open API). Langkah itu jadi bagian perwujudan visi Sistem Pembayaran
Indonesia (SPI) hingga 2025. Saat ini, teknologi API sudah banyak digunakan
oleh pemain di sektor keuangan, baik itu perbankan maupun teknologi finansial
(teknologi finansial). Namun, belum ada standardisasi terkait hal tersebut.
"Setelah ini kami akan inisiasi standardisasi
open API sehingga kolaborasi akan terjadi dengan cepat. Sebenarnya kolaborasi
itu sudah terjadi antara perbankan dan fintech. Contohnya pengisian ulang uang
digital bisa dilakukan lewat layanan perbankan. Open API semacam colokan
listrik, tapi harus distandardisasi," ujar Direktur Departemen Kebijakan
Sistem Pembayaran BI, Erwin Haryono di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Senin
(27/5/2019).
Jika standardisasi itu telah dilakukan, maka akan
tercipta inovasi model bisnis yang beragam di sektor keuangan digital. Hal
serupa telah diterapkan di negara tetangga, Singapura.
"Di Singapura ada banyak inovasi model bisnis
(berkat standardisasi), itu inovasi sektor finansial yang kami inginkan. Kami
sangan encourage untuk terciptanya kolaborasi itu," papar Erwin kepada
pers.
BI mengatakan, pihaknya akan berdiskusi lebih dulu
dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pelaku industri. Setelahnya, alurnya
akan ditentukan bersama. Belum diketahui waktu pasti dari wacana standardisasi
open API tersebut, sebab langkah untuk mewujudkan visi dalam cetak biru
(blue-print) BI akan dilakukan secara bertahap sampai 2025.
Meningkatnya teknologi memang telah membawa kita
pada kemajuan hidup, tetapi sebagai konsumen tetaplah bijak dalam bertransaksi.
Semoga bermanfaat
Simber : www.wartaekonomi.co.id