KULIAH PUBLIK: Simak, Begini Strategi Bank Indonesia Menaikkan Likuiditas Pasar Keuangan

SOSIAL MEDIA

PIKIRKAN YANG BAIK ~ o ~ LAKUKAN YANG TERBAIK ~ o ~ Ini Kuliah MetodeCHAT ~ o ~ Cepat_Hemat_Akrab_Terpadu ~ o ~ Silahkan Membaca dan Berkomentar

Ketahui Bagaimana Kondisi Ekonomi dan Bisnis Anda Terkini

  Baru-baru ini, pemerintah telah mulai melonggarkan mobilitas seiring menurunnya kasus covid-19. Sementara pada Juli hingga awal Agustus ek...

Tuesday, July 24, 2018

Simak, Begini Strategi Bank Indonesia Menaikkan Likuiditas Pasar Keuangan


Selama Mei 2018, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate sebanyak 2 kali masing-masing 25 basis points (bps). Sehingga, suku bunga kebijakan BI kini 4,75 persen.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan (Rabu, 30/5/2018) mengatakan BI menaikkan lagi suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen. Keputusan itu berlaku efektif (mulai), Kamis, 31 Mei 2018. Selain BI 7 Days Reverse Repo Rate, Deposit facility rate juga naik 25 bps menjadi 4 persen, demikian pula suku bunga landing facility juga meningkat 25 bps menjadi 5,5 persen.

Dasar pertimbangan keputusan ini adalah sebagai langkah preventif BI untuk memperkuat stabilitas ekonomi, utamanya stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan suku bunga Amerika (Fed Fund Rate) yang lebih tinggi dan meningkatnya risiko di pasar keuangan global. Itu adalah kebijakan yang preventif dan ahead the curve. Arah kebijakan BI ke depan adalah terus mengkalibrasi perkembangan ekonomi dan keuangan, baik dari domestik maupun global, untuk memanfaatkan masih adanya ruang kenaikan suku bunga secara terukur.

Sebelumnya, BI juga telah menaikkan suku bunga acuan dalam RDG pada 16-17 Mei 2018. Di rapat itu, BI 7-Day Repo Rate naik 25 basis poin menjadi 4,5 persen dari sebelumnya 4,25 persen. Dewan Gubernur BI menyatakan, langkah menaikkan suku bunga acuan dilatarbelakangi ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global, serta untuk menjaga cadangan devisa yang sudah tergerus untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejak awal 2018.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan, (Rabu, 30/5/2018) meminta perbankan tidak serta merta menaikkan suku bunga deposito dan kredit mereka. Karena, likuiditas di pasar keuangan, baik rupiah maupun valuta asing masih cukup. Tidak perlu ada kekhawatiran atau informasi bahwa likuiditas ketat. Dengan demikian kalau likuiditas cukup perbankan tidak alasan untuk berlomba-lomba merebut dana dengan menaikkan suku bunga karena likuditasnya cukup.
BI akan melakukan operasi moneter untuk menjamin ketersediaan likuiditas dengan menyiapkan instrumen, frekuensi dan kesiapan term repo dan swap. Adapun untuk term repo, BI melakukan frekuensi lelang swap tiga kali seminggu. Selain itu, dia menyatakan akan terus berkoordinasi dengan OJK untuk memastikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 50 bps tidak serta-merta direspons kenaikan suku bunga perbankan. Kebijakan OJK untuk memperkuat efisiensi perbankan dinilai mampu menahan kenaikan suku bunga bank.

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan, kenaikan suku bunga acuan memang akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit. Jika dilihat secara historis, saat BI menurunkan suku bunga acuannya, bunga kredit juga akan menurun. Akan tetapi, penurunan bunga kredit tidak besar. BI Naikkan Lagi Suku Bunga Acuan 25 Basis Poin, Rupiah Menguat Tipis Begitu juga saat suku bunga acuan dinaikkan, tidak serta merta akan diikuti dalam jumlah yang sama, bahkan jauh lebih kecil. BI tetap menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sampai akhir tahun masih sesuai target di kisaran 10 hingga 12 persen. Meskipun demikian, diakui saat ini pertumbuhan kredit melambat.  Melambatnya pertumbuhan kredit disebabkan menurunnya permintaan. Namun, sepanjang PDB (Produk Domestik Bruto) meningkat, pasti pertumbuhan kreditnya juga mengalami hal yang sama.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo dalam keterangan tertulisnya, (Rabu, 23/5/2018) mengatakan Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) menilai stabilitas sektor jasa keuangan dan kondisi likuiditas di pasar keuangan Indonesia masih dalam kondisi terjaga. Tekanan yang terjadi di pasar keuangan saat ini lebih dipicu oleh sentimen global terkait normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Normalisasi itu diperkirakan lebih agresif dan kemudian direspon dengan kenaikan imbal hasil di pasar surat utang AS. Imbasnya, Yield UST 10 tahun sempat mencapai 3,11 persen yang merupakan level tertinggi sejak 2011. Hal itu kemudian mendorong investor untuk melakukan portfolio rebalancing khususnya dengan melakukan penyesuaian investasi di emerging markets, termasuk Indonesia. Sejalan dengan perkembangan tersebut, investor non residen melakukan penjualan portifolionya, baik di pasar saham maupun pasar surat utang negara.

Di sisi lain, seiring dengan tren penurunan indeks saham di beberapa emerging markets, IHSG pada akhir April 2018 ditutup terkoreksi menjadi 5.994,6. Sementara di pasar SBN, yield SBN tenor jangka pendek, menengah dan panjang masing-masing naik sebesar 42,2 bps, 28,7 bps, dan 14,2 bps atau pada Maret 2018 rata-rata meningkat 5 bps. Di sisi intermediasi, sampai dengan April 2018, kinerja sektor jasa keuangan masih tumbuh positif. Kredit perbankan dan piutang pembiayaan tumbuh masing-masing sebesar 8,94 persen yoy dan 6,36 persen yoy.

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 8,06 persen yoy. Untuk premi asuransi jiwa dan asuransi umum/reasuransi tumbuh tinggi masing-masing sebesar 38,44 persen yoy dan 18,61 persen yoy. Selain itu, penghimpunan dana di pasar modal tercatat telah mencapai Rp 49,6 triliun, lebih tinggi dari periode sama tahun lalu yang hanya ebesar Rp 45,1 triliun, dengan tambahan 10 emiten baru. Untuk total dana kelolaan investasi meningkat dan per April 2018 telah mencapai Rp739,71 triliun. Dari sisi risiko, OJK memandang risiko kredit dan risiko pasar masih dalam level yang manageable. Rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan tercatat sebesar 2,79 persen dan rasio Non-Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan tercatat sebesar 3,01 persen.

Permodalan LJK masih sangat memadai, dengan CAR perbankan sebesar 22,38 persen serta RBC asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 310 persen dan 454 persen. Dengan faktor-faktor tersebut, OJK menilai, sektor jasa keuangan masih dalam kondisi yang cukup memadai guna memitigasi dampak turutan dari dinamika pasar keuangan global. Ke depan, OJK akan terus mencermati perkembangan perekonomian global dan faktor-faktor risiko yang menyertai, seperti kenaikan suku bunga dan perkembangan negosiasi dagang AS-Tiongkok, serta pengaruhnya terhadap kinerja sektor jasa keuangan nasional.

Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah di Jakarta, (Rabu, 6/6/2018) mengatakan, secara umum kondisi likuiditas perbankan relatif terjaga meski pun ada kecenderungan risiko meningkat. Kecenderungan itu tercermin dari LDR perbankan yang meningkat dari 89,61 persen pada Maret 2018 menjadi 89,86 persen pada Mei 2018. Peningkatan LDR tak lepas dari kenaikan kredit yang lebih cepat dari dana pihak ketiga (DPK). Sebagai informasi, pertumbuhan kredit perbankan pada April 2018 tercatat 8,94 persen, naik dari Maret 2018 sebesar 8,54 persen. Sedangkan, pertumbuhan DPK naik dari 7,66 persen menjadi 8,06 persen. Adanya dana asing yang keluar dari pasar saham sebesar Rp 6,7 triliun dan Rp 19,5 triliun dari surat berharga negara atau SBN juga turut menjadi penyebab pengetatan likuiditas. Kondisi itu membuat terjadinya pengurangan ketersediaan likuiditas di sistem perbankan. Volatilitas yang ada pada rupiah saat ini kemudian membuat masyarakat menahan keinginan menyimpan uang dalam rupiah. Namun demikian, kenaikan bunga acuan dari BI dan LPS diharapkan bisa membuat perbankan lebih leluasa menghimpun DPK.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Nanang Hendarsyah di Gedung BI, (Selasa, 24/7/2018) mengatakan pada Senin, 23/7/2018, BI telah mengumumkan hasil lelang dari Sertifikat Bank Indonesia SBI untuk tenor 9 bulan dan 12 bulan dengan total dana yang berhasil dikumpulkan sejumlah Rp 5,975 triliun. Dari total nilai yang ditawarkan Rp 14,2 triliun, dimenangkan Rp 5,9 triliuns. Jika dirinci, untuk masing-masing tenor 9 bulan dan 12 bulan, nilai yang dimenangkan adalah sebesar Rp 4,18 triliun dan dan Rp 1,79 triliun. Dari masing-masing tenor tersebut, imbal hasil yang diberikan sebesar 6,25 persen untuk SBI tenor 9 bulan dan 6,35 persen untuk SBI tenor 12 bulan.

Dalam menentukan imbal hasil atau Stop Out Rate (SOR) dari SBI tersebut, BI mengukur dari jumlah suku bunga yang ditawarkan oleh bank dalam proses lelang. Sehingga, BI dapat menghitung berapa imbal hasil yang tepat sesuai dengan Term Structure Operation Moneter (TSOM) 12 bulan BI, namun angka yang dihasilkan akan fleksibel. Angka (imbal hasil) bukan angka fixed, tetapi ada fleksibilitas tergantung ruang yang diberikan TSOM 12 bulannya.

Rencananya, BI akan melakukan lelang SBI secara reguler setiap bulannya, meski penjelasan lebih lanjut akan diberikan dalam Rapat Dewan Gubernur BI di bulan Agustus mendatang. SBI itu akan dilakukan setiap bulan, mungkin setelah RDG bulanan diumumkan. Sebagai informasi, SBI terakhir diaktifkan pada bulan Desember 2016 lalu. Sementara di tahun ini, BI kembali mengaktifkan SBI sebagai bentuk diversifikasi instrumen di pasar keuangan Indonesia.

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Filianingsih Hendarta dalam media briefing di Jakarta, (Kamis, 5/4/2018) menyebut, Bank Indonesia (BI) menerbitkan ketentuan penyempurnaan kebijakan makroprudensial. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum (GWM). Penyempurnaan GWM rata-rata untuk semakin meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan, mendorong fungsi intermediasi perbankan, dan mendukung upaya pendalaman pasar keuangan.

Beberapa substansi penyempurnaan yang diatur dalam PBI GWM adalah
Pertama, penambahan porsi GWM dalam rupiah rata-rata bagi Bank Umum Konvensional (BUK) dari 1,5 persen menjadi 2 persen dari keseluruhan kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK sebesar 6,5 persen.
Kedua, pemberlakuan GWM dalam valas rata-rata bagi BUK sebesar 2 persen dari keseluruhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK sebesar 8 persen.
Ketiga, pemberlakuan GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUS dan UUS sebesar 2 persen dari keseluruhan kewajiban GWM dalam rupiah bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sebesar 5 persen.
Keempat, pemberian jasa giro bagi GWM dalam rupiah BUK menjadi 0 persen (penihilan jasa giro).
Kelima, penyeragaman Calculation Period (masa penghitungan), Lag Period (masa penyiapan), dan Maintenance Period (masa pemenuhan) masing-masing menjadi selama 2 minggu. Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah, RIM, dan PLM bagi BUK akan efektif berlaku sejak tanggal 16 Juli 2018.

Adapun ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK, GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS, serta pemenuhan RIM Syariah bagi BUS dan UUS dan PLM Syariah bagi BUS akan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2018.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menuturkan, pada intinya penyempurnaan ketentuan tersebut dapat memberikan kesempatan bagi bank untuk meningkatkan likuiditasnya. Sehingga, return yang didapatkan bank bisa lebih besar karena likuiditasnya lebih banyak.

Hingga 20 Juli 2018, Bank Indonesia (BI) telah menyerap likuiditas hingga Rp 291,6 triliun (year to date). Operasi moneter yang bersifat kontraktif ini dilakukan oleh Bank Indonesia lantaran adanya likuiditas perbankan yang berlebih.

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Nanang Hendarsyah kepada awak media di Gedung BI, (Selasa, 24/7/2018) mengatakan, karakter likuiditas ini dapat menyebabkan kondisi pasar keuangan yang tidak stabil. Sehingga diperlukan instrumen-instrumen keuangan yang bersifat menyerap likuiditas, salah satunya Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam kondisi di mana sistem keuangan terjadi ekses (kelebihan) likuiditas, fitur dan karakter likuiditas itu bisa menyebabkan instabilitas. Total operasi moneter terakhir Rp 291,6 triliun

Adapun instrumen moneter yang dapat digunakan oleh BI untuk menyerap likuiditas di antaranya adalah lelang term deposit rupiah, SBI, Reverse Repo Surat Utang Negara (RR SUN), menjual Surat Berharga Negara (SBN) Outright, dan foreign exchange Swap Jual Operasi Pasar Terbuka (OPT). Kondisi likuditas yang berlebih ini disebabkan pasar bank di Indonesia yang masih tersegmentasi. Sehingga, likuiditas tidak dapat mengalir secara maksimal lantaran terdapat masalah dalam penyaluran kredit.

Kondisi pasar perbankan yang terlalu tersegmentasi ini seharusnya bisa diatasi dengan adanya pengembangan pasar berbasis kolateral. Itu seharusnya asosiasi di pasar yang mendorong, bukan hanya BI. BI dan OJK sudah merasa kuat untuk melakukan upaya-upaya untuk mendorong itu.

SUMBER  :

No comments:

Post a Comment

Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.