Selama Mei
2018, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo
Rate sebanyak 2 kali masing-masing 25 basis points (bps). Sehingga, suku bunga
kebijakan BI kini 4,75 persen.
Gubernur
Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers seusai Rapat Dewan Gubernur
(RDG) tambahan (Rabu, 30/5/2018) mengatakan BI menaikkan lagi suku bunga acuan
BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen. Keputusan itu
berlaku efektif (mulai), Kamis, 31 Mei 2018. Selain BI 7 Days Reverse Repo
Rate, Deposit facility rate juga naik 25 bps menjadi 4 persen, demikian pula
suku bunga landing facility juga meningkat 25 bps menjadi 5,5 persen.
Dasar
pertimbangan keputusan ini adalah sebagai langkah preventif BI untuk memperkuat
stabilitas ekonomi, utamanya stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan
suku bunga Amerika (Fed Fund Rate) yang lebih tinggi dan meningkatnya risiko di
pasar keuangan global. Itu adalah kebijakan yang preventif dan ahead the curve.
Arah kebijakan BI ke depan adalah terus mengkalibrasi perkembangan ekonomi dan
keuangan, baik dari domestik maupun global, untuk memanfaatkan masih adanya
ruang kenaikan suku bunga secara terukur.
Sebelumnya,
BI juga telah menaikkan suku bunga acuan dalam RDG pada 16-17 Mei 2018. Di
rapat itu, BI 7-Day Repo Rate naik 25 basis poin menjadi 4,5 persen dari
sebelumnya 4,25 persen. Dewan Gubernur BI menyatakan, langkah menaikkan suku
bunga acuan dilatarbelakangi ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan
likuiditas global, serta untuk menjaga cadangan devisa yang sudah tergerus untuk
stabilisasi nilai tukar rupiah sejak awal 2018.
Gubernur BI
Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan, (Rabu,
30/5/2018) meminta perbankan tidak serta merta menaikkan suku bunga deposito
dan kredit mereka. Karena, likuiditas di pasar keuangan, baik rupiah maupun
valuta asing masih cukup. Tidak perlu ada kekhawatiran atau informasi bahwa
likuiditas ketat. Dengan demikian kalau likuiditas cukup perbankan tidak alasan
untuk berlomba-lomba merebut dana dengan menaikkan suku bunga karena
likuditasnya cukup.
BI akan
melakukan operasi moneter untuk menjamin ketersediaan likuiditas dengan
menyiapkan instrumen, frekuensi dan kesiapan term repo dan swap. Adapun untuk
term repo, BI melakukan frekuensi lelang swap tiga kali seminggu. Selain itu,
dia menyatakan akan terus berkoordinasi dengan OJK untuk memastikan kenaikan
suku bunga acuan sebanyak 50 bps tidak serta-merta direspons kenaikan suku
bunga perbankan. Kebijakan OJK untuk memperkuat efisiensi perbankan dinilai
mampu menahan kenaikan suku bunga bank.
Deputi
Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan, kenaikan suku bunga acuan memang akan
berdampak pada kenaikan suku bunga kredit. Jika dilihat secara historis, saat
BI menurunkan suku bunga acuannya, bunga kredit juga akan menurun. Akan tetapi,
penurunan bunga kredit tidak besar. BI Naikkan Lagi Suku Bunga Acuan 25 Basis
Poin, Rupiah Menguat Tipis Begitu juga saat suku bunga acuan dinaikkan, tidak
serta merta akan diikuti dalam jumlah yang sama, bahkan jauh lebih kecil. BI
tetap menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sampai akhir tahun masih sesuai
target di kisaran 10 hingga 12 persen. Meskipun demikian, diakui saat ini
pertumbuhan kredit melambat. Melambatnya
pertumbuhan kredit disebabkan menurunnya permintaan. Namun, sepanjang PDB
(Produk Domestik Bruto) meningkat, pasti pertumbuhan kreditnya juga mengalami
hal yang sama.
Deputi Komisioner
Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo dalam keterangan tertulisnya,
(Rabu, 23/5/2018) mengatakan Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Otoritas Jasa
Keuangan ( OJK) menilai stabilitas sektor jasa keuangan dan kondisi likuiditas
di pasar keuangan Indonesia masih dalam kondisi terjaga. Tekanan yang terjadi
di pasar keuangan saat ini lebih dipicu oleh sentimen global terkait
normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Normalisasi itu
diperkirakan lebih agresif dan kemudian direspon dengan kenaikan imbal hasil di
pasar surat utang AS. Imbasnya, Yield UST 10 tahun sempat mencapai 3,11 persen
yang merupakan level tertinggi sejak 2011. Hal itu kemudian mendorong investor
untuk melakukan portfolio rebalancing khususnya dengan melakukan penyesuaian
investasi di emerging markets, termasuk Indonesia. Sejalan dengan perkembangan
tersebut, investor non residen melakukan penjualan portifolionya, baik di pasar
saham maupun pasar surat utang negara.
Di sisi
lain, seiring dengan tren penurunan indeks saham di beberapa emerging markets,
IHSG pada akhir April 2018 ditutup terkoreksi menjadi 5.994,6. Sementara di
pasar SBN, yield SBN tenor jangka pendek, menengah dan panjang masing-masing
naik sebesar 42,2 bps, 28,7 bps, dan 14,2 bps atau pada Maret 2018 rata-rata
meningkat 5 bps. Di sisi intermediasi, sampai dengan April 2018, kinerja sektor
jasa keuangan masih tumbuh positif. Kredit perbankan dan piutang pembiayaan
tumbuh masing-masing sebesar 8,94 persen yoy dan 6,36 persen yoy.
Sementara
itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 8,06 persen yoy. Untuk
premi asuransi jiwa dan asuransi umum/reasuransi tumbuh tinggi masing-masing
sebesar 38,44 persen yoy dan 18,61 persen yoy. Selain itu, penghimpunan dana di
pasar modal tercatat telah mencapai Rp 49,6 triliun, lebih tinggi dari periode
sama tahun lalu yang hanya ebesar Rp 45,1 triliun, dengan tambahan 10 emiten
baru. Untuk total dana kelolaan investasi meningkat dan per April 2018 telah
mencapai Rp739,71 triliun. Dari sisi risiko, OJK memandang risiko kredit dan
risiko pasar masih dalam level yang manageable. Rasio Non-Performing Loan (NPL)
gross perbankan tercatat sebesar 2,79 persen dan rasio Non-Performing Financing
(NPF) perusahaan pembiayaan tercatat sebesar 3,01 persen.
Permodalan LJK
masih sangat memadai, dengan CAR perbankan sebesar 22,38 persen serta RBC
asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 310 persen dan 454
persen. Dengan faktor-faktor tersebut, OJK menilai, sektor jasa keuangan masih
dalam kondisi yang cukup memadai guna memitigasi dampak turutan dari dinamika
pasar keuangan global. Ke depan, OJK akan terus mencermati perkembangan
perekonomian global dan faktor-faktor risiko yang menyertai, seperti kenaikan
suku bunga dan perkembangan negosiasi dagang AS-Tiongkok, serta pengaruhnya
terhadap kinerja sektor jasa keuangan nasional.
Ketua Dewan
Komisioner LPS Halim Alamsyah di Jakarta, (Rabu, 6/6/2018) mengatakan, secara
umum kondisi likuiditas perbankan relatif terjaga meski pun ada kecenderungan
risiko meningkat. Kecenderungan itu tercermin dari LDR perbankan yang meningkat
dari 89,61 persen pada Maret 2018 menjadi 89,86 persen pada Mei 2018.
Peningkatan LDR tak lepas dari kenaikan kredit yang lebih cepat dari dana pihak
ketiga (DPK). Sebagai informasi, pertumbuhan kredit perbankan pada April 2018
tercatat 8,94 persen, naik dari Maret 2018 sebesar 8,54 persen. Sedangkan,
pertumbuhan DPK naik dari 7,66 persen menjadi 8,06 persen. Adanya dana asing
yang keluar dari pasar saham sebesar Rp 6,7 triliun dan Rp 19,5 triliun dari
surat berharga negara atau SBN juga turut menjadi penyebab pengetatan
likuiditas. Kondisi itu membuat terjadinya pengurangan ketersediaan likuiditas
di sistem perbankan. Volatilitas yang ada pada rupiah saat ini kemudian membuat
masyarakat menahan keinginan menyimpan uang dalam rupiah. Namun demikian,
kenaikan bunga acuan dari BI dan LPS diharapkan bisa membuat perbankan lebih
leluasa menghimpun DPK.
Kepala
Departemen Pengelolaan Moneter Nanang Hendarsyah di Gedung BI, (Selasa, 24/7/2018)
mengatakan pada Senin, 23/7/2018, BI telah mengumumkan hasil lelang dari Sertifikat
Bank Indonesia SBI untuk tenor 9 bulan dan 12 bulan dengan total dana yang
berhasil dikumpulkan sejumlah Rp 5,975 triliun. Dari total nilai yang
ditawarkan Rp 14,2 triliun, dimenangkan Rp 5,9 triliuns. Jika dirinci, untuk
masing-masing tenor 9 bulan dan 12 bulan, nilai yang dimenangkan adalah sebesar
Rp 4,18 triliun dan dan Rp 1,79 triliun. Dari masing-masing tenor tersebut,
imbal hasil yang diberikan sebesar 6,25 persen untuk SBI tenor 9 bulan dan 6,35
persen untuk SBI tenor 12 bulan.
Dalam
menentukan imbal hasil atau Stop Out Rate (SOR) dari SBI tersebut, BI mengukur
dari jumlah suku bunga yang ditawarkan oleh bank dalam proses lelang. Sehingga,
BI dapat menghitung berapa imbal hasil yang tepat sesuai dengan Term Structure
Operation Moneter (TSOM) 12 bulan BI, namun angka yang dihasilkan akan
fleksibel. Angka (imbal hasil) bukan angka fixed, tetapi ada fleksibilitas
tergantung ruang yang diberikan TSOM 12 bulannya.
Rencananya,
BI akan melakukan lelang SBI secara reguler setiap bulannya, meski penjelasan
lebih lanjut akan diberikan dalam Rapat Dewan Gubernur BI di bulan Agustus
mendatang. SBI itu akan dilakukan setiap bulan, mungkin setelah RDG bulanan diumumkan.
Sebagai informasi, SBI terakhir diaktifkan pada bulan Desember 2016 lalu.
Sementara di tahun ini, BI kembali mengaktifkan SBI sebagai bentuk
diversifikasi instrumen di pasar keuangan Indonesia.
Kepala
Departemen Kebijakan Makroprudensial Filianingsih Hendarta dalam media briefing
di Jakarta, (Kamis, 5/4/2018) menyebut, Bank Indonesia (BI) menerbitkan
ketentuan penyempurnaan kebijakan makroprudensial. Aturan ini tertuang dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum
(GWM). Penyempurnaan GWM rata-rata untuk semakin meningkatkan fleksibilitas
pengelolaan likuiditas oleh perbankan, mendorong fungsi intermediasi perbankan,
dan mendukung upaya pendalaman pasar keuangan.
Beberapa
substansi penyempurnaan yang diatur dalam PBI GWM adalah
Pertama,
penambahan porsi GWM dalam rupiah rata-rata bagi Bank Umum Konvensional (BUK)
dari 1,5 persen menjadi 2 persen dari keseluruhan kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah bagi BUK sebesar 6,5 persen.
Kedua,
pemberlakuan GWM dalam valas rata-rata bagi BUK sebesar 2 persen dari
keseluruhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK sebesar 8 persen.
Ketiga,
pemberlakuan GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUS dan UUS sebesar 2 persen dari
keseluruhan kewajiban GWM dalam rupiah bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit
Usaha Syariah (UUS) sebesar 5 persen.
Keempat,
pemberian jasa giro bagi GWM dalam rupiah BUK menjadi 0 persen (penihilan jasa
giro).
Kelima,
penyeragaman Calculation Period (masa penghitungan), Lag Period (masa
penyiapan), dan Maintenance Period (masa pemenuhan) masing-masing menjadi
selama 2 minggu. Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah, RIM, dan PLM
bagi BUK akan efektif berlaku sejak tanggal 16 Juli 2018.
Adapun
ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK, GWM dalam rupiah bagi
BUS dan UUS, serta pemenuhan RIM Syariah bagi BUS dan UUS dan PLM Syariah bagi
BUS akan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2018.
Asisten
Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo
menuturkan, pada intinya penyempurnaan ketentuan tersebut dapat memberikan
kesempatan bagi bank untuk meningkatkan likuiditasnya. Sehingga, return yang
didapatkan bank bisa lebih besar karena likuiditasnya lebih banyak.
Hingga 20
Juli 2018, Bank Indonesia (BI) telah menyerap likuiditas hingga Rp 291,6 triliun
(year to date). Operasi moneter yang bersifat kontraktif ini dilakukan oleh
Bank Indonesia lantaran adanya likuiditas perbankan yang berlebih.
Direktur
Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Nanang Hendarsyah kepada awak media di
Gedung BI, (Selasa, 24/7/2018) mengatakan, karakter likuiditas ini dapat
menyebabkan kondisi pasar keuangan yang tidak stabil. Sehingga diperlukan
instrumen-instrumen keuangan yang bersifat menyerap likuiditas, salah satunya
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam kondisi di mana sistem keuangan terjadi
ekses (kelebihan) likuiditas, fitur dan karakter likuiditas itu bisa
menyebabkan instabilitas. Total operasi moneter terakhir Rp 291,6 triliun
Adapun
instrumen moneter yang dapat digunakan oleh BI untuk menyerap likuiditas di
antaranya adalah lelang term deposit rupiah, SBI, Reverse Repo Surat Utang
Negara (RR SUN), menjual Surat Berharga Negara (SBN) Outright, dan foreign
exchange Swap Jual Operasi Pasar Terbuka (OPT). Kondisi likuditas yang berlebih
ini disebabkan pasar bank di Indonesia yang masih tersegmentasi. Sehingga,
likuiditas tidak dapat mengalir secara maksimal lantaran terdapat masalah dalam
penyaluran kredit.
Kondisi
pasar perbankan yang terlalu tersegmentasi ini seharusnya bisa diatasi dengan
adanya pengembangan pasar berbasis kolateral. Itu seharusnya asosiasi di pasar
yang mendorong, bukan hanya BI. BI dan OJK sudah merasa kuat untuk melakukan
upaya-upaya untuk mendorong itu.
SUMBER :
No comments:
Post a Comment
Saran-Kritik-Komentar Anda sangat bermanfaat.
Terima Kasih Telah Bergabung.