Setelah
Perang Dunia II, utang terus naik sesuai laju inflasi dunia dari 260 miliar
dollar (1950) jadi 909 miliar dollar saat Reagan terpilih 1980. Secara nominal,
utang di era Reagan dan
George W Bush Sr berlipat empat kali dari 1980 ke 1992.
Perang Dingin yang membengkakkan utang sehingga rasio utang terhadap PDB yang
pada dekade 1970-an sekitar 26-28 persen, pada dekade 1980-an naik ke 41
persen. Pada era Clinton, rasio utang turun dari 50 persen ke 39 persen meski
secara nominal utang naik dari 3 triliun dollar (1992) jadi 3,4 triliun dollar
(2000).
George
W Bush Jr melipatgandakan utang dari 5,7 triliun dollar AS pada Januari 2001
menjadi 10,7 triliun dollar AS pada akhir masa jabatan keduanya (2008). Obama
tetap terjerat utang yang meningkat sampai 14,6 triliun dollar AS atau menyamai
PDB AS. Rasio utang/PDB juga meningkat terus dari 35 persen (2000), 40 persen
(2008), dan 62 persen (2010).
Era
Reagan bersamaan dengan PM
Margaret Thatcher adalah era capitalism 3.0 yang
meliberalkan pasar keuangan internasional dengan produk derivatif, dan mulai
lepasnya keterkaitan sektor finansial global dengan sektor riil produsen
manufaktur barang dan jasa yang tangible. Capitalism 3.0 ini akan mengalami
krisis dari Asia Timur 1998 dan setelah sepuluh tahun malah merasuk ke jantung
kapitalisme, Wall Street. Karena itu, negara kembali mengintervensi seperti
nasionalisasi General Motors oleh Obama.
Utang
AS ini menumpuk dari tahun ke tahun karena defisit anggaran Pemerintah AS
selalu ditutupi dengan utang setidaknya selama 10 tahun terakhir. Pajak sebagai
sumber penerimaan besar justru dikurangi pada era kepemimpinan George W Bush
(Presiden AS 2000-2008).
"Jika kita tidak mengatasi defisit ini, juga
jelas bahwa kita tidak bisa terhindar dari status default dan kita
tidak bisa berharap bahwa negara tak akan melemah," lanjut Romer, salah
seorang ekonom yang menyerukan kenaikan pajak walau selalu ditentang Partai
Republik.
Banyak praktisi dan pengamat lain mengatakan hal serupa dengan Romer.
Pada Jumat lalu, Standard & Poor's benar-benar menyampaikan peringatannya
di hadapan Kongres AS, jika Kongres AS tidak menurunkan pengeluaran sebesar 4
triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan, potensi penurunan peringkat akan
terjadi.
Lembaga
pemeringkat Standard & Poor’s Jumat pekan lalu menurunkan peringkat utang
AS yang telah digenggamnya hampir selama satu abad. Lembaga pemeringkat itu
telah menurunkan peringkat utang jangka panjang Pemerintah AS dari peringkat
paling tinggi, AAA, menjadi satu peringkat di bawahnya, AA+. Utang jangka
panjang adalah utang yang jatuh tempo lebih dari satu tahun. Jangka waktu jatuh
tempo utang AS bervariasi, mulai dari 2 tahun hingga 30 tahun. Utang jangka
pendek juga bervariasi antara beberapa hari dan 52 pekan. Peringkat utang jangka
pendek Pemerintah AS tetap, tidak diturunkan. Dari 9,4 miliar dollar AS
obligasi pemerintah yang diperdagangkan, 72 persen di antaranya adalah jangka
panjang.
Pemeringkat
kredit yakin total utang sebesar 14,3 triliun dollar AS dan memproyeksikan
defisit dalam beberapa tahun ke depan di AS, tidak dapat menjamin peringkat
yang telah didapatkan AS. S & P juga menyatakan, keadaan politik tidak
membangun kepercayaan bahwa AS dapat sepakat bagaimana menurunkan defisit
secara signifikan. Penurunan itu merupakan peringatan kepada para pembeli
obligasi dan utang jenis lain bahwa peluang mereka tidak mendapatkan kembali
uangnya naik, setidaknya sedikit naik. Secara teori, penurunan peringkat akan
membuat tingkat suku bunga yang harus dibayarkan oleh penerbit obligasi
meningkat, dalam hal ini biaya yang harus dikeluarkan Pemerintah AS semakin
besar, karena para investor meminta tingkat suku bunga lebih tinggi jika
menanggung risiko yang lebih besar.
Pada
peringkat AA+, AS masih digolongkan memiliki kemampuan kuat untuk memenuhi
kewajibannya. Faktanya, hanya sedikit negara yang memiliki peringkat AAA.
Beberapa investor besar, seperti William Gross dari PIMCO, menyatakan
bahwa pasar obligasi lain, seperti Kanada, menawarkan bunga lebih menarik.
Hanya saja pasar obligasi AS masih merupakan yang terbesar karena nilainya
lebih dari 35 triliun dollar AS. Tidak ada pasar obligasi lain yang besarannya
mendekati angka ini.
S&P
menyatakan bahwa kesepakatan peningkatan pagu utang, tidak cukup untuk
membenahi masalah keuangan AS. Pemangkasan yang disepakati Republik dan
Demokrat terlalu sedikit. Pada masa yang akan datang akan diperlukan
pemangkasan anggaran yang lebih rumit dan lebih sulit lagi. S&P menyatakan
diperlukan waktu beberapa tahun untuk melihat perubahan yang sangat berarti
pada situasi fiskal AS dan kemampuan pemerintah untuk memangkas anggaran. S&P
juga menyatakan kemungkinan penerimaan baru, yaitu kenaikan pajak, tampaknya
akan dilakukan. "Pendapat kami, para politisi terpilih masih takut dalam
mengambil keputusan secara lebih efektif soal isu-isu yang harus diatasi untuk
memperbaiki beban utang AS," demikian S&P. Negara yang
mendapatkan peringkat AAA dari S&P antara lain adalah : Inggris,
Jerman, Australia, Austria, Denmark, Belanda, Norwegia, dan Finlandia.
Para
analis mengatakan akan sangat besar peluang bagi AS untuk mengambil kembali
posisi peringkat AAA dengan cepat. Khususnya karena keadaan ekonomi yang saat
ini dihadapi AS, Dua pemeringkat besar belum bertindak. Moody’s Investor
Service menyatakan mungkin akan menurunkan peringkat utang AS, tetapi ekonom
kepalanya menyatakan bahwa obligasi AS masih memegang "standar emas".
Fitch Ratings mengatakan, pemangkasan anggaran yang telah disepakati merupakan
langkah penting, tetapi bukan akhir dari sebuah proses.
Tingkat
suku bunga obligasi bertenor 10 tahun yang merupakan patokan dari tingkat suku
bunga lainnya dapat melonjak. Kenaikan ini akan membuat tingkat suku bunga
konsumen, seperti kredit mobil, juga naik. Kenaikan tingkat suku bunga akan
menyebabkan pemerintah, perusahaan, dan konsumen membayar bunga lebih tinggi
jika mengutang. Tetapi, belum dapat dipastikan apakah penurunan peringkat
S&P ini akan memengaruhi tingkat suku bunga. Penurunan peringkat dapat
membuat pasar obligasi bergejolak serta kenaikan tingkat suku bunga dalam
jangka pendek, demikian dikatakan Guy LeBas, Pemimpin Strategis Pendapatan
Tetap pada Janney Montgomery Scott. Tetapi, investor sangat khawatir mengenai
perekonomian dan perlu obligasi yang aman sehingga mereka akan kembali membeli
obligasi Pemerintah AS lagi.
Faktor
Pemicu masalah ekonomi
Utang
Amerika Serikat (AS) melejit pesat dalam 10 tahun terakhir ini, alias sejak era
kepemimpinan AS di bawah George W Bush. Dari angka utang sebesar 5,8 triliun
dollar AS pada tahun 2001, angka itu sudah menjadi 14,3 triliun dollar AS pada
tahun 2011. Faktor apa saja yang menyebabkan kenaikan utang hampir sebesar 9
triliun dollar AS itu terjadi dalam sepuluh tahun terakhir? Periode 2000-2008,
George W Bush dari Partai Republik adalah Presiden AS, lalu diikuti Barack
Obama dari Partai Demokrat.
Kantor
berita Associated Press membuat ringkasan soal ini. Utang muncul
sebagai dampak negatif dari berbagai kebijakan pemerintah, antara lain :
- Pengurangan
pajak oleh George W Bush. Kebijakan ini menyebabkan kehilangan penerimaan
negara sebesar 1,6 triliun dollar AS dan ini ditutup dengan utang.
- Tambahan
beban bunga dari utang yang terus bertambah, yakni sebesar 1,4 triliun dollar
AS.
- Bantuan perobatan pada warga AS lewat kebijakan pemerintah sebesar 300 miliar
dollar AS.
- Invasi Irak dan Afganistan oleh AS dan sekutunya sebesar 1,3 triliun dollar AS.
Ekonom AS, Joseph E Stiglitz, sudah pernah mengingatkan bahaya keuangan negara
akibat invasi ini ke perekonomian AS.
- Paket dana stimulus ekonomi yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang
meledak pada tahun 2008 ketika Bush masih berkuasa sebesar 800 miliar dollar
AS.
- Perpanjangan kebijakan bebas pajak Bush oleh Obama sebesar 400 miliar dollar AS
- Masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab naiknya utang AS ini,
seperti dari sektor pertanian dan pertahanan.
Porsi
terbesar kenaikan utang AS karena murni peran Obama ada pada perjuangannya
untuk jaminan health care. Sektor inilah yang oleh Partai Republik diminta
untuk dihapus saja. Obama kukuh dan berhasil mempertahankan pengeluaran ini,
walau terancam dianulir jika Partai Republik mengambil alih Kongres AS dan
Gedung Putih pada pemilu 2012. Utang negara dipastikan akan bertambah lagi.
Soalnya, pada hari Senin (1/8/2011) lalu Kongres AS menyetujui lagi penambahan
utang 2,1 triliun dollar AS walau hal itu tidak langsung diwujudkan.
Kesepakatan Kongres itu baru semacam mandat. Artinya, jika AS kesulitan untuk
membayar utang, maka AS bisa lagi meminjam untuk membayar utang. Penambahan
utang itu juga dimaksudkan untuk mengisi kas negara AS guna menutupi
biaya operasional sehari-hari.
Lalu
dari mana sumber dari utang AS yang sebesar 9,7 triliun dollar AS lainnya?
Utang ini antara lain bersumber dari pembeli obligasi pemerintah AS oleh
lembaga keuangan dan perbankan, dana-dana pensiun, investor perorangan,
pemerintahan lokal, dari berbagai negara, serta para investor asing. Selain
bank sentral Federal Reserve, pemegang obligasi pemerintah AS yang terbesar
adalah China, sebesar 1,16 triliun dollar AS. China telah berulang kali
memperingatkan AS untuk memperbaiki defisitnya dan telah menyatakan melakukan
diversifikasi asetnya ke jenis aset lain selain dollar AS.
Kantor
berita Associated Press menuliskan bahwa utang AS bersumber dari
dalam negeri. Salah satunya adalah 4,6 triliun dollar AS, dan hampir semua
berasal dari penggunaan sementara penerimaan Jaminan Keamanan Sosial (Social
Security Revenues). Penerimaan dari sektor ini tidak langsung dialokasikan ke
pembayaran jaminan sosial, tetapi ditumpuk di pos tertentu. Dana-dana ini
dipakai sementara untuk membiayai defisit anggaran pemerintah AS, dan tetap
dianggap utang. Namun, hampir setengah atau 4,5 triliun dollar AS dari utang AS
sebesar 9,7 triliun dollar AS bersumber dari pihak asing seperti dari China
sebesar 1,16 triliun dollar AS, diikuti Jepang sebesar 907 miliar dollar AS,
dan juga dari berbagai kalangan luar negeri lainnya. Indonesia pun
disebut-sebut turut sebagai pemberi utangan ke AS. Dengan kata lain, sekitar 33
persen utang AS dipasok oleh pihak luar dari AS.
Akar
masalah ekonomi sebetulnya sederhana; Setiap orang/ organisasi harus
berproduksi dan menghasilkan nilai tambah, barulah bisa mendapatkan penghasilan,
menikmati hidup, dan membelanjakan penghasilan yang halal sesuai kemampuan
produksinya. Ini berlaku untuk pribadi, keluarga, perusahaan dan negara. Kalau
orang hidup di luar kemampuan produksinya, maka dia harus berutang kepada orang
lain, atau merampok orang lain dan menikmati hasil pemerasan, penipuan, atau
penggelapan harta milik orang lain.
Masalah
kunci AS adalah besar pasak daripada tiang. Sekarang ini rasio utang AS
terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mendekati 98,5 persen, sedangkan penerimaan
pajak hanya 30,5 persen dan pembelanjaan 46,5 persen. Utang AS sebesar 14,3
triliun dollar AS nyaris setara PDB 14,8 triliun dollar AS, membebani setiap
penduduk AS 46.825 dollar AS, sedangkan bagi pembayar pajak 130.000 dollar AS
per kapita. Kata kuncinya adalah mengurangi belanja, konsumsi, dan menambah
pendapatan negara. Namun, dua partai, Republik dan Demokrat, punya rekam jejak
sama, tak bisa menghindari defisit dan menambah utang sejak dijalankannya
perekonomian yang lebih didorong sisi suplai Reagan tahun 1980. Ketika Obama
menggantikan Bush tahun 2009, utang AS hanya 10,6 triliun dollar dan membengkak
14,6 triliun dollar pada 4 Agustus 2011.
Kaitannya
dengan Indonesia
Utang
luar negeri Republik Indonesia terus membumbung tinggi. Data Bank Indonesia
(BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041
miliar dollar AS. (dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS, itu hampir mencapai Rp
2.000 triliun). Nilai utang ini naik 17,55 persen dari periode yang sama tahun
lalu. Akhir Januari 2009, nilai utang luar negeri Indonesia baru sebesar
151,457 miliar dollar AS. "Dari sisi nominal memang naik, namun jika kita
melihat dari persentase debt to GDP ratio, angkanya terus
menurun," ungkap Senior Economic Analyst Investor Relations Unit (IRU)
Direktorat Internasional BI Elsya Chani di Jakarta, Jumat (16/4/2010). Nilai
utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar 93,859 miliar dollar AS,
lalu utang bank sebesar 8,984 miliar dollar AS. Lalu, utang swasta alias
korporasi non-bank sebesar 75,199 miliar dollar AS. Sebagian besar utang
tersebut bertenor di atas satu tahun. Nilai utang yang tenornya di bawah satu
tahun hanya sebesar 25,589 miliar dollar AS.
Elsya menuturkan, meski secara
nominal nilai utang luar negeri Republik Indonesia terus naik. Namun, nilai
rasio utang terhadap GDP terus terjadi penurunan. "Debt to GDP (5,613
Triliun Rupiah) ratio tahun 2009 sebesar 27 persen. Sedangkan tahun
2008 (4,951 Triliun Rupiah) masih 28 persen," jelasnya
Kepala
Biro Humas Bank Indonesia, Difi A Johansyah, (Kamis, 30 Juni 2011)
mengatakan bahwa Jumlah utang luar negeri Indonesia sampai kwartal I 2011
mencapai 214,5 miliar dolar AS, meningkat 10 miliar dolar AS dibanding posisi
akhir 2010. Jumlah tersebut terdiri dari utang Pemerintah sebesar 128,6
miliar dolar AS dan utang swasta 85,9 miliar dolar AS. Utang Pemerintah itu
juga meningkat dibanding posisi akhir Desember 2010 sebesar 118,6 miliar dolar
AS dan utang swasta 83,8 miliar dolar AS.
Untuk utang luar negeri swasta sampai
April 2011 terdiri dari swasta non bank 72,5 miliar dolar AS dan utang bank
13,4 miliar dolar AS. Rasio utang dibanding PDB saat ini 28,2 persen lebih baik
dibanding 1997/1998 151,2 persen. Sementara rasio utang jangka pendek dibanding
cadangan devisa saat ini 42,6 persen lebih baik dibanding 1997/1998 142,7
persen.
Kedua
pernyataan pejabat Bank Indonesia diatas sepertinya member lampu hijau pada
perjalanan perekonomian Indonesia, itu kalau sudut pandang kita didasarkan pada
krisis utang di AS. Tetapi bukan tidak banyak pengamat Ekonomi di Indonesia
member komentar ‘miring’ untuk mencermati dampak Utang-utang ini. Persoalannya
adalah ‘buat apa utang-utang itu dilakukan?’
Dewasa ini produsen barang
manufaktur konkret adalah China dan Asia Timur, sedangkan Eropa dan AS
mengalami kemunduran dan tak bisa bersaing. Namun, AS punya produk ”imajiner”
derivatif finansial yang beromzet triliunan dollar AS, mengawang di bursa dunia
tanpa menyentuh sektor riil. Oleh karenanya, pelaku ekonomi di Indonesia
seharusnya melakukan ‘utang’ untuk Produksi dan bukan untuk Konsumsi.
Total
utang pemerintah Indonesia hingga Juli 2011 mencapai Rp 1.733,64 triliun. Dalam
sebulan utang pemerintah naik Rp 9,5 triliun dibanding Juni 2011 yang sebesar
Rp 1.723,9 triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah utang di Desember 2010 yang
sebesar Rp 1.676,85 triliun, jumlah utang hingga Juli 2011 bertambah Rp 56,79
triliun. Dan jika dihitung dengan denominasi dolar AS, jumlah utang pemerintah
hingga Juli 2011 mencapai US$ 203,77 miliar. Naik dibandingkan per Juni 2011
yang sebesar US$ 200,52 miliar. Utang dalam dolar AS ini lebih tinggi
dibandingkan Desember 2010 yang sebesar US$ 186,5 miliar. Sementara total surat
utang yang telah diterbitkan oleh pemerintah sampai Juli 2011 mencapai US$
134,3 miliar. Naik dibandingkan posisi Desember 2010 yang sebesar US$ 118,39
miliar.
Ditjen
Pengelolaan Utang Kemenkeu, Senin (15/8/2011) merinci data Utang pemerintah
tersebut terdiri dari pinjaman US$ 69,4 miliar dan surat berharga US$ 134,3
miliar. Jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp 6.422,9 triliun, maka
rasio utang Indonesia per Juli 2011 tercatat sebesar 26,9%.Sementara rincian
pinjaman yang diperoleh pemerintah pusat hingga akhir Juli 2011 adalah:
*Bilateral: US$ 43,45 miliar
*Multilateral: US$ 22,86 miliar
*Komersial: US$ 3,02 miliar
*Supplier: US$ 60 juta.
*Pinjaman dalam negeri US$ 70 juta
Berikut catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB sejak tahun
2000:
* Tahun 2000: Rp 1.234,28 triliun (89%)
* Tahun 2001: Rp 1.273,18 triliun (77%)
* Tahun 2002: Rp 1.225,15 triliun (67%)
* Tahun 2003: Rp 1.232,5 triliun (61%)
* Tahun 2004: Rp 1.299,5 triliun (57%)
* Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%)
* Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
* Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
* Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
* Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%)
* Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
* Juli 2011: Rp 1.733,64 triliun (26,9%)
Kini,
AS juga baru lolos dari lubang jarum politicking dengan kesepakatan menaikkan
utang AS antara Kongres dan Obama. Mengutip tulisan Cristianto Wibisono, kata
kunci tetap satu: there is no free lunch in the world, you have to pay for
your lunch. Kemerosotan AS dan kebangkitan Asia Timur mengisyaratkan di masa
depan tidak ada lagi dominasi satu kekuatan, termasuk oleh China atau oleh ”khalifah
Islam”.
Kapitalisme
tetap perlu kendali negara, tetapi negara tak boleh mencekik seperti diktator
proletar yang tak mampu menyediakan bahan pokok. Kita sedang menuju era
konsorsium multipolar. Memang, sepertinya Dunia perlu arsitektur keuangan dan sistem
perimbangan kekuatan yang menghargai multipolarisme, kesetaraan antara kekuatan
yang lebih berimbang dan bukan dominasi superpower dan satu mata uang. Era
poundsterling Inggris selesai dengan Perang Dunia II, era supremasi dollar AS
juga berakhir dengan krisis moneter 2008 yang bersumber dari jantung kapitalis
Wall Street. Namun, Dunia juga tak bisa dilepas begitu saja tanpa pengarah,
yang dalam abad ke-20 dijalankan oleh AS.
Karena itu, saying jika
elite Indonesia hanya hiruk-pikuk disandera Teror, polemik politik, atau
Nazaruddin, padahal tingkat kesadaran kita atas kekuatan riil yang kita miliki
sangat potensial dan justru dikagumi pengamat global dalam Conference
Futurology baru- baru ini. Kita seharusnya segera aktif mengelola sumber daya
alam dan perekonomian sektor riil sebagaimana dilakukan China menjadi kunci
keberhasilan dan yang menjadi misteri dibalik kebangkrutan AS yaitu ketidak
sinkronan antara sektor finansial dan sektor riil. Kita seharusnya tetap teguh
pada prinsip kita yang menjadi penyakit klasik AS : besar pasak daripada
tiang.